Dalam telaah yang mendalam terhadap dunia sosial kita, sering kali kita terjebak dalam pandangan yang sempit, mengabaikan salah satu pilar penting yang mendukungnya: kebijaksanaan kognitif. Refleksi atas karya Daniel Sohn, Sangho Lee, dan Yang Lee bukan hanya menambah satu bab lagi dalam epik panjang psikologi sosial, tetapi juga membuka mata kita terhadap dimensi kognitif sebagai kaki ketiga yang menopang tarian kompleks kehidupan sosial kita.
Berlandaskan filsafat kuno, yang mengajarkan bahwa pengetahuan diri adalah kunci utama kebijaksanaan, kita diingatkan oleh Plato bahwa hidup tanpa refleksi bagaikan sebuah kapal yang terombang-ambing tanpa kemudi. Karya ini, sejalan dengan prinsip tersebut, mengajak kita untuk mengakui bahwa setiap interaksi sosial kita adalah komposisi dari gerakan fisik, irama emosi, dan, yang sering terlupakan, koreografi kognitif.
Menempatkan diri kita dalam metafora seorang penari, kita mesti menyadari bahwa setiap langkah yang kita ambil (fisik), setiap ketukan hati yang kita rasakan (emosional), serta setiap alur pikiran yang kita ikuti (kognitif), semuanya memainkan peranan penting. Namun, seringkali kaki ketiga ini—kognitif—dipandang sebelah mata, seolah-olah ia bukan bagian integral dari pergerakan kita.
Karya ini mengungkap bahwa usaha kognitif dalam relasi sosial bukanlah entitas yang berdiri sendiri, namun berirama bersama dengan usaha fisik dan emosional. Bayangkan kehidupan sosial sebagai sebuah perahu yang mengarungi lautan: emosi adalah angin yang menerbangkan layar, kognisi adalah arus yang mengarahkan jalannya, dan fisik adalah tenaga mendayung yang menggerakkan kita maju. Ketiga aspek ini harus berirama untuk menciptakan perjalanan yang lancar.
Artikel ini menyentuh hati karena menawarkan lebih dari sekadar penjelasan teoretis; ia memberikan pandangan yang memotivasi kita untuk introspeksi. Dalam konteks masyarakat saat ini yang cenderung mengutamakan aksi dan reaksi cepat, kita mungkin kehilangan momen untuk memproses dan merenung. Penelitian ini mengajak kita untuk memperlambat, memproses, dan secara aktif menggunakan kekuatan kognitif kita dalam setiap interaksi.
Menginspirasi kita untuk menggali lebih dalam, artikel ini bukan hanya tentang meningkatkan pemahaman akademis, tetapi juga tentang mengubah cara kita berinteraksi sehari-hari. Dalam setiap percakapan, setiap pertemuan mata, setiap jabat tangan, terdapat kesempatan untuk tidak hanya menghubungkan secara fisik atau emosional, tapi juga secara intelektual.
Lebih jauh lagi, artikel ini mengajak kita untuk melihat ke dalam diri kita dan bertanya, bagaimana kita dapat meningkatkan kapasitas kognitif kita untuk memberikan kontribusi yang lebih kaya dalam hubungan sosial kita? Bagaimana kita dapat menjadi pendengar yang lebih baik, pemikir yang lebih tajam, dan komunikator yang lebih efektif?
Pada akhirnya, dengan memahami dan menghargai peran kognisi dalam kehidupan sosial kita, kita dapat menjangkau bentuk interaksi yang lebih penuh dan lebih harmonis. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan sering kali terbagi-bagi, penting bagi kita untuk mengakui bahwa kekuatan terbesar kita mungkin terletak pada kemampuan untuk berpikir bersama, bukan hanya bertindak bersama.
Maka, biarkan kita semua menjadi penari yang piawai, yang tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik atau kekuatan emosional, tetapi juga kekuatan kognitif dalam menari di panggung sosial yang dinamis ini. Dengan mengintegrasikan ketiga ‘kaki’ ini, kita tidak hanya akan bergerak dengan lebih anggun dan efektif, tetapi juga akan menciptakan sinergi yang dapat mengangkat seluruh masyarakat kita ke tingkat yang lebih tinggi dari pemahaman dan kerjasama (referensi: Daniel Sohn, Sangho Lee, Yang Lee. (2018). The Three Dimensions of Social Effort: Cognitive, Emotional, and Physical. Psychology and Behavioral Sciences, 7(6-1), 1-5. https://doi.org/10.11648/j.pbs.s.2018070601.11)
Oleh: Kolonel Laut (K) Dr. dr. Hisnindarsyah, SpKL. Subsp.KT(K),SE., M.Kes., MH., C.FEM, FISQua, FRSPH