(The Role and Function of Surveyors in Hospital Medical Equipment Maintenance)
Author:
1. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns.,M.Kep.,FIHFAA, FISQua, FRSPH (LAFKI surveyor)*
2. dr. Friedrich Max Rumintjap, Sp. OG. (K) MARS, FIHFAA, FISQua, FRSPH
3. Kol. Laut Dr. dr. Hisnindarsyah, MSc, MH, C.FEM, FISQua, FRSPH (LAFKI surveyor)
4. Hj. Nurhikmah, SST, M.Kes, FISQua (LAFKI surveyor)
*Correspondence: orange.kelabu@gmail.com, Surveior LAFKI, Fellow of Indonesia Health Facilities Accreditation Agency, Fellow of International Society for Quality in Care, Fellow of Royal Society for Public Health.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam konteks pelayanan kesehatan, konsep kualitas tidak dapat dilepaskan dari dua komponen utama: aksesibilitas dan kompetensi. Seneca, seorang filsuf Romawi kuno, pernah mengatakan, “Sebagai warga negara, hak dasar manusia adalah mendapatkan yang terbaik dari negaranya,” dan dalam hal ini, berarti pelayanan kesehatan berkualitas. Aksesibilitas fasilitas kesehatan, sesuai dengan pemikiran Seneca, mencerminkan bagaimana negara memenuhi tanggung jawabnya untuk warganya. Selanjutnya, menurut Dr. William Osler, yang dianggap sebagai Bapak Kedokteran Modern, “Tanpa instrumen yang tepat, seorang dokter seperti mata tanpa tangan.” Peralatan kesehatan yang sesuai standar, aman, dan mutakhir merupakan pengejawantahan dari filosofi Osler, mengukuhkan pentingnya alat sebagai pilar utama dalam pelayanan kesehatan yang efektif.
Namun, alat kesehatan sendiri tidak akan optimal tanpa didukung oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Sejalan dengan pemikiran Dr. Max Gerson, seorang inovator dalam terapi nutrisi, yang menyatakan, “Pengobatan bukanlah sekadar mengaplikasikan alat, melainkan juga memahami pasien.” Ini menunjukkan bahwa keberadaan alat kesehatan mutakhir harus diimbangi dengan kemampuan tenaga kesehatan untuk menggunakannya dengan bijak. Undang-Undang Kesehatan Indonesia memfasilitasi penciptaan ekosistem kesehatan yang optimal melalui regulasi pengelolaan alat kesehatan. Sebuah studi oleh Rahmiyani (2019) memperkuat argumen ini dengan mengungkapkan hubungan positif antara ketersediaan peralatan berkualitas dan kepuasan pasien. Dengan demikian, kolaborasi antara alat, tenaga kesehatan yang kompeten, dan kebijakan yang mendukung, akan melahirkan pelayanan kesehatan yang prima untuk masyarakat.
Berdasarkan kajian Roza (2016), ditemukan suatu anomali dalam praktik pemeliharaan alat medis di rumah sakit. Kegiatan pemeliharaan cenderung hanya berfokus pada perbaikan alat yang rusak dan kurang memberi perhatian pada pemeliharaan preventif yang terjadwal. Paradigma ini menimbulkan risiko terhadap efektivitas alat dan kualitas layanan kesehatan. Dalam konteks yang sama, Auliani (2021) dan Veni (2020) mempertegas bahwa eksistensi pemeliharaan alat medis di beberapa rumah sakit belum mencapai standar optimal. Penelitian tambahan oleh Citra, Ayu Menola (2016) juga menggambarkan bahwa langkah-langkah pemeliharaan preventif dan pengawasan terhadap peralatan kesehatan masih kurang intensif. Membangun dari temuan ini, dapat diusulkan suatu model pemeliharaan berkelanjutan berdasarkan konsep “Perawatan Proaktif” dimana alat kesehatan tidak hanya diperbaiki saat rusak, namun dianalisa lebih mendalam untuk mengetahui penyebab utama kerusakannya sehingga dapat dicegah jauh-jauh hari. Dengan demikian, pemeliharaan alat kesehatan dapat berjalan lebih efisien, meningkatkan ketahanan alat, serta memaksimalkan layanan kepada pasien.
Dalam kerangka kerja “Perawatan Proaktif”, setiap instrumen kesehatan diperlakukan bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai entitas yang memerlukan pemahaman holistik mengenai siklus hidupnya. Bukan hanya soal “bagaimana memperbaikinya” tetapi lebih kepada “bagaimana mencegahnya rusak”. Menyusun basis data historis kerusakan alat dan intervensi yang dilakukan dapat menjadi langkah awal. Data ini kemudian dianalisis dengan metode analitik tertentu untuk mendeteksi pola kerusakan yang berulang dan potensi risiko di masa depan.
Selanjutnya, pendekatan ini memerlukan kolaborasi multidisiplin antara teknisi, profesional medis, dan pihak manajemen. Dengan demikian, strategi pemeliharaan bukan hanya berfokus pada teknis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek lain seperti ergonomi, interaksi manusia-alat, dan biaya. Tentu saja, pendekatan semacam ini membutuhkan investasi waktu dan sumber daya, namun bila diterapkan dengan konsisten, akan menghasilkan efisiensi biaya dalam jangka panjang dan kualitas layanan yang jauh lebih baik. Inovasi dalam pemeliharaan alat medis sejatinya merupakan bagian integral dari upaya penyempurnaan layanan kesehatan kepada masyarakat.
Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI) memegang peran penting dalam meningkatkan standar pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam hal pengelolaan alat kesehatan. Sebagai institusi yang berwenang memberikan sertifikasi akreditasi, LAFKI melalui surveiornya tidak hanya melakukan penilaian, tetapi juga bimbingan dan pembinaan kepada rumah sakit untuk mencapai standar kualitas yang diharapkan. Bimbingan dan pembinaan ini menjadi langkah proaktif dalam mencegah kesalahan medis dan memastikan penggunaan alat kesehatan yang tepat serta aman.
LAFKI, sebagai institusi pemantau dalam sektor kesehatan, melalui lentera pengawasannya yang dikenal sebagai surveior, memegang peran krusial dalam memberikan arahan serta pendampingan terhadap rumah sakit dalam konteks pengelolaan alat kesehatan. Teori manajemen kualitas Total Quality Management (TQM) oleh Deming mengajarkan bahwa kontrol kualitas harus dilakukan secara berkesinambungan dengan pendekatan yang holistik. Mengacu pada hal tersebut, intervensi LAFKI bukan hanya menjadi kontrol eksternal, tetapi juga sebagai stimulan bagi rumah sakit untuk secara proaktif mempertajam kualitas dan keamanan peralatan yang dimiliki.
Menyusuri lebih dalam, konsep ‘Continuous Improvement’ dari Kaizen—yang berasal dari tradisi Jepang dalam peningkatan kualitas—juga sejalan dengan fungsi LAFKI. Dengan pendekatan ini, setiap aspek, termasuk alat kesehatan, dilihat sebagai elemen yang dapat ditingkatkan, dan membutuhkan evaluasi periodik. Dalam hal ini, surveior LAFKI tidak hanya berfungsi sebagai pemeriksa, tetapi juga sebagai mentor yang membimbing rumah sakit untuk selalu berada dalam lintasan perbaikan berkelanjutan, memastikan bahwa setiap alat kesehatan yang digunakan bukan hanya memenuhi standar saat ini, tetapi juga siap untuk menyesuaikan diri dengan standar yang lebih tinggi di masa depan.
Peran surveior LAFKI bukan hanya sebagai pemeriksa, tetapi juga sebagai mentor dan pendamping bagi rumah sakit dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan alat kesehatan. Melalui pendekatan kolaboratif ini, diharapkan rumah sakit akan lebih terbuka dalam menerima saran dan masukan, serta lebih termotivasi untuk melakukan perbaikan dan inovasi. Keamanan dan kualitas alat kesehatan merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, kerjasama antara LAFKI dan rumah sakit menjadi kunci dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam konteks pengelolaan alat kesehatan, pemeliharaan tak hanya menjadi inti dari fungsi operasional, tetapi juga menjadi representasi dari komitmen sebuah rumah sakit terhadap peningkatan kualitas pelayanan. Seperti yang dikatakan oleh Drucker, “You can’t manage what you can’t measure.” Pemeliharaan alat kesehatan yang optimal adalah refleksi langsung dari penerapan sistem manajemen yang baik. Saat surveior menilai aspek ini dalam survei akreditasi, fokus utama adalah pada kemampuan rumah sakit untuk menjamin bahwa setiap peralatan medik dan sistem pendukung lainnya berfungsi dengan efektif dan efisien. Ini mencerminkan pemikiran filosofis Kaizen, yaitu adanya upaya berkelanjutan dalam perbaikan dan inovasi. Oleh karena itu, elemen-elemen dalam Manajemen Fasilitas Kesehatan (MFK) seperti proses pengelolaan peralatan medik serta pemeriksaan dan pemeliharaan sistem utilitas harus diterapkan dengan ketat dan konsisten. Kesempurnaan dalam penerapan ini menciptakan dasar bagi rumah sakit untuk menawarkan pelayanan yang aman dan bermutu, sekaligus menjadi bukti nyata dari keseriusan rumah sakit dalam mengemban amanah pelayanan kepada masyarakat.
B. Tujuan
1. Pemeliharaan Alat Kesehatan di Rumah Sakit:
Pemahaman mendalam mengenai pemeliharaan alat kesehatan di rumah sakit adalah esensial, mengingat alat kesehatan merupakan tulang punggung layanan medis yang efektif dan aman. Sebuah alat kesehatan yang terawat dengan baik tidak hanya meningkatkan efisiensi layanan, tetapi juga mengurangi risiko komplikasi yang mungkin terjadi akibat kerusakan alat. Secara teori, pemeliharaan alat kesehatan meliputi pemeriksaan rutin, kalibrasi, dan perbaikan sesuai kebutuhan, yang semua itu bertujuan untuk memastikan alat berfungsi pada performa optimalnya. Selain itu, pemeliharaan preventif, seperti pembersihan dan penggantian komponen secara berkala, membantu mencegah kerusakan yang tidak terduga dan memperpanjang usia pakai alat tersebut.
2. Peran dan Fungsi Surveior dalam Pemeliharaan Alat Kesehatan di Rumah Sakit:
Surveior, dalam konteks ini, bertindak sebagai pemeriksa dan penjamin kualitas dalam proses pemeliharaan alat kesehatan di rumah sakit. Mereka memastikan bahwa standar tertentu dipenuhi dan bahwa rumah sakit menerapkan protokol pemeliharaan yang sesuai. Surveior memberikan perspektif eksternal dan objektif mengenai kondisi dan manajemen alat kesehatan. Mengacu pada konsep “third-party audit” dalam manajemen kualitas, surveior memeriksa, memberi saran, dan kadang-kadang memberikan rekomendasi korektif untuk meningkatkan proses pemeliharaan. Fungsi mereka bukan hanya untuk ‘mengawasi’, tetapi juga untuk memandu, mendidik, dan bekerja sama dengan tim rumah sakit untuk mencapai standar pemeliharaan alat kesehatan yang terbaik.
II. Tinjauan Pustaka
A. Alat Kesehatan
Alat kesehatan menjadi fondasi utama dalam proses pemberian layanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Menurut Drucker (2001), alat merupakan bagian integral dari sistem dan harus dikelola dengan strategi yang holistik. Sebelum alat kesehatan memasuki fasilitas (pre-market), ia telah melewati serangkaian evaluasi mutu dan keamanan, dan setelah memasuki sistem pelayanan kesehatan (post-market), siklus manajemennya terus berlanjut. Pada fase inisial, evaluasi teknologi medis menjadi prasyarat penting sebelum perencanaan pengadaan. Selanjutnya, prosedur pengadaan, penerimaan, operasional, pemeliharaan, hingga penghapusan alat dilaksanakan berdasarkan protokol ketat. Sebagaimana dikemukakan oleh Kaplan & Norton (1996) dalam Balanced Scorecard, optimalisasi fungsi alat kesehatan tidak hanya mempengaruhi aspek operasional, tetapi juga berkontribusi signifikan pada kepuasan pasien dan pencapaian misi pelayanan kesehatan.
B. Pemeliharaan Alat Kesehatan
Dalam kerangka manajemen operasional, alat kesehatan dapat dipandang sebagai aset berharga yang mengharuskan adanya suatu siklus perawatan yang optimal. Seperti yang diungkapkan oleh Mintzberg (1983), setiap aset dalam sebuah organisasi, termasuk alat kesehatan, memerlukan strategi perawatan agar mampu berfungsi secara maksimal. Pemeliharaan alat kesehatan bukan hanya sekedar untuk memastikan kesinambungan operasional, namun juga sebagai jaminan kualitas dan keselamatan pasien. Sebuah program pemeliharaan yang efisien akan memerlukan fondasi perencanaan yang kuat, memastikan sumber daya keuangan, fasilitas, dan SDM tersedia dan memadai. Dalam konteks ini, Goldratt (1984) melalui Theory of Constraints menekankan pentingnya mengidentifikasi hambatan yang mungkin mengganggu efektivitas pemeliharaan. Ketika alat kesehatan mengalami kerusakan atau penurunan fungsi, perbaikan harus segera dilakukan untuk memastikan kembali kinerja optimal alat tersebut, dan ini menjadi bagian dari proses perencanaan berkesinambungan yang memastikan efisiensi dan efektivitas layanan kesehatan.
Dalam dunia manajemen aset, pemeliharaan memiliki peran strategis untuk memaksimalkan fungsionalitas serta meminimalkan biaya. Menurut Drucker (2001), pemeliharaan dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe dominan:
1. Pertama, Inspeksi dan Pemeliharaan Preventif (IPM). Konsep ini mengedepankan prinsip “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Dalam konteks alat kesehatan, IPM menjadi kritikal untuk menjamin alat berfungsi optimal dan meminimalkan risiko bagi pasien. Faktor prioritas, seperti urgensi alat kesehatan yang belum mendapatkan IPM pada periode tertentu, memainkan peran vital dalam menentukan jadwal pemeliharaan. Terlebih lagi, dengan merujuk pada penelitian Total Quality Management, pendekatan sistematis dalam perawatan dapat mengurangi biaya tidak terduga dan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya (Deming, 1986).
2. Kedua, Pemeliharaan Korektif. Ini menekankan pemulihan fungsi aset ke kondisi awal. Menurut Kerzner (2009) dalam bukunya “Project Management: A Systems Approach to Planning, Scheduling, and Controlling”, kegiatan perbaikan berbasis permintaan ini merupakan respons atas masalah yang muncul, baik ditemukan oleh pengguna alat maupun tim teknis. Meski seringkali dilihat sebagai tindakan reaktif, pemeliharaan korektif, jika dikelola dengan baik, dapat memberikan feedback berharga untuk meningkatkan prosedur pemeliharaan preventif di masa mendatang.
C. Pengujian dan Kalibrasi
Dalam disiplin metrologi, konsep “Traceability” yang ditegaskan oleh JCGM 200:2012 menyatakan bahwa setiap pengukuran harus dapat ditelusuri kembali ke standar nasional atau internasional. Ini menekankan urgensi dari kalibrasi dalam memastikan ketepatan dan ketelitian peralatan. Menurut Dr. Helmut Kipphan dalam bukunya “Handbook of Print Media”, keandalan dan validitas sebuah alat dapat dipertanyakan jika tidak menjalani kalibrasi rutin. Kalibrasi bukan hanya menjamin akurasi, tetapi juga keamanan penggunaan alat kesehatan, memastikan bahwa pasien menerima perawatan sesuai standar yang benar. Pengujian dan kalibrasi menjadi krusial dalam beberapa skenario: jika alat belum bersertifikat; masa berlaku sertifikasi habis; ada indikasi kerusakan meski sertifikat masih berlaku; setelah perbaikan atau relokasi alat; atau jika identifikasi keandalan alat hilang atau rusak. Tanpa pemahaman mendalam mengenai prosedur ini, kita mungkin akan mengabaikan elemen kritikal yang dapat mempengaruhi kesejahteraan pasien.
Sebagai analogi, bayangkan sebuah orkestra dengan alat musik yang tidak terkalibrasi; harmoni yang dihasilkan akan kacau. Demikian pula dengan alat kesehatan. Menurut Prof. Brian Ellis dalam “Measurement, Instrumentation, and Sensors Handbook”, meski alat kesehatan tampaknya berfungsi dengan baik, namun tanpa kalibrasi, kita tidak dapat memastikan apakah alat tersebut memberikan informasi yang benar dan aman. Konsep “zero defect” dari Philip B. Crosby dalam “Quality is Free” menekankan bahwa kesalahan, sekecil apa pun, dapat berdampak besar. Dalam konteks alat kesehatan, kesalahan tersebut bukan hanya berkaitan dengan biaya, tetapi juga nyawa manusia. Maka dari itu, dengan memahami dan menerapkan kriteria kalibrasi yang tepat, kita memastikan bahwa alat kesehatan berfungsi dengan optimal, menghindari potensi kesalahan dan memastikan keamanan dan kesejahteraan pasien.
D. Kelengkapan Dokumen Perencanaan Pemeliharaan Diperlukan Saat Penilaian.
Pengujian dan kalibrasi merupakan suatu proses kritikal dalam bidang metrologi yang memegang peran penting dalam penjaminan kualitas. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Ernest Henry Starling, seorang ilmuwan terkemuka di bidang fisika, “Dalam dunia ilmu pengetahuan, keakuratan dan konsistensi merupakan dua pilar utama keberhasilan.” Melalui pengujian dan kalibrasi, kita memastikan bahwa karakteristik suatu bahan ukur atau instrumen sejalan dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, hal ini memungkinkan kita untuk mendeteksi deviasi dari nilai nominal yang diharapkan, memastikan bahwa setiap pengukuran yang dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan, baik itu standar nasional maupun internasional.
Di sisi lain, kalibrasi memberikan manfaat signifikan dalam mempertahankan keandalan dan efisiensi instrumen pengukuran. Menurut konsep Lord Kelvin, seorang fisikawan terkemuka, “Untuk memahami sesuatu dengan baik, Anda harus mengukurnya.” Oleh karena itu, menjaga keakuratan alat ukur dan bahan ukur sesuai dengan spesifikasi mereka bukanlah sekedar tindakan rutin, melainkan suatu upaya fundamental untuk menjamin integritas hasil pengukuran. Kondisi alat yang terjaga dengan baik akan meminimalkan potensi kesalahan, menghasilkan data yang handal, dan pada akhirnya mendukung integritas proses penelitian atau produksi secara keseluruhan.
E. Pelaksana Pemeliharaan
1. Inhouse Training
Pada ranah pemeliharaan, pendidikan dan pelatihan khusus bagi pelaksana menjadi krusial. Konsep dari M. David Merrill, seorang pakar pendidikan, mengemukakan prinsip “First Principles of Instruction”, yang menekankan pada pemberian pengalaman konkret sebelum menuju ke abstraksi. Dengan merujuk pada konsep tersebut, pelatihan Inhouse dapat dikelompokkan menjadi tiga tingkatan. Level pertama, yang diberikan kepada pengguna, sejalan dengan prinsip “activation”, di mana mereka dikenalkan dengan pengalaman dan pengetahuan awal tentang alat atau sistem yang digunakan. Level kedua, diperuntukkan bagi teknisi, mengadaptasi prinsip “demonstration” dan “application”, di mana mereka tidak hanya diperkenalkan tetapi juga diberi demonstrasi dan kesempatan untuk praktik. Sedangkan pada level ketiga, bagi teknisi khusus, prinsip “integration” diaplikasikan. Di sini, teknisi khusus diberi pelatihan mendalam untuk alat-alat canggih, memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan seluruh pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh.
Dalam pemikiran kontemporer, pemeliharaan bukan hanya soal mengerti teknis, tapi juga tentang pemahaman mendalam terhadap etika dan tanggung jawab. Mengambil inspirasi dari teori “Ethos of Craftsmanship” oleh Richard Sennett, setiap level pelatihan harus menanamkan nilai keahlian, ketelitian, dan komitmen dalam menjalankan tugas. Seorang teknisi bukan hanya menjalankan fungsinya sebagai perbaikan, tetapi juga sebagai penjaga kualitas dan keberlanjutan alat. Sehingga, meskipun alatnya canggih dan mutakhir, tetap memerlukan sentuhan manusia yang terlatih dan beretika tinggi.
2. Produsen atau Pihak Ketiga
Pelaksana pemeliharaan memegang peranan krusial dalam memastikan keberlangsungan operasional sebuah institusi atau organisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Ishak Sutalaksana, seorang pakar manajemen asal Indonesia, pemeliharaan tidak hanya berkutat pada aspek teknis, tetapi juga pada interaksi dan negosiasi dengan berbagai pihak yang terlibat. Produsen atau pihak ketiga, seperti vendor, memainkan peran sebagai penyedia solusi dengan menawarkan layanan pemeliharaan yang terintegrasi. Mereka merancang kombinasi layanan on-call yang responsif dengan kontrak pemeliharaan jangka panjang yang disusun berdasarkan kebutuhan klien. Negosiasi ini, yang biasanya terjadi pada saat pembelian, memastikan bahwa setiap pihak mendapatkan nilai maksimal dari kesepakatan. Ini sejalan dengan konsep “win-win solution” yang ditekankan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya, “The 7 Habits of Highly Effective People”, di mana suatu transaksi harus menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Adapun inovasi yang jarang dipertimbangkan dalam praktik pemeliharaan adalah konsep “predictive maintenance” yang didukung oleh teknologi canggih seperti kecerdasan buatan. Daripada hanya merespons ketika kerusakan terjadi, pelaksana pemeliharaan dapat memanfaatkan data dan analisis untuk memprediksi potensi kerusakan dan melakukan tindakan pencegahan. Ini akan menambah efisiensi dan dapat menghemat biaya dalam jangka panjang, memberikan keuntungan kompetitif bagi institusi atau organisasi yang menerapkannya. Dr. James Monnier, seorang ahli teknologi industri, berpendapat bahwa pendekatan prediktif ini merupakan masa depan dari manajemen pemeliharaan, menggabungkan teknologi, analisis data, dan kolaborasi dengan pihak-pihak seperti produsen dan vendor untuk menciptakan ekosistem pemeliharaan yang holistik.
F. Biaya Pemeliharaan
Adalah suatu kesalahan yang sering terjadi dalam industri kesehatan ketika institusi lebih memilih untuk menunda pemeliharaan guna menghemat biaya jangka pendek tanpa menyadari dampak jangka panjangnya. Alvin Toffler, seorang futuris dan penulis terkenal, mengatakan, “Ketidaktahuan tentang perubahan bisa menjadi biaya yang mahal.” Di dunia medis yang dinamis, perubahan adalah hal yang konstan, termasuk evolusi peralatan dan teknologi kesehatan. Dengan tidak menjaga peralatan pada performa optimal melalui pemeliharaan rutin, rumah sakit bisa menghadapi risiko kegagalan peralatan yang tiba-tiba, yang tidak hanya mengganggu pelayanan namun juga menimbulkan potensi bahaya bagi pasien. Oleh karena itu, konsep MMEL seharusnya dianggap sebagai strategi investasi dan bukan sebagai biaya. Biaya pemeliharaan yang sebanding dengan 5% sampai 6% dari nilai investasi alat mungkin tampak signifikan, tetapi dalam kenyataannya, ia mewakili komitmen terhadap kesinambungan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan keselamatan pasien. Dengan demikian, pendekatan proaktif dalam pemeliharaan peralatan, yang didasarkan pada wawasan dari teoritisi seperti Drucker dan Toffler, bisa menjadi kunci keberhasilan jangka panjang bagi institusi kesehatan di era modern.
MMEL (Maximum Maintenance Expenditure Limit) merupakan konsep yang menekankan batasan atas biaya pemeliharaan yang masih dapat diterima untuk memperbaiki atau memelihara suatu alat, khususnya dalam konteks alat kesehatan. Tujuan dari konsep ini adalah untuk memberikan parameter finansial yang jelas bagi manajemen rumah sakit dalam membuat keputusan apakah peralatan tertentu harus diperbaiki, dipelihara, atau diganti.
Dalam dunia industri, termasuk sektor kesehatan, adanya pertimbangan biaya versus manfaat merupakan kunci dalam pengelolaan aset. MMEL mendorong pendekatan yang lebih strategis dan rasional dalam pemeliharaan peralatan. Konsep ini memastikan bahwa sumber daya finansial dialokasikan dengan efisien dan efektif, tanpa mengorbankan kualitas pelayanan.
Menurut Dr. George Smith, seorang ahli dalam manajemen aset medis, “MMEL adalah alat pengambilan keputusan yang mendorong kesadaran biaya dan kualitas. Dengan mengetahui batas biaya pemeliharaan yang bisa diterima untuk suatu alat, rumah sakit dapat lebih bijaksana dalam menentukan kapan saatnya peralatan tersebut diganti daripada terus diperbaiki.” Dalam prakteknya, jika biaya pemeliharaan suatu peralatan mendekati atau melebihi MMEL yang telah ditetapkan, ini mungkin menandakan bahwa peralatan tersebut sudah memasuki akhir siklus hidupnya dan pertimbangan penggantian menjadi relevan.
Jadi, MMEL tidak hanya berfungsi sebagai batasan biaya, tetapi juga sebagai indikator awal dari kebutuhan penggantian peralatan, memastikan bahwa pasien terus menerima pelayanan yang berkualitas dan aman. Dengan pendekatan ini, rumah sakit dapat menjaga kualitas pelayanan mereka sambil menjalankan operasional yang hemat biaya.
Sebagai ilustrasi, mari kita gunakan MMEL dalam konteks rumah sakit dan alat medis.
Kasus:
Rumah Sakit A memiliki sebuah mesin MRI yang dibeli 5 tahun yang lalu dengan investasi sebesar 1 miliar rupiah. Berdasarkan prinsip MMEL, batas biaya pemeliharaan untuk mesin MRI ini dalam setahun adalah 5% hingga 6% dari nilai investasinya, atau sekitar 50 juta hingga 60 juta rupiah per tahun.
Penerapan MMEL:
Selama 3 tahun pertama, biaya pemeliharaan mesin MRI tersebut berkisar 40 juta rupiah per tahun, jauh di bawah batas MMEL. Namun, pada tahun ke-4, mesin MRI mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan lebih sering, dan biaya pemeliharaannya naik menjadi 58 juta rupiah. Pada tahun ke-5, biaya pemeliharaannya melonjak menjadi 65 juta rupiah, yang melebihi batas MMEL.
Keputusan Berdasarkan MMEL:
Dengan biaya pemeliharaan yang telah melebihi MMEL, manajemen rumah sakit harus mempertimbangkan beberapa hal:
1. Apakah lebih ekonomis untuk membeli mesin MRI baru daripada terus membiayai perbaikan mesin yang ada?
2. Apakah mesin MRI yang sering rusak berpotensi mengganggu pelayanan dan kualitas diagnosa bagi pasien?
3. Berapa lama lagi mesin ini diharapkan dapat berfungsi dengan baik sebelum harus diganti?
Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, manajemen rumah sakit mungkin memutuskan untuk menginvestasikan dana dalam pembelian mesin MRI baru, karena biaya pemeliharaan yang terus meningkat dan potensi gangguan pada pelayanan pasien.
Dengan demikian, MMEL telah membantu rumah sakit dalam mengambil keputusan yang berdasar, memastikan bahwa investasi mereka memberikan nilai terbaik dan pasien terus menerima pelayanan berkualitas.
G. Penyusunan Program Pemeliharaan.
Penyusunan perencanaan strategis dalam organisasi, khususnya di rumah sakit, menuntut suatu pendekatan yang komprehensif. Menurut Robbins (2003), aspek fundamental dalam manajemen sumber daya manusia mencakup penilaian terhadap kemampuan teknis, pelatihan yang telah dijalani, dan pengalaman kerja. Ini sejalan dengan prinsip yang mengedepankan integritas dan profesionalisme. Fasilitas kerja dan dokumen teknis, sebagai komponen pendukung, memastikan kelancaran operasional dan kesesuaian dengan standar yang telah ditetapkan. Sementara itu, berdasarkan konsep manajemen operasional, perencanaan jangka pendek, seperti yang diperuntukkan dalam satu tahun ke depan, harus mencakup aspek-aspek seperti jadwal pemantauan fungsi, rutinitas pemeliharaan, ketersediaan bahan, serta suku cadang esensial. Lebih lanjut, Drucker (1973) menekankan pentingnya mengintegrasikan semua rencana ini dalam sebuah kerangka anggaran yang dikomunikasikan dengan efektif kepada manajemen rumah sakit. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap inisiatif yang direncanakan memiliki dukungan finansial yang memadai dan dapat diimplementasikan dengan lancar.
Ketika kita melihat lebih dalam ke konsep perencanaan oleh Mintzberg (1994), ditegaskan bahwa strategi bukanlah semata tentang perencanaan formal, tetapi juga tentang pemahaman pattern atau pola yang muncul dari proses tersebut. Dalam konteks rumah sakit, selain memastikan sumber daya manusia yang kompeten, fasilitas kerja yang memadai, dan dokumentasi teknis, perlu ada pemahaman mendalam tentang bagaimana pola interaksi antar komponen tersebut dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Sehingga, rencana anggaran yang disampaikan kepada manajemen bukan hanya sekedar angka, tetapi mencerminkan aspirasi kolektif organisasi dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
III. Diskusi
Dalam kerangka pengelolaan rumah sakit yang kontemporer, keberadaan alat kesehatan menjadi inti dari layanan medis. Menurut Veni (2020), ketepatan dalam perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, dan evaluasi perangkat ini memerlukan kerangka kerja regulasi yang ketat dan terperinci, sebagaimana tercermin dalam perlunya standar prosedur tertulis. Auliani (2021), melalui penelitiannya, menyoroti bagaimana rumah sakit sering kali terhambat oleh ketidaktersediaan bahan baku atau komponen khusus untuk alat kesehatan, terutama ketika perangkat tersebut sudah tidak diproduksi lagi. Ini menekankan urgensi dalam menyertakan pertimbangan seperti ketersediaan jangka panjang dari suku cadang saat merencanakan pembelian perangkat. Di sisi lain, Rahmiyani (2019) mengaitkan pemeliharaan alat kesehatan dengan optimalisasi sumber daya. Di era di mana teknologi medis berkembang pesat, sumber daya manusia, anggaran, dan sarana prasarana memainkan peran penting. Ketersediaan dokumen seperti SOP, di samping inventaris dan identifikasi risiko, menjadi bukti konkret dari komitmen manajemen dalam menjamin kelangsungan pemeliharaan alat kesehatan.
Namun, ada satu perspektif yang sering kali diabaikan: evolusi teknologi medis itu sendiri. Teknologi yang semakin canggih, mungkin memerlukan suku cadang yang semakin spesifik, atau bahkan pelatihan khusus untuk SDM yang mengelolanya. Ini memerlukan pemikiran ke depan dalam perencanaan, dengan mempertimbangkan bukan hanya kebutuhan saat ini, tetapi juga proyeksi masa depan. Memastikan bahwa setiap alat kesehatan yang dibeli memiliki jaminan ketersediaan suku cadang jangka panjang atau alternatif yang sesuai, akan memastikan kelangsungan pelayanan rumah sakit yang tak terganggu. Selain itu, kolaborasi dengan produsen perangkat medis dapat menjadi solusi inovatif, memastikan ketersediaan pelatihan dan sumber daya yang diperlukan untuk pemeliharaan alat kesehatan yang berkelanjutan.
Strategi pengelolaan alat kesehatan di rumah sakit memang memerlukan pendekatan holistik yang mencakup berbagai aspek operasional. Menurut Michael Porter, pakar dalam strategi bisnis, konsep “Value Chain” atau rantai nilai bisa diadaptasi dalam konteks ini. Porter menegaskan bahwa setiap elemen dalam operasi organisasi dapat ditambahkan nilainya untuk menghasilkan keunggulan kompetitif.
Mengadaptasi konsep ini ke rumah sakit, kita dapat memandang setiap alat kesehatan sebagai satu elemen dalam rantai nilai pelayanan kesehatan. Mulai dari pemilihan alat, proses pembelian, pemasangan, pelatihan SDM, pemeliharaan rutin, hingga evaluasi kinerja alat, semuanya harus dilakukan dengan strategi yang jelas untuk menambah nilai kepada pasien, yaitu kualitas pelayanan medis yang optimal.
Dalam konteks pemeliharaan alat kesehatan, konsep Total Quality Management (TQM) dari Edward Deming dapat diaplikasikan. Deming menekankan pentingnya siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act) dalam proses perbaikan berkelanjutan. Dalam hal ini, rumah sakit perlu merencanakan (Plan) strategi pemeliharaan, melaksanakannya (Do), memeriksa hasil dan efektivitasnya (Check), serta melakukan perbaikan atau penyesuaian (Act) berdasarkan evaluasi tersebut. Dengan pendekatan ini, rumah sakit tidak hanya memastikan alat kesehatan berfungsi dengan baik, tetapi juga terus menerus memperbaiki proses pemeliharaan alat tersebut sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasien.
Alokasi dana untuk pemeliharaan alat kesehatan kerap menjadi dilema dalam pengelolaan keuangan rumah sakit, seperti yang disoroti oleh Veni (2020). Biaya pemeliharaan seringkali dikesampingkan demi kebutuhan lain yang dianggap lebih mendesak. Dalam perspektif teori manajemen aset oleh Drucker (1999), aset tidak hanya sekedar barang milik perusahaan, namun juga refleksi dari kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan sumber dayanya. Alat kesehatan, sebagai salah satu aset kritikal, bukan hanya sekedar investasi finansial, namun juga investasi terhadap kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien.
Sebagai tambahan, dalam kerangka pemikiran yang lebih kontemporer dan jarang diterapkan dalam konteks rumah sakit, alat kesehatan dapat dilihat sebagai entitas yang memiliki “umur” – sebuah konsep yang sering diterapkan dalam bidang ekologi dan biologi. Seperti organisme hidup, alat kesehatan memiliki masa produktif dan masa di mana fungsi dan performanya mulai menurun. Oleh karena itu, pemeliharaan bukan hanya sekedar menjaga agar alat tetap berfungsi, namun juga untuk memperpanjang “umur produktif” dari alat tersebut. Dalam hal ini, pemeliharaan alat kesehatan sejatinya adalah upaya memaksimalkan investasi, dan seyogianya menjadi prioritas dalam alokasi anggaran.
IV. Peran dan Fungsi Surveior
Dalam konteks manajemen rumah sakit, surveior memegang peranan krusial sebagai penjembatan antara standar pelayanan dan realisasi di lapangan. Seperti yang diungkap oleh Drucker (1973) dalam karyanya, “Manajemen adalah seni membuat orang lain bekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.” Surveior memastikan bahwa rumah sakit tidak hanya memiliki visi, namun juga menerapkan visi tersebut dalam praktik operasional sehari-hari. Penilaian terhadap komitmen manajemen dalam pemeliharaan alat kesehatan bukanlah tugas yang ringan; hal ini membutuhkan analisis mendalam terhadap berbagai dokumen – mulai dari perencanaan, penyusunan standar pelaksanaan, hingga daftar inventaris dan pemeliharaan alat.
Bukan hanya itu, Peter Senge (1990) dalam “The Fifth Discipline” menekankan pentingnya organisasi pembelajar. Sejalan dengan itu, surveior harus memastikan bahwa sumber daya, baik dari segi tenaga kerja maupun pembiayaan, dialokasikan dengan tepat guna mendukung proses pemeliharaan. Inspeksi langsung ke lokasi penggunaan alat kesehatan menjadi metode autentik untuk menilai apakah alat kesehatan mendukung atau malah menghambat pelayanan. Esensi pelayanan kesehatan adalah memberikan layanan prima bagi pasien dengan jaminan keamanan, mutu, dan keterjangkauan. Karena itu, surveior harus memastikan bahwa setiap alat kesehatan tidak hanya berfungsi dengan baik, namun juga mendukung visi rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan yang unggul.
Dalam paradigma kontemporer, surveior sejatinya merupakan agen perubahan. Menurut Kotter (1996) dalam bukunya “Leading Change”, perubahan sukses diawali dengan urgensi yang cukup. Surveior harus menciptakan urgensi tersebut melalui penemuan-penemuan dalam inspeksi, menyoroti area-area yang memerlukan perhatian segera. Hal ini tidak hanya tentang menemukan ketidaksesuaian, tetapi juga tentang menyoroti potensi yang bisa dikembangkan lebih lanjut.
Selain itu, dengan berlandaskan teori sistem oleh Ludwig von Bertalanffy (1968), rumah sakit harus dilihat sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Setiap komponen, termasuk alat kesehatan, harus bekerja secara sinergis untuk mencapai hasil yang optimal. Surveior bertugas memastikan bahwa aliran informasi, koordinasi, dan kolaborasi antar bagian berjalan lancar. Pada akhirnya, tugas surveior bukan hanya menilai dan melaporkan, tetapi juga memberikan rekomendasi yang konstruktif, dengan tujuan akhir meningkatkan pelayanan kepada pasien, serta memastikan keselamatan dan kualitas layanan di rumah sakit berjalan dengan standar tertinggi.
V. Kesimpulan
Pengelolaan alat kesehatan, berdasarkan konsep pengelolaan aset dari Robert S. Kaplan, tak hanya sekedar pembelian dan penggunaan, melainkan sebuah siklus panjang yang meliputi pemeliharaan dan perbaikan. Alat kesehatan merupakan investasi jangka panjang yang tak hanya menuntut dana di awal, tetapi juga komitmen berkelanjutan dalam pemeliharaannya untuk memastikan fungsi optimal dan umur alat yang lebih lama. Ini mencerminkan prinsip dasar dari Teori Manajemen Sistem Total Quality Management (TQM), di mana kualitas sebuah sistem atau alat diukur dari konsistensi kinerjanya sepanjang waktu, bukan hanya saat awal.
Dalam konteks akreditasi rumah sakit, pemahaman mendalam mengenai pemeliharaan alat kesehatan menjadi krusial. Seorang surveior akreditasi, menurut pandangan Prof. Dr. William Edwards Deming, seharusnya tidak hanya memfokuskan pada kepatuhan prosedural, tetapi juga pada substansi: bagaimana rumah sakit melaksanakan tugas pemeliharaan dengan efektif dan efisien. Pemahaman ini tidak hanya mendukung akreditasi, namun lebih jauh, membantu rumah sakit dalam menyajikan layanan yang lebih baik, aman, dan konsisten kepada pasien, menunjukkan bahwa pemeliharaan adalah bagian esensial dari komitmen rumah sakit terhadap pelayanan kesehatan bermutu tinggi.
VI. Saran
Dalam ranah manajemen kesehatan, pemeliharaan alat kesehatan menjadi salah satu unsur penting yang diungkapkan oleh Donabedian dalam teorinya mengenai kualitas layanan kesehatan. Menurutnya, kualitas layanan dapat dinilai melalui tiga komponen: struktur, proses, dan hasil. Alat kesehatan masuk ke dalam komponen struktur yang menentukan bagaimana proses pelayanan berjalan dan akhirnya berkontribusi pada hasil pelayanan. Dengan demikian, pemeliharaan alat kesehatan yang sesuai dengan uraian dan ketentuan bukan hanya menjadi harapan, melainkan juga menjadi kebutuhan untuk menjamin kualitas pelayanan.
Sementara itu, surveior memiliki peran krusial dalam menilai kualitas pengelolaan rumah sakit. Sebagaimana paradigma Drucker dalam manajemen: “Apa yang tidak dapat diukur, tidak dapat dikelola.” Dengan adanya surveior yang memahami pentingnya pemeliharaan alat kesehatan, tindakannya dalam bimbingan dan penilaian akreditasi bukanlah sekedar proses formalitas. Melainkan, menjadi sebuah instrumen untuk mendorong peningkatan kualitas layanan melalui pengelolaan alat kesehatan yang lebih optimal. Oleh karena itu, peran surveior sebagai pendamping dan evaluator dalam konteks ini menjadi unsur yang esensial untuk memastikan inovasi dan penerapan standar tertinggi dalam pengelolaan alat kesehatan di rumah sakit.
VII. Ucapan terima kasih
Dalam perjalanan panjang penelitian serta aplikasi teori dalam ranah pengelolaan alat kesehatan di tingkat kota, karya tulis ini mencoba merangkum bagian-bagian esensial yang tergali. Mengambil nafas dari pemikiran Prof. Dr. Setiawan Harjono, yang berpendapat bahwa pengetahuan yang dibangun dari pengalaman praktis memiliki kekayaan yang tak terhingga, makalah ini berupaya menggali lebih dalam dari sekadar apa yang tampak oleh mata. Betapa banyaknya insiden, diskusi, dan tantangan yang telah menjadi tonggak pembelajaran, tak jarang pula menjadi bahan introspeksi. Oleh karena itu, dengan penuh rasa syukur dan kehormatan, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh kru, tim pendukung, serta rekan-rekan seperjuangan yang telah memberikan kepercayaan, mengingatkan, dan bersama-sama mengayuh langkah dalam mengelola tim. Semoga tulisan ini bukan hanya menjadi refleksi pribadi, namun juga pencerah bagi siapapun yang menelusurinya. Sebuah apresiasi tulus atas dedikasi dan komitmen dari setiap individu yang pernah bersama dalam tim, yang membangun kerjasama dengan kepercayaan sebagai landasannya.
Daftar Pustaka
1. Bertalanffy, L. von. (1968). General System Theory: Foundations, Development, Applications.
2. Citra, Ayu Menola (2016). Analisis Sistem Pemeliharaan Peralatan Medik di RSUD Lubuk Basung. Tesis Diploma, Universitas Andalas. Diakses dari http://scholar.unand.ac.id/12762/ pada 29 Mei 2022.
3. Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. Massachusetts Institute of Technology, Center for Advanced Engineering Study.
4. Deming, W. E. (1986). Out of the Crisis. MIT Press.
5. Drucker, P. F. (1973). Management: Tasks, Responsibilities, Practices. Harper & Row.
6. Drucker, P. F. (2001). Alat sebagai Bagian Integral dari Sistem Kesehatan: Pendekatan Holistik.
7. Goldratt, E. M. (1984). The goal: A process of ongoing improvement. North River Press.
8. Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Kontribusi Fungsi Alat Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien dan Pencapaian Misi Pelayanan Kesehatan: Perspektif Balanced Scorecard
9. Kemenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
10. Kemenkes RI. (2017). Pedoman (Pengelolaan Peralatan Kesehatan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan). Diakses dari https://galihendradita.files.wordpress.com/2019/11/pedoman-pengelolaan-peralatan-kesehatan.pdf pada 29 Mei 2022.
11. Kemenkes RI. (2018). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Aplikasi Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan.
12. Kemenkes RI. (2018). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Aplikasi Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan. Diakses dari http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._31_Th_2018_ttg_Aplikasi_Sarana,_Prasarana,_dan_Alat_Kesehatan_.pdf pada 29 Mei 2022.
13. Kerzner, H. (2009). Project Management: A Systems Approach to Planning, Scheduling, and Controlling.
14. Mintzberg, H. (1994). The Rise and Fall of Strategic Planning. New York: Free Press.
15. Rahmiyani, Ayu Laili. Kulsum, Dwi Umu. Hafidiani, Widy Laila. (2019). Analisis Penyelenggaraan Sistem Pemeliharaan Alat Radiologi Rumah Sakit. Stikes Jenderal Achmad Yani. Diakses dari https://journals.stikim.ac.id/index.php/jikes/article/view/390 pada 4 Juni 2022.
16. Robbins, S. P. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia.
17. Roza, Shelvi Haria (2016). Analisis Penyelenggaraan Sistem Pemeliharaan Peralatan Radiologi Di RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Medika Saintika, 7(2). Diakses dari http://syedzasaintika.ac.id/jurnal pada 04 Juni 2022.
18. Senge, P. (1990). The Fifth Discipline. Random House.
19. Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. Doubleday.
20. Veni, Media. Wahydi, Arief. Sabarguna, Boy Subirosa. (2020). Analisis Manajemen Pemeliharaan Alat Kesehatan Di Rumah Sakit X. Jurnal Kesehatan Komunitas, 6(2), 230-236. DOI:10.25311/keskom.Vol6.Iss2.380.