Oleh : Novan Noor Alam
Abstrak
Kepulauan Natuna memiliki posisi strategis bagi Indonesia, terutama dalam
konteks keamanan maritim di Laut Natuna Utara. Wilayah ini sering menjadi pusat
perhatian karena adanya klaim dari negara lain, sehingga memerlukan kebijakan
pertahanan yang kuat untuk menjaga kedaulatan nasional. Kepemimpinan Presiden
Prabowo Subianto, dengan latar belakang militer yang kuat, berperan penting dalam
merumuskan dan mengimplementasikan strategi pertahanan di kawasan ini. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur yang bersumber
dari dokumen resmi, buku, jurnal, dan berita terkini. Fokus utama penelitian ini
adalah menganalisis gaya kepemimpinan Prabowo dalam memperkuat pertahanan
militer dan maritim di Natuna, termasuk peran diplomasi dalam menghadapi dinamika
geopolitik di kawasan. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
mengenai efektivitas strategi pertahanan Indonesia di Natuna serta relevansinya dalam
menghadapi ancaman kedaulatan di perairan sengketa.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Prabowo Subianto, pertahanan militer, maritim,
Kepulauan Natuna, kedaulatan, diplomasi.
A. Pendahuluan
Kepulauan Natuna terletak di ujung utara Indonesia dan berbatasan langsung
dengan Laut Natuna Utara, menjadikannya wilayah strategis dalam konteks geopolitik
dan keamanan nasional. Klaim tumpang tindih di wilayah ini, terutama dengan
Tiongkok, menuntut perhatian khusus dari pemerintah Indonesia untuk menjaga
kedaulatan dan integritas teritorialnya. Presiden Prabowo Subianto, sejak menjabat,
telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat pertahanan di wilayah
ini.
Dalam konteks geopolitik, Laut Natuna Utara merupakan bagian dari jalur
perdagangan internasional yang sangat vital. Menurut Tirtayasa (2024), wilayah ini
memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, termasuk cadangan gas alam
yang signifikan, sehingga menjadi titik persaingan strategis di kawasan Asia Tenggara.
Kehadiran kapal-kapal asing, khususnya dari Tiongkok, yang sering memasuki
perairan Indonesia menambah kompleksitas dalam upaya menjaga stabilitas kawasan
(Ramli dan Lumumba, 2021).
Kepemimpinan Prabowo Subianto dalam konteks pertahanan nasional
memainkan peran penting dalam menjaga keamanan di Natuna. Prabowo, yang
memiliki latar belakang militer, menerapkan pendekatan pertahanan yang lebih
agresif namun tetap mengedepankan diplomasi sebagai bagian dari strategi nasional
(Nidya dan Abiyya, 2020). Peningkatan alutsista dan patroli maritim menjadi salah
satu bentuk penguatan pertahanan yang dilakukan dalam masa pemerintahannya.
Selain aspek pertahanan militer, kebijakan diplomasi Indonesia dalam
menghadapi klaim Tiongkok di Laut Natuna Utara juga menjadi bagian penting dalam
strategi keamanan nasional. Menurut Shafitri dkk (2024), pendekatan diplomasi
Indonesia berusaha untuk menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan stabilitas
regional. Pendekatan ini dilakukan melalui jalur diplomatik di ASEAN serta
keterlibatan dalam berbagai forum internasional.Dalam kebijakan pertahanan,
Prabowo Subianto juga menekankan pentingnya kerja sama regional dan internasional.
Menurut laporan dari Kementerian Pertahanan (2023), Indonesia telah meningkatkan
kerja sama dengan negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat dan Australia
dalam bidang keamanan maritim. Bentuk kerja sama ini mencakup latihan militer
bersama serta peningkatan kapasitas TNI AL dalam menjaga perairan Indonesia.
Penguatan pertahanan di Natuna juga didukung oleh kebijakan domestik yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Prabowo menilai bahwa
selain kekuatan militer, dukungan dari masyarakat pesisir sangat penting dalam
menjaga kedaulatan wilayah. Program pembangunan infrastruktur, pendidikan
maritim, dan pelibatan nelayan dalam patroli keamanan menjadi bagian dari
pendekatan ini (Madani, 2021).
Peningkatan kehadiran TNI di Natuna menjadi bagian dari strategi pertahanan
aktif yang dilakukan pemerintah. Menurut Nanggolan (2016), penempatan personel
tambahan dan modernisasi pangkalan militer di wilayah tersebut menunjukkan
keseriusan pemerintah dalam menghadapi potensi ancaman eksternal.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi
literatur yang bersumber dari dokumen resmi, buku, jurnal, dan berita terkini. Fokus
utama penelitian ini adalah menganalisis gaya kepemimpinan Prabowo dalam
memperkuat pertahanan militer dan maritim di Natuna, termasuk peran diplomasi
dalam menghadapi dinamika geopolitik di kawasan.
Dengan pendekatan ini, penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan
mengenai efektivitas strategi pertahanan Indonesia di Natuna serta relevansinya dalam
menghadapi ancaman kedaulatan di perairan sengketa. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pertahanan yang telah diterapkan serta
memberikan rekomendasi bagi perbaikan di masa depan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
literatur. Pendekatan ini dipilih karena memungkinkan peneliti untuk memahami
fenomena secara mendalam berdasarkan berbagai sumber informasi yang kredibel.
Studi literatur merupakan metode yang efektif dalam menganalisis data sekunder yang
telah tersedia dalam berbagai bentuk, seperti artikel jurnal, laporan pemerintah, buku
akademik, serta berita terkini. Dengan mengkaji sumber-sumber ini, penelitian dapat
memperoleh gambaran yang komprehensif tentang isu yang diteliti tanpa harus
melakukan pengumpulan data primer secara langsung (Creswell, 2014).
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui proses seleksi dan analisis
terhadap sumber-sumber terpercaya yang relevan dengan topik. Artikel jurnal dari
penerbit terkemuka seperti Elsevier, Springer, dan Taylor & Francis digunakan untuk
mendapatkan perspektif akademik yang kuat. Selain itu, laporan resmi dari lembaga
pemerintah seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) juga dijadikan rujukan utama guna memperoleh data faktual
yang dapat mendukung analisis penelitian. Berita dari media yang memiliki
kredibilitas tinggi, seperti Kompas dan The Jakarta Post, turut digunakan untuk
memahami dinamika terbaru yang berkaitan dengan topik penelitian (Yin, 2018).
Dalam menganalisis data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan teknik
analisis isi untuk mengidentifikasi pola, tema, serta hubungan antar variabel yang
terdapat dalam sumber-sumber yang dikaji. Analisis ini dilakukan secara sistematis
dengan memperhatikan validitas dan reliabilitas informasi yang digunakan.
Pendekatan ini sejalan dengan konsep analisis kualitatif yang dikembangkan oleh
Miles dan Huberman (1994), yang menekankan pada reduksi data, penyajian data,
serta penarikan kesimpulan. Dengan demikian, penelitian ini dapat menghasilkan
temuan yang dapat memberikan kontribusi akademik maupun praktis terhadap
pemahaman topik yang diteliti.
C. Pembahasan
1. Gaya Kepemimpinan Prabowo Subianto dalam Pertahanan Nasional
Prabowo Subianto dikenal dengan pendekatan kepemimpinan yang tegas dan
pragmatis. Dalam menghadapi isu Natuna, ia menekankan pentingnya diplomasi yang
tenang namun tetap menjaga kedaulatan nasional. Pernyataan bersama usai pertemuan
antara Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping di Beijing, Cina,
menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia dalam mempertahankan
kedaulatan. Kunjungan luar negeri perdana Prabowo sebagai Presiden RI pada 9
November 2024 menuai berbagai tanggapan. Menurut laporan dari Tirto.id (2025),
dalam poin ke-9 pernyataan bersama tersebut, Indonesia dan Cina mencapai
kesepahaman untuk kerja sama dan pengembangan di wilayah yang klaimnya
tumpang tindih (areas of overlapping claims).
Selama ini, Indonesia tidak pernah memiliki klaim atas wilayah Cina.
Sebaliknya, Beijing terus mengklaim mayoritas wilayah Laut Cina Selatan dengan
merujuk pada sembilan garis putus (nine-dash line). Klaim tersebut termasuk wilayah
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Indonesia secara
tegas tidak mengakui klaim Cina sebab nine-dash line tidak memiliki dasar hukum
dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of
the Sea atau UNCLOS). Indonesia dan Cina sendiri merupakan negara yang telah
meratifikasi UNCLOS, tetapi Cina tetap bersikeras mempertahankan klaimnya.
Pendekatan kepemimpinan Prabowo dalam menangani isu Laut Natuna Utara
mencerminkan teori realism dalam hubungan internasional, yang menekankan
pentingnya kekuatan negara dalam menjaga kepentingan nasional (Waltz, 1979).
Sebagai Presiden, Prabowo menekankan modernisasi alutsista sebagai langkah
strategis untuk memperkuat pertahanan negara. Ia berpendapat bahwa postur
pertahanan yang kuat dapat meningkatkan daya tawar Indonesia di kancah
internasional. Huntington (1957) dalam bukunya The Soldier and the State
menegaskan bahwa kekuatan militer yang modern dan profesional merupakan
komponen utama dalam menjaga stabilitas suatu negara. Oleh karena itu, Prabowo
gencar menjalin kerja sama pertahanan dengan negara-negara maju seperti Prancis
dan Amerika Serikat.
Kepemimpinan Prabowo dalam bidang pertahanan juga ditandai dengan
pendekatan yang adaptif dan fleksibel. Dalam menghadapi ancaman global seperti
terorisme dan keamanan siber, ia mendorong transformasi teknologi dalam sektor
pertahanan. Hal ini didukung oleh konsep Revolution in Military Affairs (RMA), yang
menekankan pentingnya teknologi dalam memenangkan peperangan modern (Boot,
2006). Selain itu, Prabowo mengedepankan konsep pertahanan rakyat semesta sebagai
bagian dari strategi pertahanan nasional. Konsep ini menitikberatkan pada peran serta
seluruh elemen masyarakat dalam mempertahankan negara. Menurut Risdiarto (2017),
strategi pertahanan yang melibatkan partisipasi rakyat dapat meningkatkan daya tahan
dan ketahanan nasional secara keseluruhan.
Dalam konteks hubungan internasional, Prabowo mengadopsi pendekatan
yang cenderung pragmatis. Ia menegaskan bahwa Indonesia harus menjalin hubungan
baik dengan berbagai negara tanpa terjebak dalam blok tertentu. Kebijakan ini sejalan
dengan politik luar negeri bebas aktif, yang menjadi prinsip dasar diplomasi Indonesia
sejak era Soekarno (Anwar, 1994). Pendekatan ini terlihat dalam hubungan kerja
sama pertahanan dengan Cina, Rusia, serta negara-negara Barat. Keputusan Prabowo
untuk membeli alutsista dari berbagai negara juga mencerminkan strategi diversifikasi
pertahanan. Menurut Akbarani, I., & Reviani, A. L. (2024), kebijakan ini bertujuan
untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara pemasok sehingga Indonesia
memiliki fleksibilitas dalam pengadaan pertahanan.
Dalam menangani konflik perbatasan, Prabowo mengedepankan pendekatan
defensif yang mengutamakan stabilitas kawasan. Hal ini terlihat dalam kebijakannya
terhadap Laut Natuna Utara, di mana ia mengutamakan patroli keamanan dan
peningkatan kehadiran militer tanpa memprovokasi eskalasi konflik. Pendekatan ini
sejalan dengan teori deterrence, yang menekankan pentingnya kekuatan militer
sebagai alat pencegahan konflik (Schelling, 1966). Selain itu, Prabowo juga aktif
dalam mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Ia mendorong sinergi
antara BUMN pertahanan dengan pihak swasta untuk meningkatkan produksi alutsista
lokal. Konsep ini sejalan dengan teori defense economics, yang menyatakan bahwa
kemandirian industri pertahanan dapat meningkatkan daya saing suatu negara dalam
aspek militer (Hartley & Sandler, 1995).
Dalam menghadapi tantangan geopolitik, Prabowo menekankan pentingnya
diplomasi pertahanan. Ia sering melakukan kunjungan kerja ke berbagai negara untuk
memperkuat hubungan bilateral di bidang pertahanan. Strategi ini bertujuan untuk
membangun kepercayaan serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
kepentingan nasional Indonesia. Gaya kepemimpinan Prabowo juga mencerminkan
model kepemimpinan transformasional. Ia berupaya menginspirasi dan memotivasi
personel militer untuk mengembangkan kemampuan mereka. Menurut Bass (1990),
pemimpin transformasional adalah mereka yang mampu membawa perubahan dengan
memberikan visi yang jelas serta mendorong inovasi dalam organisasi.
2. Kebijakan Pertahanan Militer di Kepulauan Natuna
Kepulauan Natuna memiliki posisi strategis dalam pertahanan nasional
Indonesia, terutama karena berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan yang
sering menjadi wilayah sengketa antara beberapa negara. Pemerintah Indonesia,
khususnya di bawah kepemimpinan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, telah
berupaya memperkuat pertahanan di wilayah ini melalui berbagai kebijakan strategis,
termasuk peningkatan alutsista dan pembangunan infrastruktur militer. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk antisipasi terhadap ancaman yang mungkin timbul dari
aktivitas negara lain di sekitar perairan Natuna (Harulloh dan Martani, 2021).
Salah satu langkah yang diambil oleh Prabowo dalam memperkuat
pertahanan di Natuna adalah penambahan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Penambahan kapal patroli dan pesawat pengintai di sekitar perairan Natuna menjadi
salah satu prioritas utama untuk meningkatkan pengawasan terhadap potensi
pelanggaran wilayah oleh kapal asing. Hal ini sejalan dengan konsep pertahanan
maritim yang menitikberatkan pada penguatan armada laut dan udara untuk
mengamankan perbatasan nasional (okezone.com, 2025).
Selain penguatan alutsista, pemerintah juga membangun pangkalan militer di
Natuna guna memperkuat postur pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
khususnya TNI Angkatan Laut (TNI AL) dan TNI Angkatan Udara (TNI AU).
Pangkalan ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pasukan dalam
menghadapi potensi ancaman yang dapat muncul di kawasan tersebut. Pembangunan
pangkalan militer ini juga merupakan bagian dari strategi jangka panjang dalam
memperkuat ketahanan nasional (antaranews.com, 2025).
Dalam konteks geopolitik, kebijakan pertahanan di Natuna juga berkaitan erat
dengan klaim sepihak China atas sembilan garis putus-putus (nine-dash line), yang
mencakup sebagian perairan Natuna. Meskipun Indonesia tidak mengakui klaim ini,
kehadiran kapal-kapal nelayan dan penjaga pantai China di perairan Natuna sering
kali memicu ketegangan. Oleh karena itu, peningkatan patroli oleh Bakamla dan TNI
AL di sekitar Natuna menjadi langkah penting untuk menjaga kedaulatan wilayah
Indonesia (Ramli & Lumumba, 2021).
Selain aspek militer, kebijakan pertahanan di Natuna juga mencakup
pendekatan diplomatik. Pemerintah Indonesia terus mengupayakan dialog dengan
negara-negara terkait untuk memastikan bahwa kebijakan pertahanan yang diterapkan
tidak hanya berbasis pada kekuatan militer, tetapi juga pada kerja sama regional yang
konstruktif. ASEAN, sebagai organisasi kawasan, juga memainkan peran penting
dalam menjaga stabilitas di Laut Cina Selatan melalui berbagai perundingan dan
mekanisme diplomasi maritim (Damara et all, 2023).
Pembangunan infrastruktur pertahanan di Natuna tidak hanya berfungsi
sebagai benteng militer, tetapi juga mendukung kegiatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat setempat. Dengan kehadiran militer yang lebih kuat, keamanan bagi para
nelayan lokal pun semakin terjamin, sehingga mereka dapat beraktivitas tanpa
khawatir terhadap gangguan dari kapal-kapal asing. Selain itu, pemerintah juga
mendorong pembangunan sektor ekonomi yang berbasis maritim guna memperkuat
posisi strategis Natuna sebagai wilayah perbatasan yang maju (Endang, 2022).
Dari perspektif teori pertahanan negara, kebijakan ini dapat dijelaskan
melalui konsep deterrence atau pencegahan. Dengan meningkatkan kekuatan militer
di Natuna, Indonesia mengirimkan sinyal kepada pihak luar bahwa setiap pelanggaran
terhadap kedaulatan akan mendapat respons yang tegas. Konsep ini sejalan dengan
teori pertahanan klasik yang menekankan pentingnya kemampuan militer dalam
menjaga stabilitas dan mencegah potensi agresi (Mearsheimer, 2001).
Sejalan dengan teori keamanan maritim, peningkatan pertahanan di Natuna
juga relevan dengan konsep maritime security yang menekankan pentingnya
perlindungan perairan dari ancaman eksternal, termasuk pelanggaran kedaulatan,
perompakan, dan aktivitas ilegal lainnya. Dalam konteks ini, Indonesia berusaha
memperkuat koordinasi antara TNI AL, Bakamla, dan aparat keamanan lainnya dalam
menjaga Natuna sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusif Indonesia (Chadhafi,
2020).
Namun, kebijakan ini juga menghadapi beberapa tantangan. Salah satu
kendala utama adalah keterbatasan anggaran pertahanan yang mempengaruhi
kemampuan pemerintah dalam melakukan modernisasi alutsista secara optimal.
Selain itu, tantangan logistik dan geografis di Natuna juga menjadi faktor yang harus
diperhitungkan dalam membangun infrastruktur pertahanan yang efektif (Tempo,
2023).
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemerintah terus berupaya mencari
solusi, termasuk melalui kerja sama dengan negara-negara mitra seperti Jepang dan
Amerika Serikat dalam bidang pertahanan maritim. Kerja sama ini mencakup
pelatihan personel, bantuan peralatan militer, serta peningkatan teknologi pengawasan
maritim guna meningkatkan efektivitas pengamanan wilayah Natuna.
Kebijakan pertahanan di Natuna juga mendapatkan respons dari masyarakat
dan berbagai kalangan akademisi. Beberapa pihak mengapresiasi langkah pemerintah
dalam memperkuat pertahanan di wilayah ini, namun ada pula yang menekankan
pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk dalam aspek ekonomi dan
diplomasi, agar Natuna tidak hanya dipandang sebagai wilayah militer, tetapi juga
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis maritim (Rosyidin, 2021).
Secara keseluruhan, kebijakan pertahanan militer di Kepulauan Natuna
merupakan langkah strategis dalam menjaga kedaulatan Indonesia. Dengan
menggabungkan pendekatan militer, diplomasi, dan ekonomi, pemerintah berupaya
memastikan bahwa Natuna tetap menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia yang
aman dan sejahtera.
3. Strategi Diplomasi dalam Menghadapi Klaim Kedaulatan (Perspektif
Prabowo dan Militer)
Dalam menghadapi klaim Tiongkok atas Laut Natuna Utara, Prabowo
Subianto memilih pendekatan diplomasi yang tenang dan damai. Langkah ini dinilai
tepat oleh beberapa pihak karena menunjukkan sikap strategis dalam menyelesaikan
pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tanpa meningkatkan ketegangan.
Pendekatan ini sesuai dengan prinsip diplomasi pertahanan yang menekankan pada
negosiasi dan perundingan sebagai solusi utama dalam menyelesaikan konflik
kedaulatan (Alunaza, 2021).
Pendekatan diplomasi yang diambil Prabowo tidak hanya mencerminkan
sikap kehati-hatian, tetapi juga mengacu pada strategi defensif yang diterapkan oleh
banyak negara dalam menghadapi konflik maritim. Menurut teori realisme dalam
hubungan internasional, negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka
untuk menjaga stabilitas dan keamanan (Morgenthau, 1948). Oleh karena itu, langkah
diplomasi damai yang dilakukan Prabowo bertujuan untuk mempertahankan
kedaulatan Indonesia tanpa harus terlibat dalam konfrontasi militer terbuka.
Selain itu, strategi diplomasi ini juga selaras dengan prinsip-prinsip ASEAN
yang mengutamakan penyelesaian konflik melalui dialog dan negosiasi. Indonesia
sebagai negara anggota ASEAN memiliki komitmen untuk menjaga kawasan tetap
stabil dan damai melalui mekanisme kerja sama regional seperti ASEAN Outlook on
the Indo-Pacific. Dengan tetap berpegang pada prinsip ini, Indonesia dapat
menghindari potensi eskalasi konflik dengan Tiongkok yang memiliki kekuatan
militer lebih besar.
Militer Indonesia, khususnya TNI, juga memainkan peran penting dalam
mendukung strategi diplomasi Prabowo. Pendekatan pertahanan yang diterapkan lebih
mengedepankan peningkatan patroli dan penguatan pengawasan di wilayah ZEE
tanpa tindakan provokatif yang dapat memicu konflik (Indrawan, 2023). Hal ini
menunjukkan bahwa strategi pertahanan yang digunakan tetap berada dalam kerangka
diplomasi aktif.
Panglima TNI, dalam berbagai kesempatan, menegaskan bahwa penguatan
armada laut dan udara di Natuna adalah bentuk pertahanan yang bersifat preventif.
Dengan memperkuat infrastruktur pertahanan di Natuna, Indonesia menunjukkan
kesiapan untuk mempertahankan wilayahnya tanpa harus mengandalkan aksi militer
ofensif (Azikin, 2020). Kebijakan ini sejalan dengan konsep “smart power” yang
menggabungkan unsur kekuatan militer dan diplomasi untuk mencapai kepentingan
nasional (Nye, 2004).
Prabowo juga menggandeng negara-negara sahabat dalam memperkuat
diplomasi pertahanan. Kunjungan diplomatik ke negara-negara seperti Jepang,
Amerika Serikat, dan Australia memperlihatkan upaya membangun aliansi strategis
untuk menghadapi ancaman di Laut Natuna Utara (kumparan.com, 2025). Dengan
pendekatan ini, Indonesia dapat memperkuat posisi tawarnya di kancah internasional
tanpa harus bersikap konfrontatif.
Dalam konteks hukum internasional, Indonesia juga menggunakan UNCLOS
1982 sebagai landasan utama dalam mempertahankan klaimnya atas ZEE di Natuna.
UNCLOS memberikan hak eksklusif kepada Indonesia untuk mengelola sumber daya
di kawasan tersebut, sementara klaim Tiongkok melalui Nine-Dash Line tidak
memiliki dasar hukum yang kuat (Jayakumar, S., Koh, T., & Beckman, R. (Eds.),
(2014)). Oleh karena itu, pendekatan diplomasi yang diambil bertumpu pada dasar
hukum internasional yang kuat.
Strategi ini juga mendapat dukungan dari komunitas internasional, termasuk
Uni Eropa dan Amerika Serikat yang menegaskan komitmennya terhadap kebebasan
navigasi di Laut Cina Selatan. Dengan adanya dukungan internasional, Indonesia
semakin memperkuat posisi diplomatiknya dalam menghadapi tekanan dari Tiongkok.
Selain diplomasi formal, strategi komunikasi juga menjadi elemen penting
dalam menghadapi klaim kedaulatan. Pemerintah Indonesia menggunakan media
untuk memperkuat narasi kedaulatan di Natuna dan menunjukkan kepada dunia
bahwa Indonesia secara sah memiliki hak atas wilayah tersebut. Penggunaan media
sebagai alat diplomasi publik ini semakin memperkuat posisi Indonesia di tingkat
global (Van Dijk, 2011).
Kebijakan yang diambil Prabowo juga menunjukkan bahwa diplomasi
pertahanan bukan hanya tentang negosiasi antarnegara, tetapi juga tentang
membangun ketahanan nasional melalui edukasi dan kesadaran publik. Kampanye
tentang kedaulatan maritim melalui pendidikan dan literasi kebangsaan menjadi
bagian dari strategi jangka panjang untuk mempertahankan klaim kedaulatan
Indonesia (Sarjito et all, 2023).
Namun, beberapa pihak mengkritik pendekatan diplomasi damai yang
diterapkan Prabowo karena dianggap kurang tegas dalam menghadapi pelanggaran
Tiongkok. Kritik ini muncul dari kalangan yang menginginkan sikap lebih keras,
seperti peningkatan latihan militer atau demonstrasi kekuatan di perbatasan. Meski
demikian, kebijakan yang diambil tetap mempertimbangkan keseimbangan antara
diplomasi dan pertahanan.
Secara keseluruhan, strategi diplomasi yang diterapkan Prabowo dalam
menghadapi klaim kedaulatan Tiongkok di Laut Natuna Utara menunjukkan
keseimbangan antara kepentingan nasional, stabilitas regional, dan kepatuhan
terhadap hukum internasional. Pendekatan ini menegaskan bahwa diplomasi yang
kuat dapat menjadi alat utama dalam mempertahankan kedaulatan negara tanpa harus
menggunakan kekuatan militer secara langsung.
4. Peran Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia
memiliki posisi strategis dalam geopolitik dan perdagangan internasional. Visi
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pertama kali dikemukakan oleh Presiden Joko
Widodo pada 2014. Konsep ini bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat
perdagangan dan keamanan maritim di kawasan Indo-Pasifik (Widodo, 2014).
Dengan luas perairan yang mencakup sekitar 3,25 juta km²
, Indonesia memiliki
potensi besar dalam sektor ekonomi kelautan, pertahanan maritim, dan diplomasi
maritim (Chadhadi, 2021).
Salah satu fokus utama dalam mewujudkan visi ini adalah penguatan
pertahanan dan keamanan maritim. Natuna, yang terletak di perbatasan utara
Indonesia, menjadi kunci strategis dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara.
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna Utara dan berdekatan
dengan Laut Cina Selatan, Natuna menjadi titik penting dalam menghadapi dinamika
geopolitik regional (Kusumah et all, 2022). Pemerintah Indonesia telah
mengintensifkan kehadiran militer di wilayah ini dengan meningkatkan infrastruktur
pertahanan, termasuk pembangunan pangkalan militer dan patroli laut yang lebih aktif.
Selain aspek pertahanan, sektor ekonomi maritim juga menjadi bagian
integral dari visi Poros Maritim Dunia. Pemerintah Indonesia mendorong
pengembangan industri perikanan, transportasi laut, dan pelabuhan untuk
meningkatkan daya saing ekonomi maritim nasional. Salah satu kebijakan utama
adalah penguatan sektor perikanan dengan memberantas praktik illegal, unreported,
and unregulated (IUU) fishing yang merugikan ekonomi negara hingga triliunan
rupiah setiap tahun (Ministry of Marine Affairs and Fisheries, 2020).
Natuna juga memainkan peran strategis dalam mendukung konektivitas
maritim. Sebagai salah satu titik penting dalam jalur perdagangan global, Natuna
berpotensi menjadi pusat logistik dan pelabuhan transshipment bagi kapal-kapal yang
melintasi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan (Manggala, 2025). Untuk itu,
pemerintah telah mengembangkan proyek pembangunan pelabuhan dan fasilitas
pendukung guna meningkatkan efisiensi arus barang dan jasa di kawasan ini.
Dari perspektif hukum internasional, kedaulatan Indonesia di perairan Natuna
didasarkan pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang
mengakui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar kepulauan tersebut
(United Nations, 1982). Namun, tantangan muncul akibat klaim sepihak dari
Tiongkok atas Laut Natuna Utara dengan konsep “Nine-Dash Line,
” yang tidak diakui
oleh Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 (Oxman, 2016).
Dalam merespons tantangan ini, Indonesia mengadopsi strategi diplomasi
maritim yang proaktif. Pendekatan ini mencakup kerja sama regional melalui ASEAN
dan perjanjian bilateral dengan negara-negara mitra strategis seperti Jepang, Amerika
Serikat, dan Australia untuk memperkuat keamanan maritim di kawasan (ASEAN,
2020). Selain itu, Indonesia juga memperkuat kerja sama dengan negara-negara di
Samudra Hindia untuk mengembangkan ekonomi biru yang berkelanjutan.
Peran Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia juga berkaitan erat dengan
pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan. Pemerintah telah menerapkan
kebijakan ekonomi biru yang berfokus pada konservasi ekosistem laut, pengelolaan
perikanan berbasis kuota, serta pengembangan energi terbarukan dari laut, seperti
tenaga gelombang dan arus laut. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan
keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Namun, tantangan dalam mewujudkan visi ini tidak sedikit. Beberapa di
antaranya adalah keterbatasan infrastruktur maritim, kurangnya investasi di sektor
kelautan, dan ancaman dari aktivitas ilegal seperti perompakan dan penyelundupan di
perairan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan
kapasitas maritim dengan membangun armada kapal patroli, memperkuat angkatan
laut, serta meningkatkan kerja sama dengan komunitas internasional dalam menjaga
keamanan maritim.
Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap potensi dan tantangan maritim juga
perlu ditingkatkan. Pendidikan maritim menjadi aspek penting dalam mencetak
sumber daya manusia yang kompeten di sektor ini. Pemerintah telah menggagas
program pendidikan vokasi maritim serta penelitian di bidang kelautan guna
mendukung inovasi dan teknologi maritim nasional (rUSDIANTO, 2023).
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan Poros Maritim Dunia mulai
menunjukkan dampak positif. Peningkatan konektivitas antar-pulau, pertumbuhan
sektor perikanan, serta penguatan posisi Indonesia dalam diplomasi maritim global
menjadi indikator keberhasilan awal dari implementasi kebijakan ini (World Bank,
2023). Meskipun masih menghadapi berbagai tantangan, dengan strategi yang tepat
dan komitmen yang kuat, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin dalam sektor
maritim di kawasan Indo-Pasifik.
D. Kesimpulan
Kepemimpinan Prabowo Subianto dalam bidang pertahanan nasional
mencerminkan pendekatan yang tegas, pragmatis, dan adaptif. Dalam menghadapi isu
Laut Natuna Utara, Prabowo mengadopsi strategi diplomasi yang menekankan
negosiasi dan kerja sama internasional sambil tetap menjaga kedaulatan nasional.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip realisme dalam hubungan internasional yang
menekankan pentingnya kekuatan negara dalam menjaga kepentingan nasional. Selain
itu, modernisasi alutsista menjadi salah satu prioritas utama dalam membangun daya
tawar Indonesia di tingkat global.
Kebijakan pertahanan militer di Kepulauan Natuna menegaskan strategi
deterrence yang bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan pertahanan nasional.
Melalui pembangunan pangkalan militer, peningkatan patroli keamanan, dan
modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista), Indonesia memperkuat
posisinya dalam menghadapi ancaman klaim kedaulatan oleh Tiongkok. Selain
pendekatan militer, strategi ini juga didukung oleh kebijakan diplomatik yang
mengutamakan stabilitas kawasan serta memperkuat hubungan kerja sama pertahanan
dengan berbagai negara mitra.
Strategi diplomasi yang diterapkan Prabowo dalam menghadapi klaim
kedaulatan menekankan pada penyelesaian konflik melalui jalur perundingan dan
hukum internasional, khususnya melalui UNCLOS 1982. Pendekatan diplomasi
pertahanan ini bertujuan untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional
tanpa harus terlibat dalam konfrontasi langsung. Indonesia juga memanfaatkan
komunikasi strategis dan diplomasi publik untuk memperkuat klaim kedaulatannya
serta mendapatkan dukungan dari komunitas internasional.
Secara keseluruhan, kepemimpinan Prabowo dalam bidang pertahanan
menunjukkan kombinasi strategi militer, diplomasi, dan pendekatan ekonomi untuk
mempertahankan kedaulatan nasional. Pendekatan ini mencerminkan politik luar
negeri bebas aktif Indonesia yang berupaya menjaga keseimbangan antara kerja sama
internasional dan kepentingan nasional. Dengan langkah-langkah strategis yang telah
diambil, Indonesia semakin memperkuat posisinya sebagai negara berdaulat yang siap
menghadapi tantangan geopolitik di masa depan.
E. Daftar Pustaka
Akbarani, I., & Reviani, A. L. (2024). Indonesian Military Defence Strategy. Journal
Of Student Collaboration Research, 1(1), 17-29.
Alunaza, H. (2021). Diplomasi Multilateral Uni Eropa. Jurnal Satu Tahun
Reviewnesia Menelisik Dunia Dari Perspektif Hubungan Internasional, 25.
Anwar, D. F. (1994). Indonesia In Asean: Foreign Policy And Regionalism.
Singapore: Institute Of Southeast Asian Studies.
Asean. (2020). Asean Outlook On The Indo-Pacific. Asean Secretariat.
Azikin, A. (2020). Politik Hukum Komponen Cadangan Pada Sistem Pertahanan
Negara (Doctoral Dissertation, Universitas Hasanuddin).
Bass, B. M. (1990). From Transactional To Transformational Leadership: Learning
To Share The Vision. Organizational Dynamics, 18(3), 19-31.
Boot, M. (2006). War Made New: Technology, Warfare, And The Course Of History,
1500 To Today. New York: Gotham Books.
Chadhafi, M. I. (2020). Risk Register Dalam Aturan Pelibatan: Rules Of Engagement.
Media Nusa Creative (Mnc Publishing).
Creswell, J. W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, And Mixed
Methods Approaches (4th Ed.). Sage Publications.
Damara, A., Setiadi, K., Hisyam, M., Abdillah, M., & Onesuta, R. (2023). Asean,
China Dan Amerika Serikat Dalam Menanggapi Sengketa Laut China Selatan.
Endang, S. (2022). Model Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Pada Masyarakat
Pulau Terluar (Studi Kasus Kabupaten Natuna) Tahap 1.
Haerulloh, A. A., & Martani, R. F. (2023). Analisis Geopolitik Abad 21 Di Indo-
Pasifik Dan Persiapan Indonesia Dalam Menyikapi Konflik Di Laut Cina
Selatan. Jurnal Lemhannas Ri, 11(3), 187-201.
Hartley, K., & Sandler, T. (1995). The Economics Of Defence. Cambridge:
Cambridge University Press.
Https://Edukasi.Okezone.Com/Read/2024/10/21/65/3077141/Visi-Prabowo-
, 2025
Https://Kumparan.Com/Rzkigaming14/Diplomasi-Presiden-Prabowo-Ke-Negara-
Lain-23uhlgebbcf, 2025
Https://Www.Antaranews.Com/Berita/1246952/Pembangunan-Pangkalan-Militer-
Natuna-Kelanjutan-Pemerataan-Pembangunan, 2025
Huntington, S. P. (1957). The Soldier And The State: The Theory And Politics Of
Civil-Military Relations. Harvard University Press.
Indrawan, I. R. (2023). Analisis Motivasi Indonesia Dalam Melakukan
Pengembangan Kapal Selam U-209/1400 Bersama Korea Selatan (2017-
2019). Universitas Paramadina.
Jayakumar, S., Koh, T., & Beckman, R. (Eds.). (2014). The South China Sea Disputes
And Law Of The Sea. Edward Elgar Publishing.
Kusumah, M. I., Syahtaria, I., Sianturi, D., Saragih, H. J. R., & Bangun, E. (2022).
Strategi Interoperabilitas Sistem Informasi Tni Guna Mendukung Komando
Dan Pengendalian Operasi Pengamanan Perbatasan Di Laut Natuna
Utara. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(8), 2819-2832.
Madani, K. M. I., & Sos, S. (2021). Mempersiapkan Komponen Kekuatan Maritim
Menjadi Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara Di Laut.
Manggala, G. (2025). Strategi Poros Maritim Dunia Dalam Mewujudkan
Pengembalian Identitas Indonesia Sebagai Bangsa Maritim. Indonesian
Journal Of International Relations, 9(1), 167-189.
Mearsheimer, J. J. (2003). The Tragedy Of Great Power Politics. New York: W.W.
Norton.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis: An Expanded
Sourcebook (2nd Ed.). Sage Publications.
Morgenthau, H. J. (1948). Politics Among Nations: The Struggle For Power And
Peace. Knopf.
Nainggolan, P. P. (2016). Kepentingan Strategis Amerika Serikat Di Asia-
Pasifik. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan
Hubungan Internasional, 4(1).
Nindya, A. P., & Abiyya, R. A. (2022). Pengaruh Aukus Terhadap Stabilitas Indo-
Pasifik Dan Sikap Indonesia [The Influence Of Aukus To Indo-Pacific
Regional Stability And Indonesia’s Stance]. Jurnal Politica Dinamika
Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 13(1), 67-84.
Nye, J. S. (2004). Soft Power: The Means To Success In World Politics. Publicaffairs.
Oxman, B. H. (2016). The South China Sea Arbitration Award. U. Miami Int’l &
Comp. L. Rev., 24, 235.
Pertahanan, K. (2023). Buku Putih Pertahanan Indonesia. Jakarta: Kementerian
Pertahanan Republik Indonesia.
Press, U. G. M. (2025). Tantangan Presiden Ke-8 Republik Indonesia: Pemikiran
Akademisi Universitas Gadjah Mada. Ugm Press.
Ramli, R. P., & Lumumba, P. (2021). Sengketa Republik Indonesia–Republik Rakyat
Tiongkok Di Perairan Natuna. Hasanuddin Journal Of International
Affairs, 1(1), 20-35.
Ramli, R. P., & Lumumba, P. (2021). Sengketa Republik Indonesia–Republik Rakyat
Tiongkok Di Perairan Natuna. Hasanuddin Journal Of International
Affairs, 1(1), 20-35.
Risdiarto, D. (2017). Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Hukum Dalam
Memperkuat Ketahanan Nasional. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 17(2),
177-193.
Rosyidin, M. (2020). Indonesia: Menuju Kekuatan Global Abad 21. Elex Media
Komputindo.
Rusdianto, S. (2023). Hitam Putih Negara Maritim: Esai-Esai Kritis Kesejahteraan
Nelayan. Pandiva Buku.
Sarjito, I. A., Purwantoro, I. S. A., Se, M., Mualim, M., Sumarno, I. A. P., Sap, M., …
& Sos, S. (2024). Geodefense Konsep Pertahanan Masa Depan. Indonesia
Emas Group.
Schelling, T. C. (1966). Arms And Influence. Yale University Press.
Shafitri, D. N., Patriani, I., & Sd, H. A. (2024). Respon Asean Atas Keterlibatan
Amerika Serikat Di Laut Cina Selatan: Tinjauan Teori Balance Of
Threat. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 15(1), 55-78.
Tirtayasa, T. (2024). Strategi Penguatan Identitas Melayu Natuna Dalam Konteks
Poros Maritim. Segeram, 3(1).
Tirto.Id. (2025). Manuver Prabowo Di Beijing Goyang Kedaulatan Laut Natuna
Utara. Retrieved From Https://Tirto.Id/Manuver-Prabowo-Di-Beijing-
Goyang-Kedaulatan-Laut-Natuna-Utara-g5Lm
United Nations. (1982). United Nations Convention On The Law Of The Sea (Unclos).
Van Dijk, T. A. (2011). Discourse, Knowledge, Power And Politics: Towards Critical
Epistemic Discourse Analysis. In Critical Discourse Studies In Context And
Cognition (Pp. 27-64). John Benjamins Publishing Company.
Waltz, K. N. (1979). Theory Of International Politics. Reading, Ma: Addison-Wesley.
Widodo, J. (2024) Kebijakan Luar Negeri Indonesia Di Bawah Pemerintahan.
World Bank. (2023). Indonesia
’
s Maritime Economy Report. The World Bank Group.
Yin, R. K. (2018). Case Study Research And Applications: Design And Methods (6th
Ed.). Sage Publications.
Zuleika, Z. M. (2024). Kepentingan Nasional Indonesia Era Presiden Joko Widodo Di
Laut Natuna Utara Tahun 2014-2019.