“Tantangan Perang Generasi Keenam vs Kemandirian Industri Pertahanan”
JAKARTA – PW: Pembentukan Holding industri pertahanan (indhan) dalam negeri diharapkan bisa membuat industri pertahanan lebih efisien dan berdaya saing sehingga tidak saya bisa memasok kebutuhan dalam negeri. Holding industri pertahanan akan menggabungkan PT Len Industri, PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Pindad, dan PT Dahana. Direktur Utama (Dirut) PT Len Industri, Zakky Gamal Yasin, menjelaskan, pihaknya sedang dalam proses membangun konsolidasi dan sinkronisasi untuk memperkuat indhan supaya memiliki daya saing dan bisa mandiri. Hanya saja, Zakky tidak menyinggung kapan kepastian holding indhan tersebut terbentuk.
“LEN memimpin klaster industri pertahaan, di bawahnya ada PT DI, Pindad, dan Dahana. Kita sedang berporoses jadi satu holding menjadi satu indhan, agar maju, mandiri, dan berdaya saing, dan terkemuka di regional Asia,” kata Zakky dalam diskusi virtual yang diadakan Jakarta Defence Studies (JDS) dengan tema ‘Tantangan Perang Generasi Keenam Versus Kemandirian Industri Pertahanan’ di Jakarta, Rabu (26/8). Holding ini diadakan agar indhan bisa lebih mumpuni dalam memasok kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, Polri, dan lembaga keamanan lain, seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN). Hadir sebagai pemateri Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan 2019-2020 Laksdya TNI (Purn) Agus Setiadji, Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad Ade Bagdja, dan Ketua Harian Persatuan Industri Pertahanan Swasta Nasional (Pinhantanas) Mayjen TNI (Purn) Jan Pieter Ate.
Menurut Zakky, indhan milik pemerintah sedang membuat master plan agar bisa tembus di urutan 50 besar (//top fifty//) perusahaan indhan dunia. Target lainnya yang harus tercapai pada 2024, sambung dia, kontribusi indhan nasional bisa membuat produk dengan komponen lokal mencapai 50 persen. Untuk mewujudkan itu semua, Zakky menyebut, industri pertahanan BUMN harus bersinergi dan berada dalam satu klaster untuk memperkuat finansial dan mengintegrasikan rantai pasokan dan ekosistem.
“Ekosistem harus kerja sama semua yang ada di Indonesia, termasuk dengan BUMS (badan usaha milik swasta). Ini yang kita bangun menjadi kekuatan industri pertahanan nasional. Ini road map 2020-2024, ini program unggulan, kita inisiasi dan target kami sampaikan agar bisa kita capai,” kata Zakky. Zakky melanjutkan, upaya membuat holding indhan diantaranya bertujuan untuk menaikkan omzet penjualan. Menurut dia, holding dan merger dilakukan juga agar tidak ada investasi ganda yang selama ini dilakukan bebeberapa indhan. “Investasi peralatan akan diatur sedemikian rupa, jangan sampai Len investasi, di tempat lain PT DI, Pindad, melakukan hal sama, ke depan akan diintegrasikan hal tersebut,” kata dia.
Zakky melanjutkan, dengan pendirian holding maka indhan bisa meningkatkan sumber daya manusia (SDA), dan melakukan penilaian terhadap talenta perusahaan. Ujung dari semua itu nanti indhan saling terintegrasi dan menjadi BUMN yang kuat untuk mendukung pertahanan negara dan perekonomian nasional. “Jangan sampai indhan cakar-cakaran, bertengakr satu dengan lainnya, BUMN dan BUMS memperebutkan beberapa hal yang sama. Harus ada yang diproritaskan, tentunya tidak itu-itu saja, karena itu perlu renstra perlu diwujudkan,” kata Zakky.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad Ade Bagdja, menjelaskan, kini perusahaan sedang membuat produk pesanan khusus dari Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, yaitu kendaraan taktis (rantis) bernama Maung. Pesanan yang akan dipenuhi itu mencapai 500 unit sesuai pesanan Kementerian Pertahanan. “Kita melihat kebutuhan dan peluang dari berbagai macam kondisi Maung, ini sekalian kita sedang industrialisasi semoga tahun ini bisa 500 unit, meskipun kapasitas kita bangunan mencapai 1.000 unit dengan
berbagai variannya,” kata Ade.
Dia menyatakan, PT Pindad juga akan meluncurkan kendaraan tempur lainnya pada 2021. Hanya saja, alutsista kali ini diperuntukkan bagi TNI AL. “Ini coming soon, available tahun 2021. Tentu saja kendaraan tersebut dilengkapi senjata mesin untuk digunakan personel TNI. “Kendaraan tempur berkonsep Tank Boat Antasena APC-30, ada variasi tank boat rudal dan tank boat kaliber 105 mm,” jelas Ade.
Sesuai kajian Eks Sekjen Kemhan Laksda (Purn) Agus Setiadji mengomentari rencana Menhan Prabowo Subianto membeli pesawat tempur Typhoon bekas dari Austria. Agus mengatakan, pendapatnya ini ia berikan dalam kerangka ilmiah yang tidak berkaitan dengan kebijakan. Dia menganggap, apa pun kebijakan yang diputuskan Menhan pasti ada dasar-dasar kuat untuk pengambilan keputusan.
“Keputusan entah membeli sesuatu alutsista baru dengan teknologi tertentu ataupun alustsita bekas, diakibatkan kebutuhan mutlak dan segera. Saya yakin menhan punya dasar kuat, misal segera untuk membeli alutsista,” kata Agus yang baru saja meluncurkan buku ‘Ekonomi Pertahanan Menghadapi Perang Generasi Keenam’ bulan Juli 2020 lalu. Agus menyinggung tentang belanja militer yang saat ini menjadi efek gentar sebagai bentuk kekuatan pertahanan yang berfungsi sebagai daya penggetar. Sedangkan strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran. Agus mengatakan, strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan punya efek gentar. Alhasil, kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatu negara untuk menghindari dan memengaruhi perilaku negara lain.
“Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, kekerasan harus diantisipasi dan dihindari lewat diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagai daya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil, apabila kekuatan tidak digunakan,” kata Agus. Berbeda dengan Agus, Ketua Harian Pinhantanas Mayjen (Purn) Jan Pieter Ate, mengkritik langkah Menhan yang berencana membeli alutsista bekas. Menurut dia, jika kebijakan lebih memprioritaskan membeli alutsista bekas maka pertahanan Indonesia semakin tertinggal. Dia menyoroti, pembelian Typhoon yang diproduksi belasan tahun lalu, dan di negaranya sudah tidak dipakai, malah akan digunakan untuk memperkuat TNI. Jika hal itu terjadi maka
kekuatan TNI bisa dipertanyakan.
“Indonesia kok beli bekas terus, beli teknologi yang baru, supaya indhan kita itu bisa catch up. Jadi kita bicara kita generasi keenam, stealth, big data, musuhmu itu nanti bukan lawan barang bekas, tapi datang bawa teknoogi terbaru,” kata Ate dengan menggebu-gebu. Ate juga menyunggung tentang konsep minimum essential force (MEF) yang harus diganti karena tidak relevan lagi. Menurut dia, MEF merupakan konsep pertahanan yang tidak merepresentasikan Indonesia sebagai bangsa besar. Menurut dia, konsep MEF dengan rencana strategis (renstra) 2010-2014 dan 2015-2019 menghasilkan pemenuhan fisik baru tercapai 63,19 persen dan kesiapan alutsista hanya 58,37 persen. Ate menyebut, angka itu menunjukkan ada kesenjangan kesiapan pemenuhan dan penggunaan alutsita TNI mencapai 41 persen.
“Samapi sekarang MEF belum memenuhi kebutuhan kita. Kita negara G-20. Tinggalkan MEF, kita susun kembali pertahanan negara besar. Nah gitu dunk,” kata Ate mendukung agar Kemhan tidak lagi menggunakan MEF sebagai dasar pembelian dan produksi alutsista TNI.