Jakarta, PW: Fibrosis merupakan salah satu jenis penyakit hipoksia kronis dengan patogenesis yang meliputi peningkatan deposisi matriks ekstraseluler (ECM), dan vaskulopati yang meluas (Gabrielli et al., 2009).
Hipoksia kronis menyebabkan deregulasi perbaikan jaringan (proliferasi). Deregulasi ini mengakibatkan sintesis Protein ECM (Extracelluler Matrix) yang berlebihan. Hipoksia kronis yang parah akan membuat jaringan yang terlibat fibrosis semakin parah juga. (Distler et al., 2004)
Lalu, bagaimana awal mula terjadi Fibrosis pada kasus Long-Covid? Seperti ini alurnya :
Infeksi Virus SarsCov2 di Nasofaring -> Luka pada bekas infeksi -> Sistem Radang merespon lalu terjadi peradangan lokal (Anosmia) -> Namun karena terlambat Bedrest akhirnya respon radang menjadi sistemik, organ paling terdampak adalah paru-paru -> Endothelial Injury /Jejas Vaskuler -> Radang/Inflamasi -> Hipoksia Kronis -> Mekanisme Proliferasi terganggu -> Sintesis ECM berlebih -> Remodelling terganggu -> Fibrosis
Faktor yang dapat diinduksi hipoksia-1α (HIF-1α), adalah faktor yang menjadi kunci utama dalam menanggapi hipoksia kronis ini. Hif-1α juga terlibat dalam penyakit fibrotik berat lainnya, seperti sklerosis sistemik (SSc).
Dampak dari kondisi hipoksia dan aktifnya HIF-1α ini adalah stimulasi ECM yang berlebihan, remodeling vaskular, dan angiogenesis tidak terkontrol. Kondisi hipoksia kronis menyebabkan eksaserbasi (perburukan gejala pernapasan yang akut) terus berlanjut menjadi lebih buruk.
Sehingga dengan kondisi jaringan hipoksia kronis seperti ini, sangat diperlukan suplai oksigen dengan segera secara intraseluler. Karena oksigen yang masuk secara regulasi pernafasan pada umumnya tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada jaringan tersebut.
Kejadian fibrosis meningkat setelah merebaknya pandemi COVID-19 ini. Sementara selama ini terapi yang disetujui dalam SOP penatalaksanaan Fibrosis Paru hanya sebatas pada memperlambat perkembangan fibrosis, masih belum pada mengatasi akar masalahnya. Terapi Oksigen hiperbarik (HBOT) adalah terapu menghirup oksigen murni, di bawah tekanan lebih besar dari satu atmosfer absolut, yang dalam perkembangannya telah dilakukan penelitian di berbagai negara dan telah dilaporkan dapat meningkatkan fungsi paru pada pasien dengan fibrosis paru.
Dalam penelitian “Hyperbaric Oxygen Ameliorates Bleomycin-Induced Pulmonary Fibrosis in Mice”, yang dilakukan oleh Yuan, Yali, dkk, didapatkan hasil bahwa : “Perawatan Oksigen Hiperbarik Secara Berulang Menurunkan Regulasi Ekspresi Gen Matriks Ekstraseluler di Paru-Paru Tikus. Studi kami sebelumnya menunjukkan bahwa pengobatan HBO berulang dapat mempengaruhi proses biologis di paru-paru, seperti respons terhadap luka dan matriks ekstraseluler (Yuan et al., 2020).
Bagaimana HBOT ini bekerja pada kasus fibrosis? Ketika pada level jaringan terjadi Hiperoksia, maka akan mengaktifkan ROS dan NRS. Sehingga proses glikolisis dalam jumlah besar di dalam mitokondria bisa segera dilakukan. Energi seluler yg dihasilkan berupa ATP dapat digunakan sel untuk memodulasi DNA, mematikan jaringan yg rusak (apoptosis), meningkatkan produksi antioksidan, kemotaksis, mengaktifkan sinyal persarafan untuk memodulasi sintesis faktor penyembuhan, seperti VEGF, NGF, dsb. Sehingga jaringan fibrosis yang cacat tersebut dapat diprogram apoptosis lalu dibuat jaringan yang baru.
Pemberian terapi HBOT yang berulang dapat mengurangi aktivasi myofibroblast di dalam jaringan tersebut, sehingga sintesis ECM yg berlebihan tersebut bisa dikurangi. Terapi HBOT yg diberikan secara berkala dengan dosis tertentu juga dapat membalikkan deregulasi proliferasi sehingga bisa proses perbaikan jaringan bisa kembali normal, memblokade aktivasi fibroblas berlebihan yang diinduksi TGF-β.
Oleh : Kolonel Laut Dr. dr. Hisnindarsyah, SE., M.Kes., MH., CFEM
Editor: Ibu Maufiroh Nurhidayah