Oleh : Dr.dr.Hisnindarsyah Sp.KL.KT.K.SE M.Kes MH. C.FEM., FIHFAA FISQua FRSPH
Denpasar Bali – Konferensi Internasional Jamu (Loloh) yang pertama di Bali, 16–18 Desember 2024, menegaskan relevansi Jamu sebagai solusi kesehatan yang holistik dan adaptif, bahkan bagi bidang-bidang medis spesifik seperti kedokteran kelautan dan hiperbarik. Tema “Djampi Oesodo sebagai Jamu dari Kearifan Kuno Menuju Praktik Modern” memberikan ruang bagi berbagai disiplin ilmu untuk mengeksplorasi potensi integratif Jamu. Sebagai seorang profesional di bidang kedokteran kelautan dan terapi hiperbarik, saya melihat peluang besar dalam sinergi antara terapi tradisional berbasis Jamu dan pendekatan medis kontemporer, terutama dalam pemulihan fisiologis tubuh akibat kondisi hipoksia, cedera jaringan, dan kelelahan sistemik.
Dalam dunia kedokteran kelautan, tubuh manusia sering terpapar kondisi ekstrem seperti tekanan lingkungan bawah laut, perubahan suhu, serta kebutuhan oksigen yang kompleks. Situasi ini memicu berbagai gangguan fisiologis, seperti penyakit dekompresi dan gangguan oksidatif. Terapi hiperbarik, yang melibatkan pemberian oksigen murni dalam tekanan tinggi, telah diakui efektif dalam mempercepat penyembuhan jaringan dan meningkatkan oksigenasi tubuh. Namun, pendekatan ini memerlukan dukungan dari metode komplementer untuk memaksimalkan pemulihan pasien, di sinilah peran Jamu menjadi signifikan.
Dalam sesi “Modern Development of Traditional Medicine”, para ahli memaparkan penelitian tentang senyawa aktif dalam bahan herbal seperti kunyit (kurkumin), temulawak, dan jahe (gingerol). Senyawa ini terbukti memiliki sifat antioksidan dan antiinflamasi yang berperan penting dalam menekan peradangan dan meminimalkan stres oksidatif. Bagi pasien hiperbarik yang membutuhkan regenerasi sel dan pemulihan jaringan akibat trauma, konsumsi rutin Jamu yang terstandarisasi dapat menjadi terapi pendamping yang efektif. Filosofi Djampi Oesodo, yang menekankan keseimbangan tubuh, pikiran, dan energi, selaras dengan prinsip pemulihan holistik yang dianut dalam kedokteran hiperbarik.
Salah satu sesi yang paling relevan adalah “Preserving Wild Products in Traditional Medicine”, yang menyoroti pentingnya menjaga keberlanjutan sumber daya herbal. Bahan-bahan seperti spirulina dan tanaman laut, yang sering digunakan dalam formulasi Jamu modern, juga menjadi perhatian di bidang kedokteran kelautan. Spirulina dikenal kaya akan nutrisi dan memiliki sifat detoksifikasi alami yang mendukung pemulihan tubuh setelah paparan toksin. Potensi ini membuka peluang kolaborasi lebih lanjut antara kedokteran kelautan dan ilmu pengobatan tradisional dalam pengembangan produk kesehatan berbasis laut yang terintegrasi.
Sebagai seorang ahli, saya melihat kehadiran Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI) dalam konferensi ini sebagai langkah strategis dalam memastikan standarisasi fasilitas layanan Jamu. Akreditasi menjadi fondasi penting untuk menjamin keamanan, kualitas, dan efektivitas produk serta layanan kesehatan berbasis herbal. Standar ini juga akan membuka jalan bagi penelitian interdisipliner yang lebih mendalam, seperti eksplorasi manfaat Jamu dalam meningkatkan kapasitas fisiologis penyelam, atlet bawah laut, dan pasien yang menjalani terapi hiperbarik.
Dalam konteks ini, pendekatan berbasis bukti menjadi prasyarat utama. Tanpa validasi ilmiah yang kuat, potensi Jamu akan sulit diterima dalam ranah medis global. Oleh karena itu, kolaborasi antara ahli hiperbarik, farmakolog, dan praktisi Jamu menjadi sangat penting. Penelitian lanjutan untuk mengukur efektivitas senyawa herbal dalam mempercepat penyembuhan jaringan, mengurangi inflamasi pasca terapi oksigen hiperbarik, dan meningkatkan ketahanan tubuh di bawah tekanan lingkungan ekstrem harus terus didorong.
Konferensi ini membuktikan bahwa Jamu bukan sekadar warisan tradisional, melainkan sebuah solusi komplementer yang dapat mendukung praktik medis modern, termasuk di bidang kedokteran kelautan dan hiperbarik. Pendekatan holistik yang ditawarkan Jamu berpotensi mempercepat pemulihan, memperkuat ketahanan tubuh, dan meningkatkan keseimbangan fisiologis pasien. Dengan dukungan lembaga seperti LAFKI dan Dewan Jamu Indonesia (DJI), Jamu dapat diintegrasikan sebagai terapi pendukung yang terstandarisasi dan berbasis ilmiah. Sinergi ini tidak hanya membuka peluang bagi pengembangan ilmu kesehatan, tetapi juga menjadi solusi berkelanjutan bagi kebutuhan kesehatan global di masa depan.
Penulis : Dosen/ Klinisi/ Kaprodi Spesialis Kedokteran Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya