Merenung Tanpa Cacian: Sebuah Pandangan Objektif terhadap Kepemimpinan dan Etika

 

Oleh.  DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)

Kepemimpinan, dalam segala bentuk dan manifestasinya, menuntut kita untuk memikirkan dan mempertimbangkan setiap tindakan dengan hati-hati. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau benar, tetapi untuk memahami bagaimana tindakan dan keputusan tertentu dapat mempengaruhi orang lain, serta bagaimana kita dapat belajar dari setiap situasi. Insiden yang melibatkan seorang Kepala Dinas lingkup Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan pada awal September 2024 mengundang perhatian banyak pihak. Dalam kejadian tersebut, seorang pemimpin memperlihatkan sikap yang dianggap tidak sesuai dengan etika, dan respons dari seorang guru terhadap tindakan tersebut memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang kepemimpinan dan etika.

Penting untuk memahami bahwa dalam setiap situasi kepemimpinan, tindakan dan sikap seorang pemimpin selalu berada di bawah pengawasan. French dan Raven (1959) mengajarkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral yang menyertainya. Ketika kekuasaan digunakan tanpa pertimbangan yang matang, atau ketika tindakan seorang pemimpin mencerminkan arogansi, dampak dari tindakan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh organisasi. Bukan hanya tentang aturan atau norma yang dilanggar, tetapi tentang bagaimana tindakan tersebut dapat mempengaruhi moralitas dan kepercayaan dalam lingkungan kerja.

Teori-teori seperti Teori Keadilan (Adams, 1965) dan Teori Legitimitas (Suchman, 1995) menunjukkan bahwa keadilan dan legitimasi adalah kunci dalam hubungan antara pemimpin dan bawahannya. Ketika seorang guru merasa bahwa tindakan pemimpin tidak adil atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan, hal tersebut bukan hanya masalah persepsi pribadi, tetapi juga menyentuh pada aspek-aspek fundamental dari kepercayaan dan legitimasi kepemimpinan. Kepercayaan adalah pondasi dari hubungan yang sehat dalam organisasi, dan ketika kepercayaan ini dirusak, seluruh struktur organisasi dapat terguncang.

Kejadian ini juga menyoroti pentingnya Teori Kecerdasan Emosional (Goleman, 1995) dalam kepemimpinan. Kecerdasan emosional, atau kemampuan untuk mengelola emosi sendiri dan memahami emosi orang lain, merupakan komponen penting dari kepemimpinan yang efektif. Ketika seorang pemimpin merespons teguran dengan sikap defensif atau bahkan mengusir orang yang menegurnya, hal ini mencerminkan kurangnya kecerdasan emosional yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap interaksi pemimpin dengan bawahannya. Bukan soal siapa yang benar atau salah, tetapi tentang bagaimana seorang pemimpin dapat mengelola situasi yang sulit dengan cara yang tidak menimbulkan gesekan atau ketidaknyamanan yang berlebihan.

Selain itu, Teori Kepemimpinan Situasional (Hersey dan Blanchard, 1969) mengajarkan bahwa pemimpin harus mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi dan kebutuhan orang yang dipimpinnya. Dalam hal ini, pemimpin seharusnya bisa mengenali bahwa teguran dari guru tersebut bukanlah serangan terhadap otoritasnya, melainkan upaya untuk menjaga etika dan kenyamanan bersama. Jika respons yang diberikan lebih bijaksana dan penuh pertimbangan, situasi yang terjadi mungkin akan sangat berbeda, tanpa perlu adanya ketegangan atau konflik yang tidak perlu.

Objektivitas juga menuntut kita untuk melihat kejadian ini dari sudut pandang Teori Kepemimpinan Transformasional (Bass dan Avolio, 1994). Kepemimpinan transformasional adalah tentang menginspirasi dan memotivasi bawahan untuk mencapai tujuan bersama, bukan melalui paksaan atau ketakutan, tetapi melalui teladan yang baik dan hubungan yang dibangun di atas kepercayaan dan rasa hormat. Ketika seorang pemimpin gagal menunjukkan keteladanan yang baik, ia tidak hanya kehilangan kepercayaan dari bawahannya, tetapi juga merusak potensi untuk mencapai transformasi yang positif dalam organisasi.

Dalam teori Social Exchange (Homans, 1958), hubungan antara pemimpin dan bawahan dilihat sebagai sebuah pertukaran sosial yang berdasarkan pada prinsip timbal balik. Ketika seorang pemimpin menunjukkan sikap arogan atau meremehkan bawahannya, ia merusak prinsip dasar dari pertukaran sosial ini, yang seharusnya didasarkan pada keadilan dan saling menghormati. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi motivasi dan loyalitas dari bawahan, yang merasa bahwa kontribusi mereka tidak dihargai atau bahkan diabaikan.

Tidak perlu ada pembelaan atau cercaan dalam merenungkan kejadian ini. Yang diperlukan adalah pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana kepemimpinan seharusnya dijalankan, dan bagaimana etika menjadi pilar yang tidak bisa diabaikan dalam setiap tindakan dan keputusan. Teori Legitimitas dan Kepatuhan (Tyler, 1990) mengajarkan kita bahwa otoritas hanya akan efektif ketika dipandang sah dan adil oleh mereka yang dipimpin. Ketika otoritas tersebut digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan norma-norma moral dan etika, maka legitimasinya akan tergerus, dan kepatuhan yang diharapkan mungkin tidak lagi terwujud dengan tulus.

Dengan demikian, renungan objektif terhadap kejadian ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa kepemimpinan yang efektif tidak hanya didasarkan pada posisi atau kekuasaan, tetapi lebih pada kemampuan untuk bertindak dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang diakui bersama. Ini bukan soal pembelaan atau kecaman, melainkan soal bagaimana kita bisa belajar dari setiap kejadian untuk menjadi lebih baik dalam peran kita masing-masing.

Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu merenungkan setiap tindakan dan mengambil pelajaran dari setiap kesalahan. Mereka yang mampu melihat lebih jauh dari sekadar kekuasaan yang dimiliki, dan mengutamakan nilai-nilai moral serta kepentingan bersama di atas ego pribadi. Ketika kita mampu berpikir dan bernalar objektif, tanpa terbawa oleh emosi atau bias, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kepemimpinan seharusnya dijalankan—sebuah kepemimpinan yang adil, bijaksana, dan selalu menghargai martabat setiap individu.

Related posts