Jakarta, PW: Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) sebagai salah satu jenis ancaman di laut merupakan ancaman yang paling sering terjadi (the most likely) di wilayah perairan negara manapun. Selain itu juga, IUUF seharusnya dapat dikategorikan sebagai transnational organized crime atau kejahatan terorganisir lintas negara, karena di dalam kegiatan IUUF ini dapat terjadi berbagai kejahatan seperti perbudakan, perusakan lingkungan, penipuan, pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyelundupan. Melihat ragam kejahatan yang mungkin terkait dengan IUUF ini, maka membutuhkan pelibatan banyak pemangku kepentingan untuk mengantisipasi dan menghadapinya, tidak saja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pemangku kebijakan, tetapi juga aparat penegak hukum seperti Bakamla RI dan TNI AL.
Demikian dikatakan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksdya TNI Aan Kurnia, S.Sos., M.M. saat menjadi narasumber dalam Webinar International Days Against IUUF yang diselenggarakan Kumparan dengan tema “Tantangan Indonesia untuk Mengakhiri Praktik Illegal Fishing” melalui video teleleconference, Jumat (12/6/2020).
Selain Kepala Bakamla RI Laksdya TNI Aan Kurnia, S.Sos., M.M., webinar yang dilaksanakan dalam rangka memperingati International Day for the Fight against Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2020 ini menghadirkan pula narasumber lain yaitu: Menteri Kelautan dan Perikanan periode tahun 2014-2019 Dr. (HC) Susi Pudjiastuti, CEO IOJI Dr. Mas Achmad Santosa, dan Rektor IPB University Prof. Dr. Arif Satria, serta Prita Laura selaku pemandu jalannya webinar.
Permasalahan tata kelola keamanan laut tidak saja ditentukan oleh pengampu kebijakan dan pengawasan saja tetapi juga memerlukan pelibatan pelaku ekonomi sebagai pemanfaat kebijakan. Dalam kaitan dengan IUUF ini maka nelayan dengan segala bentuknya menjadi salah satu penopang terwujudnya tata kelola keamanan laut yang baik.
Saat ini daerah yang tingkat kerawanan IUUF tinggi adalah salah satunya di Laut Natuna Utara. Hal ini disebabkan selain belum selesainya masalah overlapping claim ZEE antara Indonesia dan Vietnam, juga terdapat potensi gesekan dengan nelayan dari Tiongkok. “Nah, seharusnya nelayan Indonesia juga beroperasi di wilayah perbatasan yang dekat dengan wilayah tumpang tindih, selain untuk pemanfaatan sumber daya alam, juga sebagai bentuk kehadiran di laut bersama dengan aparat penegak hukum yang mengawalnya dari potensi gangguan kapal-kapal ikan asing di wilayah sekitar overlapping claim tersebut,” tandasnya.
Kepala Bakamla RI juga mengusulkan untuk mendorong nelayan agar beroperasi di laut khususnya di daerah overlapping claim tersebut. Hal ini membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah karena selain risiko tangkapan yang kecil akibat over eksploitasi dan juga aturan penggunaan alat tangkap yang membatasi, maka ini membutuhkan insentif khusus kepada para nelayan yang akan diberikan tugas untuk beroperasi atau hadir di wilayah tersebut.
Berbicara tentang kondisi tata kelola keamanan maritim saat ini, penegakan hukum terkait keamanan maritim termasuk IUUF masih dilakukan secara parsial atau sektoral sesuai dengan perundangan yang mengatur. Kondisi ini tentu menjadi kurang efektif dan efisien sehingga membutuhkan optimalisasi melalui penyederhanaan perundangan melalui omnibus law Keamanan Laut yang saat ini sedang berjalan dan membutuhkan dukungan dari semua pihak. “Namun saya berkeyakinan pemerintah akan segera memberlakukan regulasi penegakan hukum di laut, sehingga tata kelola keamanan maritim akan menjadi lebih efektif dan efisien,” tegasnya.
Di bagian akhir paparannya, guna menjamin terwujudnya keamanan maritim, Kepala Bakamla RI Laksdya TNI Aan Kurnia, S.Sos., M.M., mengajukan konsep tata kelola keamanan maritim “Triple Helix Maritime Security” yang ditopang tiga hal pokok yang harus sejalan secara serasi, yaitu Pemerintah (K/L) selaku pembuat kebijakan atau aturan, Penegak hukum selaku pengawas kebijakan atau penegak aturan, dan Pelaku ekonomi selaku pemanfaat kebijakan atau pematuh aturan.