Antara Hujan, Warna Merah dan Angpao

Kepri PW: Imlek tahun 2021 atau tahun baru China 2572. Berbeda dengan tahun sebelum. Perlambangnya disebut dengan Tahun Kerbau. Bermakna kerja keras, ulet, tanggung jawab. Tapi harus tenang dan banyak bersabar.

Imlek selalu identik dengam warna yang bernuasa merah. Barongsai, lampion, klenteng yang ramai. Juga angpao.

Namun, tahun ini pandemi Covid19, telah mengubah semuanya. Barongsai, ramai pasar terbuka di jalan dan aneka hiburan, ditiadakan. Bahkan kunjungan ke klenteng atau vihara pun , dibatasi. Demi menjaga keamanan ,agar virus Corona , tak lagi tambah menyebar.

Tapi upaya mempertahankan tradisi yang ada pada masyarakat Tionghoa , tetap dilakukan. Walaupun serba terbatas.
Menghias dengan nuasa merah, berlampion , kue keranjang serta berdoa, tetap dilakukan. Walau terbatas di rumah saja. Atau di lingkungan sekelilingnya.

Tentu juga tradisi angpao. Tradisi yang dipertahankan ratusan , bahkan mungkin ribuan tahun. Tradisi yang muncul dari legenda pengusiran syetan yang sering mengganggu, anak kecil di negeri Tiongkok. Lalu ” masih” menurut legenda, dicegah dengan menyelipkan delapan koin , yang dimasukkan dalam kertas berwarna merah. Dan diletakkan dibawah bantal. Untuk mencegah agar si anak tidak diculik oleh syetan tersebut.

Legenda tentang hal ihwal angpao ini, sebetulnya kiasan yang mengajarkan tentang nilai kebaikan dan kepedulian. Bahwa untuk melawan energi buruk, maka harus dilindungi dengan kebaikan dalam bentuk amal.

Amal, melindungi masa depan, yang dikiaskan pada anak kecil. Sehingga masa depan yang baik, hanya dapat dijaga dan dilindungi , dengan amal dan budi baik. Kira kira demikian pemahamanku tentang tradisi angpao, yang diikuti juga oleh tradisi ritual di berbagai kepercayaan yang lain.

Pun demikian dengan warna yang selalu serba merah. Hikayatnya dahulu masyarakat Tiongkok yang sebagian besar hidup bertani, selalu mengharap kesuburan melalui hujan. Dan petir adalah perlambang , akan adanya hujan yang akan turun. Dan itu diidentikkan dengan warna merah. Perlambang rasa bahagia, keberuntungan dan sukses.
Sehingga menjadi penanda, saat malam imlek tiba, biasanya ditandai dengan turunnya hujan deras. Konon semakin deras hujan, semakin deras rejeki yang akan datang di tahun itu.

Ada juga yang menyamakan nuansa merah dengan semangat keberanian dan kemauan keras untuk berjuang. Dan sangat tepat jika dijadikan warna motivasi di masa pandemi seperti ini. Warna penanda tiada kata menyerah pada pertempuran melawan Corona.

Memang, perayaan imlek kali ini terasa berbeda.
Dan dalam penantianku, di malam imlek ini, ternyata di tempatku tiada turun hujan.
Apakah adanya kaitan antara mitos antara hujan, rejeki imlek dan pandemi yang dihadapi sekarang ?
Wallohu ‘alam bisshowab. Entahlah.

Tapi tidak melunturkan semangat untuk berbagi budi baik ,demi masa depan yang lebih baik. Angpao. Dalam kacamata kebaikan, tidsk hanya di hari imlek. Tapi harus ada setiap kali dalam kehidupan kita.

Untuk itu, aku mengambil beberapa kisah kepahlawanan orang Tionghoa di Indonesia. Yang kecintaannya pada bangsa ini, melebihi asal ras , marga dan keturunan manapun.

Sehingga tidak lagi , kita menilai seseorang dari asalnya , rasnya, sukunya, agamanya atau kelompoknya. Tapi sejauhnya mana nilai kejuangan dan darma baktinya bagi bangsa Indonesia ini.

Dan selamat berimlek, tetap semangat .
Gong xie fat choy,
Selamat tahun baru imlek 2572
Bumi gurindam 12.02.2021
______________________________________________
Djoni Liem: Marinir Tionghoa ahli penyembur jarum dan penyusupan

Kemerdekaan Indonesia bukan lahir dari pemberian penjajah. Bendera merah putih berkibar di angkasa karena perjuangan para pahlawan bangsa yang merebut dari belungu penjajahan. Mereka rela mati demi tumpah darah tanah air Indonesia.

Para pejuang bangsa berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dengan latar sipil maupun militer bersatu padu melawan tirani penjajah.

Namun bagi sosok Sersan Mayor KKO (Purn,) Djoni Matius atau lebih akrab Djoni Liem adalah tokoh pejuang Indonesia keturunan Tionghoa.

Djoni Liem lahir 3 April 1934 lahir di Bandung, Jawa barat, ia seorang Punawirawan TNI Angkatan Laut berdarah Tionghoa dengan nama aslinya Liem Wong Siu.

Saat ini Djoni berusia 86 tahun tinggal di Surabaya bersama istrinya Djeni Nani yang memiliki nama Tionghoa Tan Mei Hiang asli dari Singapuram

Djoni Liem merupakan orang pertama yang masuk KKO (Korps Komando sekarang Marinir) Angkatan Laut di tahun 1957. Djoni adalah pasukan khusus terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Ia merupakan salah satu tokoh dalam operasi Dwikora bersama kapten KKO Winanto (Komandan IPAM saat itu). Dan operasi lainnya dari PRRI/Permesta, DI/TII, RMS hingga operasi tepur di Aceh serta Seroja di Timor Timur.

Djoni Liem ternyata juga seorang pejuang yang Tangguh dan berbakti pada negara. Buktinya saat operasi Dwikora dilaksanakan, Djoni Liem dengan sukarela bergabung dengan pasukan KKO untuk membela Indonesia.

Djoni dirinya dikirim dan mendarat di Malaysia untuk melakukan operasi khusus Dwikora. Selama 4.5 tahun bertempur dan diterpenjara.

Perjuangan Djoni Liem saat di medan tempur, menggingat jumlah pasukan sekutu yang besar, ia berserta prajurit lainnya bersembunyi 2,5 tahun di dalam hutan dan terkena penyakit malaria. Namun upaya Djoni diketahui oleh para pasukan sekutu, ditangkap, disiksa dan disidang.

Pada saat perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Inggris di Bangkok, Thailand. Pemerintah berhasil membuat kesepakatan yang salah satu keputusannya yang membebaskan KKO yang menjadi tawanan di tahanan Johor. Dari 25 orang kelompok Djoni Liem, hanya empat yang pulang ke Indonesia, termasuk dirinya.

Selain semangat bertempur yang tinggi, Djoni memiliki kemampuan “Semburan Mulut Berbisa” Sebab Djoni bisa meluncurkan jarum, mata kail pancing, silet dan beras dari mulutnya dengan jarak kurang lebih sekitar 30 meter

Djoni Liem mengaku sangat terbantu apalagi saat dulu membela Indonesia melawan penjajah, sebelum para pasukan lawan bersiap dengan senjatanya, Djoni Liem sudah menembakkan jarum beracunnya.

Djonie Liem berjuang bagi tumpah dan darah Indonesia, walaupun ia berasal dari keturunan Tionghoa.

Sumber: Kompas.com
________________________________________________
John Lie, Keturunan Tionghoa yang Jadi Pahlawan Nasional

Jika ditanya keturunan Tionghoa yang menjadi pahlawan nasional, barangkali tidak banyak yang bisa menjawab. Menyebut nama Jahja Daniel Dharma atau John Lie Tjeng Tjoan atau singkatnya John Lie pun mungkin terdengar asing di telinga.

Laksamana Muda John Lie dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada Hari Pahlawan 2009. Itu antara lain berkat jasa-jasanya menyelundupkan hasil bumi Indonesia untuk ditukar dengan senjata yang dibutuhkan pada masa Revolusi Fisik tak lama Indonesia merdeka.

John Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 9 Maret 1911. Ia anak dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Seperti dituturkan sejarawan Asvi Warman Adam, Lie memulai karier sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM. Ia lalu bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), milisi lokal Sulawesi pada masa perang kemerdekaan. Divisi laut dari kesatuan ini lalu menjadi bagian dari Angkatan Laut RI.

Lie ditugaskan di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini, selama beberapa bulan, ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor.

Kiprah Lie yang paling terkenal adalah menjadi penyelundup. Sebagai negara yang baru berdiri dan masih berperang dengan Belanda, kas negara sangat minim. Sementara itu, perdagangan dengan negara lain tidak bisa dilakukan dengan leluasa. Oleh karena itu, Lie bertugas mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri.

Untuk menjalankan operasinya, Lie menggunakan kapal kecil cepat yang bernama The Outlaw. Asvi Warman Adam menyebutkan, mengutip buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit 15 kali Lie melakukan operasi “penyelundupan”.

Ia mendapat julukan “hantu Selat Malaka” karena pergerakannya nyaris tidak diketahui. Beberapa kali ia juga lolos meski sudah berhadapan dan ditembaki oleh pasukan Belanda, baik dari kapal laut maupun pesawat udara.

Namun, tidak semua juga berlangsung mulus. Di antaranya, pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura, ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.

Seperti ditulis Kompas.com, mengutip Kepala Subdinas Sejarah Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Kolonel Syarif Thoyib, keberhasilan John Lie karena ia memiliki koneksi yang baik dengan orang-orang di pelabuhan Singapura, Thailand, bahkan hingga Afrika. Apalagi di Singapura, wajahnya yang khas keturunan Tionghoa yang mungkin membuat dia dibantu sana-sini. Padahal, John Lie melakukan operasinya untuk membantu Indonesia yang baru merdeka.

Memasuki dekade 1950-an, Lie ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku lalu PPRI/Permesta. Ia terus berdinas di Angkatan Laut dengan pangkat terakhir laksamana muda.

John Lie meninggal akibat stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Atas jasa-jasanya, secara anumerta ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Suharto pada 10 November 1995. Dan, pada 2009, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Sumber: wikipedia
________________________________________________

Mbah Wali Gus Dur: pahlawan etnis Tionghoa
( KH Abdurrahman Wahid)

Sosok Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau biasa di panggil mbah waliyulloh Gus Dur, sangat melekat dalam ingatan masyarakat, terutama warga etnis Tionghoa di Indonesia pada perayaan Imlek.

Sebab, berkat perjuangan Gus Dur, warga Tionghoa dapat kembali bebas mengekspresikan diri merayakan Imlek di muka umum.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu,” demikian penggalan ucapan Gus Dur kala itu, yang begitu melekat erat dalam memori warga Tionghoa.

Kembali ke era Orde Baru, dikeluarkan larangan berbagai aktivitas keagamaan warga Tionghoa.
Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 16/1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Berbagai perayaan Imlek dan Cap Go Meh dilarang keras dihelat di muka umum. Warga Tionghoa hanya diperbolehkan merayakan Imlek secara sembunyi di dalam rumah.
Bahkan, untuk menjalani ritus ibadah pun mereka hanya boleh melakukannya di dalam rumah secara perorangan.

Selama puluhan tahun warga Tionghoa harus menelan pil pahit kenyataan kebijakan tersebut. Angin segar baru dirasakan saat rezim Orde Baru telah berganti memasuki era reformasi.

Di bawah kepemimpinan Gus Dur, pemerintah mencabut Inpres Nomor 16/1967 itu dan membebaskan warga etnis Tionghoa berekspresi saat perayaan Imlek.
Almarhum Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, menjadikan Hari Imlek dijadikan sebagai hari libur, artinya hanya berlaku bagi warga yang merayakannya saja. Sejak saat itu, perayaan Imlek dibuka sebebas-bebasnya.

Sumber: kompas.com
________________________________________________

Selamat tahun baru imlek 2572
Tahun Kerbau di tengah pandemi
Yang berarti perjuangan belum usai
Dan Djoni Liem, John Lie dan Mbah waliyullohGus Dur adalah sosok teladan pejuang Tionghoa yang tak kenal menyerah.

Dan jangan menyerah melawan pandemi Covid19 .
Kita akan menang.

Goxifat choy 12.02.2012/2572
Hisnindarsyah DokterGeJeBlangkonputih

Related posts