Hisnindarsyah
Setiap kali drum perang di tanah Israel dan Palestina berdentang lebih keras, alunannya membawa riak-riak kebencian yang memecah belah kesatuan umat manusia di berbagai belahan dunia. Tindakan antisemitisme dan Islamofobia muncul bagaikan hama di musim panen yang subur di Eropa dan Amerika Utara, merusak buah persaudaraan yang seharusnya dipetik dengan kedamaian.
Perumpamaan “Api kecil bisa membakar hutan besar” tampak nyata ketika konflik ini memicu api kebencian yang merambat cepat di jalanan, angkutan umum, institusi pendidikan, hingga ke sudut-sudut media sosial. Para pemimpin komunitas sejatinya harus menjadi “air sejuk yang memadamkan api”, bersatu hati mengecam fenomena ini dengan penuh kepedulian dan empati, sebagaimana ajaran Aristoteles tentang etika kebajikan yang menghargai empati sebagai kunci ke harmonisan sosial.
Konflik Israel-Palestina mengajarkan kita tentang “dualitas kekuatan”; di satu sisi, ada kekuatan untuk membentuk ikatan komunitas, di sisi lain ada potensi untuk menghancurkannya. Media sosial, dengan gempita informasi tak terfilter, berpotensi menjadi “pedang bermata dua” yang bisa mengedukasi atau memecah belah. Socrates pernah berkata, “Saya hanya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa,” mengingatkan kita akan bahaya kepastian absolut yang sering kali mengiringi polarisasi masyarakat.
Sayangnya, banyak yang tersesat dalam labirin prasangka, lupa akan kebijaksanaan Konfusius yang mengatakan, “Jika kita tidak mengenal satu sama lain, maka kita akan takut satu sama lain.” Perbedaan pendapat dalam konflik Gaza boleh saja terjadi, namun ketika perbedaan itu mengkristal menjadi kebencian, kita mendapati “rumah kita sendiri terbakar”.
Kita menyaksikan dalam kesedihan bagaimana “batu yang dilemparkan ke kolam tenang” dari konflik Israel dan Palestina menimbulkan gelombang kebencian yang meluas. Seharusnya kita memeluk semangat “setetes air dalam lautan,” dimana kita semua adalah bagian dari umat manusia yang lebih besar, mengingatkan pada ajaran Rumi tentang kesatuan.
Di Inggris, yang dikenal sebagai “taman dengan berbagai jenis bunga,” peningkatan insiden kebencian menunjukkan bahwa “bahkan bunga yang paling indah pun bisa layu” di bawah sinar kebencian. Seperti pepatah lama, “tidak ada asap tanpa api,” kejadian-kejadian ini mencerminkan kegagalan dalam sistem pendidikan dan politik kita yang tidak mengajarkan “keindahan dalam perbedaan”.
Perilaku politisi yang “berbicara tanpa pikiran” hanya menambah bahan bakar ke api yang telah berkobar. Menyarankan bahwa bendera Palestina sebagai simbol perlawanan adalah ilegal atau menyinggung, hanya akan memperburuk “luka yang telah ada”. Di sini, penting untuk membedakan antara “mendukung terorisme” dan “mendukung perjuangan sebuah bangsa”.
Di saat konflik berubah menjadi “hujan yang menyuburkan benih perpecahan,” kita semua harus kembali ke “akar yang sama” dan berdiri bersama dengan nilai-nilitas kemanusiaan. Kita harus menjadi “tukang kebun yang bijaksana” yang menyirami taman keberagaman dengan pengertian dan kesetaraan.
Dalam perspektif anak bangsa Indonesia, kita diingatkan oleh nilai-nilitas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, kita memahami “beratnya membawa beban di kedua bahu,” merasakan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina sambil mempertahankan hubungan yang damai dengan semua umat beragama. Sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW, “Tidak ada kehormatan yang lebih besar daripada memberi damai,” kita sebagai bangsa harus membawa semangat rekonsiliasi dan perdamaian, “menganyam ketenangan dari benang-benang konflik,” khususnya di masa-masa tergelap ini.
Maka, menjadi tanggung jawab kita, dengan “bersabar seperti pohon kurma yang menunggu buahnya matang,” untuk menunjukkan keberanian yang sejati dalam mengulurkan tangan perdamaian dan meneguhkan kembali komitmen kita terhadap kemanusiaan yang merangkul semua kehidupan dengan setara. Ini adalah jihad kita, jihad yang paling besar, untuk menjadi “jembatan yang menghubungkan pulau-pulau kemanusiaan” yang terpisahkan oleh lautan kebencian dan ketidakadilan. (Wallahumuwaffiq ila Aqwamitthariq).
Oleh : Hisnindarsyah