Bayangkan berjalan di sebuah hutan yang rindang di tengah malam, cahaya bulan yang samar membayangi pohon-pohon, menciptakan bayang-bayang yang merayap di tanah. Bayangan itu, tak tergenggam dan selalu berubah, seperti metafora dari “Fear of Missing Out” atau FoMO yang kita alami dalam kehidupan digital kita. Di era dimana kehidupan kita dipantulkan kembali kepada kita melalui layar yang berkilau, FoMO menjadi setan yang mengintai, meracuni momen-momen kita dengan kecemasan akan apa yang mungkin kita lewatkan.
Dalam narasi ini, penulis mengajak pembaca menelusuri perjalanan manusia sebagai makhluk sosial, suatu konsep yang tidak asing bagi Aristoteles, filsuf kuno yang menganggap interaksi sebagai esensi dari kebahagiaan manusia. Konsep ini berpadu dengan teori keterikatan John Bowlby yang menggarisbawahi perlunya hubungan yang aman dan stabil. Dari sini, kita memahami bahwa FoMO adalah bayang-bayang gelap dari kebutuhan sosial ini yang telah dipelintir oleh gema yang tak henti-hentinya dari media sosial.
FoMO, dalam esensinya, adalah hasrat alami kita untuk terhubung, namun ketika diperbesar oleh lensa media sosial, hasrat tersebut berubah menjadi suatu obsesi yang tidak sehat. Kita menjadi pohon yang melupakan akarnya, terpikat oleh angin yang membawa kabar dari tempat lain, melupakan nutrisi yang seharusnya kita serap dari tanah kehidupan nyata kita sendiri.
Penelitian menyatakan bahwa FoMO bisa merusak mental, mengganggu tidur kita, menurunkan prestasi akademik, dan mengikis produktivitas kita. Ini adalah pencuri yang licik, mengganggu nilai kebersamaaan, mencuri kedamaian batin kita dan menguras waktu yang bisa kita investasikan untuk membangun hubungan nyata dan mencapai tujuan pribadi.
Namun, seperti malam yang tak selamanya gelap, seperti juga kamu, yang tak selamanya begitu, beda dengan bintang, ia tetap dan selalu memayungimu, memantau dan menelisik seperti hantu. FoMO juga memiliki obatnya. Terapi perilaku kognitif muncul sebagai obor di kegelapan, membantu kita mengenali pola pikir yang mendukung FoMO dan mengarahkan kita kembali ke jalan yang lebih sehat. Proses ini membutuhkan kesadaran diri yang mendalam dan kemampuan untuk mengatur emosi kita, layaknya seorang tukang kebun yang teliti memilih benih yang akan ditanam, tahu mana yang akan tumbuh subur dan mana yang akan layu.
Sebagai bagian dari perjalanan ini, kita juga diajak untuk merefleksikan penggunaan media sosial kita. Haruskah kita terus terjaga, menunggu notifikasi selanjutnya, atau apakah kita bisa menemukan keseimbangan, seperti penari yang dengan anggun menari di atas panggung kehidupan, tanpa tergoda oleh sorakan penonton yang tak terlihat.
Mengakhiri renungan ini, kita dapat melihat bahwa FoMO sebenarnya adalah tantangan yang bisa membawa pertumbuhan dan kekuatan batin jika kita berani menghadapinya. Cerita kita, seperti pahlawan dalam mitologi, adalah tentang mengatasi rintangan dan menemukan kekuatan yang lebih besar dalam diri kita. Kita belajar untuk menghargai momen yang kita miliki, menemukan kebahagiaan dalam hubungan nyata dan pencapaian pribadi, bukan dalam validasi digital yang sesaat. Ini adalah pelajaran tentang berada di sini dan sekarang, memeluk kehidupan nyata kita, dan mengingat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang jumlah ‘like’ yang kita kumpulkan, melainkan tentang kisah yang kita ciptakan dan orang-orang yang kita cintai dalam perjalanan yang berharga ini.
Penulis: DR. H. Ahyar Wahyudi, Ns, M.Kep., FISQua, FRSPH, FIHFAA