Kepri, PW: MENAPAK tilas perjalanan Rumah Sakit yang terletak di ujung barat Indonesia ini ternyata bukanlah persoalan yang mudah. Tidak terlalu banyak data dan literatur yang mengungkapkan sosok Rumah Sakit TNI-AL yang tepat berada di Jantung Kota Sabang, Pulau Weh Provinsi Aceh. Namun tidak dapat dipungkiri, Rumah Sakit TNI AL Sabang ini masih tampak terlihat gagah, tegar dan kuat memancarkan aura mistis dan penuh misteri. Sehingga memancing rasa keingintahuan yang mendalam untuk menyibak misteri dibalik beton kuat buatan Belanda yang masih bertahan hingga saat ini.
Berdasarkan sumber inventarisasi Badan Suaka dan Purbakala Aceh (1997). berdirinya Rumah Sakit di Sabang ini tidak lepas dari sejarah perjuangan rakyat Aceh menghadapi Belanda. Sejak akhir abad ke 19 Belanda terus berupaya untuk menaklukan Aceh. Namun upaya penyerangan Belanda ini mendapat perlawanan dari pejuang-pejuang Aceh. Karena upaya penyerangan lewat laut untuk menguasai pesisir pantai Aceh berulang kali mengalami kegagalan, akhirnya Belanda mendirikan Basis pertahanan awal di kepulauan yang berada di luar Aceh, yang dikenal sebagai Pulau Weh.
Diawal abad ke 20, Kesultanan Aceh berhasil dikuasai namun perjuangan mujahid Aceh tidak pernah berhenti. Mereka terus melakukan perlawanan pada tentar Belanda yang dianggap Kaphee atau kafir, julukan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan atau agama. Di berbagai pertempuran itu, banyak korban berjatuhan termasuk diantaranya para pejuang Aceh yang tertangkap atau ditahan oleh tentara Belanda.
Dr. Snouck Houngronye (DR SH) adalah salah satu orientalis Belanda yang sangat ahli dan mendalami tentang Islam sampai ke Makkah. Bahkan dia mengaku muslim, menunaikan ibadah haji, mahir berbahasa Arab dan memiliki nama muslim Haji Agus Salim. Namun sesungguhnya Dr. Snouck menggunakan keahliannya itu untuk menaklukan pejuan Aceh dengan melemahkan dari sisi budaya, sosial dan nilai religiusitas yang dimiliki masyarakat Aceh. Dan salah satu wujud strategi Snouck Houngronye adalah mendirikan Rumah Sakit Jiwa Terbesar di wilayah yang dikuasai Belanda. Dimasa itu diklaim sebagai Rumah Sakit Jiwa terbesar se Asia Tenggara.
Mengapa membuat Rumah Sakit Jiwa?
Pembangunan Rumah Sakit Jiwa ini sebenarnya sarat dengan muatan politis ketimbang upaya rehabilitatif. Belanda memulai pembangunan ini sejak tahun 1904 oleh Sabang Maskapai (Perusahaan Belanda pengelola Sabang sejak tahun 1985) dan baru selesai ditahun 1919, difungsikan tahun 1920. Tidak ada tanggal asti yang menunjukan kapan rumah sakit ini difungsikan. Namun saat itu Sabang merupakan Free Port (pelabuhan Bebas) yang sangat modern, sehingga memungkinkan pembangunan rumah sakit ini dari bahan-bahan kualitas terbaik yang diimpor dari Kesultanan Deli dan Jawa. Terlihat dari sisa-sisa genteng yang saat ini masih utuh, tertulis tahun 1904 bermerk Deli Clei.
Belanda sengaja membangun suatu tempat yang diberi label Rumah Sakit Jiwa. Hal ini dilakukan untuk menutupi maksud Belanda yang sesungguhnya yaitu : mengasingkan dan mematahkan semangat perjuangan mujahid Aceh. Belanda sengaja menangkap para mujahid Aceh, mengikuti saran Dr. Snouck, mereka tidak dibunuh namun disembuhkan dari penyakit kejiwaan yang didapnya. Dr. Snouck menetapkan diagnosa kelainan jiwa ini sebagai : Syndrome Atjeh Murder, suatu gangguan kejiwaan yang mensikapi perilaku Jihad pejuang Aceh yang selalu berhasrat untuk membunuh tentara Belanda sebagai perilaku yang mendatangkan pahala dan bila mati karena upaya membunuh tentara Belanda itu sebagai syahid akan mendapat surga, ini dianggap menjadi suatu sindrome gangguan kejiwaan.
Oleh karena itu, para pejuang Aceh yang berhasil ditangkap oleh Belanda, diasingkan ke P. Weh ini. Mereka dianggap mengalami gangguan kejiwaan yang keberadaannya disatukan dengan pasien yang memang benar-benar mengalami penyakit gangguan jiwa yang didatangkan dari berbagai wilayah di Sumatera seperti Medan, Deli bahkan dari pulau Jawa. Mereka dicampur, disatukan dengan para mujahid Aceh dengan tujuan untuk mematahkan semangat perjuangan dari para pejuang Aceh tersebut. Saat itu tidak kurang dari 1500 orang dirawat oleh Rumah Sakit ini.
Dokter terakhir yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa Sabang adalah Dr. Coelon. Beliau dikenal sebagai dokter yang tegas, disiplin dan tidak kompromi. Saat bala tentara Jepang datang dan menguasai Pulau Weh tepatnya kota Sabang, Dr. Coelon sebagai kepala Rumah Sakit tidak mau berkompromi dengan pihak Hepang. Beliau memberikan isyarat-isyarat rahasia bagi pejuang Aceh atau tentara Republik dengan tujuan membantu perjuangan mereka. Tindakan ini diketahui oleh pihak Jepang dan akhirnya beliau ditangkap dan dipancung oleh Jepang di gampong Bateeshok. Di daerah tempat pemancungan beliau tersebut kini didirikan Tugu atau monumen sederhana untuk mengenang peristiwa tersebut.
Siapakah Johanes Lilipory ?
Ada seorang saksi sejarah yang saat ini masih hidup. Beliau adalah bapak Poniman Sareh (78 tahun), seorang mantan pegawai sekretariat negara (setneg) di era Bung Karno dan di tahun 1968 kembali ke Sabang dan mengabdikan diri sebagai guru sejarah di SMU Sabang sampai tahun 1997. Menurut beliau, setelah dr. Coelon wafat, Oleh bara tentara Jepang, pasien RSJ seluruhnya dipindahkan ke Pulau Rubiahyang lalu beberapa waktu kemudian dipindahkan lagi ke tanjung rambutan. Sedangkan fasilitas RS Jiwa yang terletak di lahan sekitar 25 hektar diubah fungsinya menjadi barak militer kompi B tentaraJepang. Sedangkan untuk fasilitas medis Jepang saat itu membangun Rumah Sakit bawah tanah yang tidak jauh dari kompleks RSAL J. Lilipory tepatnya di daerah Aloelhok di belakang RS. J.Lilipory.
Di masa itu, setelah wafatnya dr. Coelon, juru medis atau bintara kesehatan yang mewakili beliau di rumah sakit tersebut juga tidak mau menyerah. Dari seorang KNIL (pasukan tentara Belanda/Eropa) dia membelot dan berpihak pada tentara republik. Beliau adalah Johanes Lilipory, seorang warga keturunan Ambon yang mendarma-baktikan perjuangannya untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masayarakat di kota Sabang.
Johanes Lilipory memutuskan untuk bergabung dengan para pejuang Aceh, memberikan bantuan Medis, pelayanan kesehatan bagi pejuang Aceh. Bapak Poniman mengenal Beliau sebagai sosok yang berperawakan tinggi besar, tegas, berani dan sosial. Itulah sebabnya maka hingga saat ini sosok RSAL J. Lilipory Sabang sangatlah dekat dengan masyarakat Sabang. Antara lain karena terjalin ikatan historitis, psikologis dan moral yang kuat antar sosok Johanes Lilipory dengan pengabdiannya bagi masyarakat Sabang.
Diawal tahun 1950, berdasarkan SK Dephan (Sri Sultan Hamengku buwono IX) TNI-AL masuk di wilayah Sabang, dan merubah RS Jiwa Belanda yang juga barak tentara Jepang ini dilahan seluas 25 hektar menjadi Barak Militer TNI-AL Sabang dan sebagian seabagi klinik medis yang akhirnya berubah menjadi Rumah Sakit TNI-AL. Oleh karena dedikasi bintara kesehatan J. Lilipory maka RSAL Sabang diberi nama RSAL J. Lilipory pada tanggal 27 Maret 2007 oleh Danlantamal I Laksma TNI Sadiman, S.E.
Dalam perjalanannya ternyata ikatan historis antara RSAL Lilipory dan masyarakat kota Sabang ini kian mengental dan tak bisa dilepaskan lagi. Yang terwujud dengan segenap bakti dan pelayanan yang pihak rumah sakit berikan sepenuh hati bagi masyarakat Sabang, tidak akan pernah lelah dan berhenti untuk mengabdi, sebagaimana perjuangan sepenuh hati yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu kami.
Oleh: Dr.dr. HISNINDARSYAH SE MKes MH C.FEM
Kolonel Laut ( K) Nrp 11854/P
(Karumkital RSAL J.Lilipory Sabang 2009-2013) Anggota Komunitas pemberhati sejarah Sabang/ SHS(Sabang Heritage Society)