Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Kasus tragis bunuh diri yang menimpa IQZ, seorang siswi SMAN 2 Banjarbaru, bukan hanya sekadar insiden individu. Ini adalah refleksi dari kegagalan sistem pendidikan dalam memahami, mencegah, dan menangani kesehatan mental peserta didiknya. Dalam banyak kasus serupa, sekolah sering kali menghindari tanggung jawab dan melemparkan beban sepenuhnya kepada faktor individu atau keluarga. Namun, dalam perspektif psikologi forensik, sekolah memiliki peran sentral yang tidak dapat diabaikan. Menilik lebih dalam, kita dapat membangun argumentasi bahwa sekolah harus bertanggung jawab atas tragedi ini dengan merujuk pada konsep teoritis yang mendukung.
Sekolah sebagai Agen Sosialisasi dan Pengasuhan Kedua
Teori Sosialisasi Sekunder yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann (1966) menegaskan bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang berperan dalam membentuk identitas individu. Dalam konteks ini, sekolah tidak hanya bertugas sebagai institusi akademik, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memberikan lingkungan sosial yang sehat bagi perkembangan psikologis siswanya. IQZ bukan sekadar murid dalam sistem pendidikan; ia adalah individu yang menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan sekolah, berinteraksi dengan guru, teman sebaya, dan aktivitas ekstrakurikuler. Jika lingkungan sekolah gagal mengidentifikasi tekanan psikologis yang dialami oleh siswanya, maka sekolah telah lalai dalam menjalankan fungsi fundamentalnya.
Dalam perspektif psikologi perkembangan, Erik Erikson (1950) menyatakan bahwa remaja berada dalam tahap Identity vs. Role Confusion, di mana mereka berusaha menemukan identitas diri dan merasa tertekan oleh ekspektasi sosial. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang membimbing mereka dalam fase ini, bukan justru menjadi faktor yang memperparah kebingungan identitas dan tekanan emosional mereka. Dalam kasus IQZ, fakta bahwa ia adalah siswa berprestasi dan aktif dalam organisasi sekolah justru menunjukkan bahwa tekanan akademik dan sosial yang berasal dari lingkungan sekolah bisa menjadi salah satu faktor pemicu kondisi mental yang memburuk.
Tekanan Akademik dan Ekspektasi Berlebihan
Salah satu faktor terbesar yang dapat memperburuk kesehatan mental siswa adalah tekanan akademik yang berlebihan. Self-Determination Theory dari Deci dan Ryan (1985) menyatakan bahwa individu memiliki tiga kebutuhan psikologis utama: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi atau justru ditekan secara ekstrem, individu akan mengalami stres yang mendalam. Dalam kasus IQZ, tekanan akademik serta ekspektasi untuk tetap berprestasi bisa jadi telah mengganggu keseimbangan psikologisnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Suldo et al. (2009) menunjukkan bahwa tingkat stres akademik yang tinggi berkorelasi langsung dengan tingkat depresi dan kecenderungan bunuh diri pada siswa. Dalam lingkungan pendidikan yang hanya menitikberatkan pada prestasi akademik tanpa memperhatikan kesehatan mental, siswa yang mengalami tekanan tinggi sering kali merasa bahwa kegagalan bukanlah pilihan. Mereka takut mengecewakan guru, teman, dan orang tua, sehingga merasa tidak ada jalan keluar selain mengakhiri hidupnya.
Kegagalan Sistem Deteksi Dini dan Intervensi
Sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan emosional dan psikologis. Sayangnya, banyak sekolah masih gagal dalam melakukan deteksi dini terhadap siswa yang mengalami gangguan kesehatan mental. Teori Stress-Vulnerability Model (Zubin & Spring, 1977) menjelaskan bahwa individu dengan predisposisi terhadap gangguan mental akan lebih rentan mengalami episode depresi ketika terpapar stres berkepanjangan. Sekolah seharusnya memiliki mekanisme untuk mengenali gejala depresi atau tekanan psikologis yang berlebihan pada siswa sebelum mencapai titik ekstrem.
Dalam kasus IQZ, temuan kepolisian menunjukkan bahwa ia mengalami gangguan mental selama dua tahun terakhir, yang berarti ada cukup waktu bagi pihak sekolah untuk menyadari dan melakukan intervensi. Fakta bahwa tidak ada langkah nyata yang diambil oleh sekolah dalam mendukung kondisi psikologis IQZ menunjukkan kelalaian yang serius. Menurut penelitian dari Esposito et al. (2019), sekolah yang memiliki program intervensi kesehatan mental yang baik mampu menurunkan tingkat kecenderungan bunuh diri hingga 30%. Namun, jika tidak ada kebijakan atau mekanisme yang diterapkan, maka sekolah secara langsung turut bertanggung jawab atas konsekuensi tragis yang terjadi.
Minimnya Dukungan Psikososial dan Kesalahan dalam Penanganan Kasus
Banyak sekolah masih menganggap isu kesehatan mental sebagai hal yang tabu atau tidak penting. Ini sejalan dengan Teori Labeling dari Becker (1963), yang menyatakan bahwa individu yang memiliki gangguan mental sering kali distigmatisasi dan tidak mendapatkan perlakuan yang layak. Dalam konteks sekolah, banyak siswa yang enggan mencari bantuan karena takut dicap sebagai “lemah” atau “bermasalah.” Jika sistem sekolah tidak menyediakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental siswa, maka tanggung jawab atas kegagalan ini tidak bisa dilepaskan dari institusi pendidikan tersebut.
Dalam laporan investigasi, ditemukan bahwa IQZ mengalami konflik dengan seniornya di sekolah dan merasa tertekan dengan tanggung jawabnya dalam kepanitiaan ulang tahun sekolah. Sekolah yang memiliki sistem dukungan psikososial yang baik seharusnya bisa mengintervensi situasi ini sebelum eskalasi yang lebih jauh terjadi. Social Support Theory dari Cohen dan Wills (1985) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang kuat dapat menjadi faktor protektif terhadap depresi dan pikiran bunuh diri. Jika IQZ tidak memiliki dukungan sosial yang memadai di lingkungan sekolah, maka bisa dikatakan bahwa institusi tersebut telah gagal dalam memberikan lingkungan yang aman secara emosional bagi siswanya.
Tanggung Jawab Sekolah dalam Perspektif Hukum dan Etika
Selain dari perspektif psikologi, tanggung jawab sekolah juga harus dipertimbangkan dari segi hukum dan etika pendidikan. Dalam banyak negara, termasuk Indonesia, sekolah memiliki kewajiban hukum untuk menjamin kesejahteraan siswanya. Konsep Negligence dalam Hukum Pendidikan (Glaser, 1973) menyatakan bahwa sekolah dapat dianggap bertanggung jawab jika terbukti lalai dalam memberikan perlindungan yang memadai terhadap siswanya.
Menurut Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, dan diskriminasi dalam lingkungan pendidikan. Jika IQZ mengalami tekanan yang berlebihan, konflik sosial, dan gangguan mental tanpa adanya intervensi dari sekolah, maka sekolah bisa dianggap telah melanggar hak-hak siswa untuk mendapatkan lingkungan belajar yang sehat.
Kesimpulan
Sekolah tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab dalam kasus tragis seperti ini. Teori-teori psikologi perkembangan, akademik, dan sosial menunjukkan bahwa institusi pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk kesejahteraan mental siswanya. Dari sudut pandang hukum, sekolah juga berkewajiban untuk memberikan lingkungan yang aman dan mendukung bagi seluruh siswa. Kegagalan dalam mendeteksi, mencegah, dan menangani gangguan kesehatan mental yang dialami IQZ adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa dibiarkan tanpa evaluasi lebih lanjut.
Jika kasus seperti ini terus berulang tanpa ada evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada, maka kita akan terus kehilangan generasi muda yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan bimbingan. Sekolah harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, bukan hanya sebagai institusi akademik, tetapi sebagai penjaga kesejahteraan psikologis bagi setiap siswa di dalamnya.(*)