Oleh : Amang Mawardi
Kemarin, 16 Agustus, saya membaca tulisan Dr. dr. Hisnindarsyah di Facebook. Postingan dokter yang kolonel TNI-AL ini sehari sebelumnya dimuat di Harian Media Indonesia 15 Agustus 2024 dengan judul: Tabib dan Dokter, Kompetisi atau Kolaborasi ?
Sebelum menginjak pada pokok masalah, dokter spesialis kelautan yang dosen ini membeberkan apa itu tabib dan dokter.
Tulis beliau, tabib praktik pengobatannya berbasis pada pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun sesuai kondisi lingkungan dan budaya setempat. Tabib menggunakan bahan-bahan alami seperti tetumbuhan, mineral dan hewan, dalam praktik pengobatan. Ada juga yang menggunakan teknik pijat atau terapi tradisional yang tidak selalu didukung oleh bukti ilmiah.
Pengobatan tradisional para tabib menggunakan pendekatan holistik dengan mempertimbangkan aspek fisik, mental, dan spiritual dari para pasiennya.
Sedangkan dokter adalah tenaga medis yang telah melalui pendidikan formal di institusi kedokteran. Mereka menjalani pendidikan meliputi studi dasar ilmu kedokteran, praktik klinis, dan spesialisasi. Kurikulum kedokteran dirancang untuk memberikan pemahaman mendalam tentang anatomi, fisiologi, patologi, farmakologi, biomedik, dan berbagai penyakit. Dan praktik kedokteran modern didasarkan pada metode ilmiah yang sangat ketat.
Lebih lanjut dibahas oleh dokter yang pengurus IDI Jatim ini dengan sangat hati-hati. Terus terang, baru kali ini saya membaca artikel yang ditulis oleh seorang dokter dengan gamblang dan komunikatif. Bahasanya deskriptif, detil, tapi tidak bertele-tele.
Dan membaca berbagai komentar atas tulisan karya PakNdanDoktorDokter –begitu saya biasa menyebut– sungguh menarik untuk diikuti. Ada yang guyon bernuansa humor, ada yang serius ilmiah, ada juga yan lucu — misalnya : Saya belum baca, dok. Yang penting saya sudah nge- _like_.
***
Bagaimana komentar saya? Nah, saya memberi catatan cukup panjang di kolom komentar. Mungkin sedikit melenceng dari topik yang disampaikan Dr.dr. Hisnindarsyah. Begini kurang lebihnya :
Tulisan seperti ini sudah lama saya tunggu. Keren!
Kerennya dimana?
Mungkin karena sejak lama saya lebih percaya pada sesuatu yang ilmiah. Dan yang ilmiah itu didasari bukti-bukti yang benar-benar sudah teruji secara ilmu pengetahuan modern yang berproses tahap demi tahap.
Contoh gampangnya, seputar 25 tahun lalu, saya diminta tolong adik kandung saya mengantar ke kawasan Sidoarjo bagian selatan di sebuah desa di rumah orang yang dianggap pintar. Untuk apa? Untuk mengobati mata adik saya yang mulai kabur.
Terus oleh “orang pintar” itu adik saya disarankan minum rebusan jagung muda, tentu saat datang disitu “didoain” (semacam _disuwuk_). Setelah sebulan dengan setiap pagi minum rebusan air jagung muda, apa yang terjadi? Ternyata ya _pancet mawon_. Tak ada perubahan ke arah lebih baik.
Akhirnya saya sarankan berobat ke rumah sakit mata di Undaan, Surabaya. Yang mata kabur tadi ternyata adalah katarak. Setelah dioperasi, terang benderang lah penglihatannya.
Cerita lain tentang kakak ipar saya, seorang pensiunan dosen di perguruan tinggi yang mendidik calon guru, mata beliau kabur. Terus dibawa ke Jember, diobatkan ke “orang pintar”. Katanya, kulit di sekitar mata disilet tanpa sakit dan tanpa bekas luka, terus katanya lagi — matanya bisa melihat dengan terang benderang. Tapi tidak lama kemudian kabur lagi.
Akhirnya dibawa ke rumah sakit mata di kawasan Gayungsari, Surabaya. Apa akibatnya, ya terang benderang lah penglihatannya. Karena sudah diambil lemak ketat (katarak) yang nempel di permukaan kornea matanya.
Tentang dua orang di atas yang “mengobati” adik kandung dan kakak ipar saya, apakah tabib asli atau tabib-tabiban, saya tidak tahu.
Cerita lain tentang kakak sepupu saya yang menderita darah tinggi. Tapi minum obatnya tidak rutin, akhirnya empat tahun setelah divonis hipertensi dengan pengobatan putus nyambung, meninggal dunia yang sebelumnya didahului stroke.
Kasusnya persis yang dialami sahabat saya sesama alumni STM Negeri II Surabaya jurusan Kimia Industri, lantaran tidak disiplin minum obat. Kok saya tahu? Ya, tahulah karena saat saya tanya, dia menjawab : “Aku gak rutin ngombe (minum) obat, Cak Amang”, sebelum beliau menderita stroke.
Hanya sobat saya ini usianya lebih pendek — setelah divonis hipertensi, enam bulan kemudian terkena stroke, dan enam bulan selanjutnya meninggal. Al Fatihah untuk kakak saya dan sobat saya tersebut. Umur di tangan Tuhan, tapi manusia wajib berusaha untuk berobat.
Saya sendiri pengidap hipertensi sejak 1998 (berarti sudah 24 tahun). Saya rutin kontrol sebulan sekali dan minum obat serta mematuhi apa yang disarankan/diperintah dokter.
Yang sangat saya percaya kemanjurannya adalah tukang pijat. Apakah tukang pijat boleh disebut tabib? Saya tidak tahu. Atau barangkali jawaban yang tepat adalah : bisa iya, bisa tidak.
Kalau badan saya sangat pegel, capek — saya bawa ke selasar pertokoan Yakaya dekat rumah saya di kawasan Surabaya timur. Ada enam kursi malas di situ. Saya sering milih yang 45 menit dengan tarip Rp 45 ribu. Setelah dipijat oleh Mas Riswanto, badan jadi enteng, detak jantung menjadi lebih pelan dan teratur, dan tidur pun lebih nyenyak dibanding malam-malam sebelumnya.
Yang sampai sekarang saya belum tahu betul tentang manjur tidaknya adalah pengobatan oleh sinshe. Mereka antara lain menggunakan metode tusuk jarum. Ada banyak yang bilang: manjur. Nah, apa sinshe ini masuk jenis tabib? Saya tidak tahu. Katanya sih (katanya ya) di China sana ada beberapa akademi sinshe. Kalau bersifat akademis mudah-mudahan bersifat ilmiah. Hanya benar atau tidaknya, saya tidak tahu.
Sesuatu yang dilandasi ilmu pengetahuan (lebih) bisa dipertanggung-jawabkan –menurut saya– berdasarkan pengalaman empiris sebagai pasien, sejak kecil hingga lansia.
Contoh lain tentang yang ilmiah di luar bidang kedokteran yaitu yang berkaitan dengan keberadaan gedung pencakar langit. Itu semua dibangun berdasarkan hitung-hitungan ilmu pengetahuan yang njelimet, meliputi : ilmu arsitektur, ilmu konstruksi, ilmu geodesi, (mungkin) juga ilmu klimatologi, dan masih banyak lagi — holistik lah.
Hal lain yaitu tentang jamu yang saya percayai sebagai tindak pencegahan, dibanding pengobatan. Apa jamu tidak bersifat mengobati? Ya, ada. Misal sakit perut, pernah saya obati dengan air rebusan kunyit, sembuh. Kalau diilmiahkan mungkin kunyit mengandung zat bla-bla-bla yang bisa memberi efek sembuh bagi perut yang sakit. Tapi pada tahap tertentu, sakit perut saya bisa sembuh karena obat yang bernama : Lanzoprasole.
***
Tak ada yang memberi kontra-komentar terhadap komentar saya di atas. Dr. dr Hisnindarsyah hanya memberi atensi dengan tanda ‘jantung merah’, dan Andung Achmad Kurniawan jurnalis senior Direktur koran Radar Mojokerto memberi ‘jempol’ (_like_).
Pada kesimpulan artikel tersebut Dr. dr. Hisnindarsyah menulis begini :
Antara tabib dan dokter bisa saling berkolaborasi. Namun para tabib atau praktisi kesehatan tradisional harus memiliki izin dan tidak boleh mengklaim bisa menyembuhkan penyakit serius yang membutuhkan intervensi medis. Masyarakat harus bijak dalam memilih jenis pengobatan yang tepat sesuai kondisi kesehatan mereka, dan sebaiknya berkonsultasi dengan tenaga medis berlisensi jika ada keraguan. #
_Amang Mawardi_ jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.