Ketika Kofi Annan, sang penjaga perdamaian, mengukir tanggal 6 November sebagai purnama bagi perlindungan lingkungan dalam cengkeraman perang, ia menanam benih kesadaran yang seharusnya bersemi di hati setiap insan. Namun, saat purnama itu berlalu minggu ini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: perang adalah api yang melalap bukan hanya kemanusiaan tapi juga rahim ibu pertiwi yang kita pijak.
Perang, layaknya raksasa rakus, menenggak minyak bumi tanpa ampun, mengepulkan asap karbon yang lebih pekat daripada hembusan nafas negara-negara kecil seperti Denmark atau Portugal. Seperti kata Rousseau, perang adalah permainan raja-raja yang menyengsarakan rakyat jelata. Tapi kali ini, bukan hanya manusia yang tersengsarakan, tapi juga seluruh mahakarya alam.
Ketika perang merenggut kehijauan hutan, mengubahnya menjadi padang pasir, bukankah kita telah melukai paru-paru dunia yang setiap hari kita minta untuk bernafas? Pohon-pohon yang roboh di medan perang tak ubahnya kerabat kita yang hilang, yang tiada lagi menyerap duka dunia dalam bentuk karbon dioksida.
Bagai penguasa yang tega, perang meracuni sumur-sumur kehidupan, mencemari sumber air yang merupakan darah kehidupan. Kita diberitakan oleh Watson Institute bahwa di zona perang seperti Irak dan Afghanistan, air telah menjadi minuman yang pahit, dicemari oleh minyak dan uranium yang terbuang sia-sia.
Dan jangan lupa, ketika perang menggunakan taktik kehausan sebagai senjata, ia tak ubahnya musuh yang merampas hak asasi setiap makhluk untuk meneguk asa. Kita sedang menuju masa di mana satu dari empat insan di muka bumi ini kehausan akan tetes air bersih, dan situasi ini hanya akan memburuk jika kita tidak mengubah cara kita berperang dan berinteraksi dengan alam.
Perang juga menciptakan pengungsi yang berbondong-bondong mencari perlindungan, meninggalkan jejak yang dalam bagi lingkungan yang sudah terluka. Kita, sebagai anak-anak bumi, perlu menyadari bahwa tiap tapak kaki pengungsi itu adalah beban bagi tanah yang sudah terkoyak.
Marilah kita mengamati melalui kaca mata anak bangsa, kita diajak oleh filsuf seperti Plato untuk merenung, bukankah negara adalah manifestasi jiwa kita? Jika jiwa kita dilanda perang, maka alam pun akan menangis.
Maka Saudaraku semu, mari kita genggam tangan satu sama lain, menanam kembali pohon perdamaian dan menghentikan gurita perang yang merangsek ke dalam sanubari bumi. Seperti Gandhi yang mengajarkan ahimsa, atau tidak melakukan kekerasan, kita harus meneguhkan kembali komitmen kita pada perdamaian dan pelestarian alam.
Kita harus memutar haluan dari perang yang membara menjadi simfoni yang menyejukkan, di mana setiap notnya adalah aksi nyata kita untuk melindungi lingkungan. Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan oleh Dr. Majid Rafizadeh, perang bukan hanya menghancurkan kemanusiaan, tapi juga menciptakan kerusakan lingkungan yang signifikan. Ini bukan hanya tanggung jawab para pemimpin dunia, tapi juga kita semua, sebagai penjaga bumi (Wallahumuwaffiq ila Aqwamitthariq).
Oleh. Hisnindarsjah