Kepompong Akreditasi Puskesmas dan Klinik di Indonesia: Menuju Metamorfosis Layanan Kesehatan Berkualitas

 

Di tengah arus globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan, layaknya Socrates yang pernah berkata, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa,” kita dihadapkan pada kompleksitas pengambilan keputusan dalam implementasi akreditasi sebagai tolok ukur mutu layanan kesehatan. Bagai mengurai benang kusut, langkah kebijakan dalam akreditasi puskesmas dan klinik hendaknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Maka, perlu kiranya kita menyulam kesabaran dalam setiap kebijakan yang diambil. Puskesmas dan klinik, sebagai unit penyelenggara kesehatan primer di Indonesia, merupakan permata yang harus dipahat dengan hati-hati agar dapat berkilau.

LAFKI, sebagai lembaga yang memegang pahat dalam akreditasi, harus menyandang peran sebagai pematung yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian standar mutu sesaat, melainkan juga berperan aktif dalam membangun kapasitas berkelanjutan. Pendekatan yang terfokus pada akreditasi seolah menjadi kanvas dimana para pelaku kesehatan menorehkan garis-garis perbaikan kualitas layanan.

Pertama, perlu digarisbawahi bahwa akreditasi tidak semata-mata adalah pengejaran terhadap sebuah predikat, namun lebih pada komitmen untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan yang berpusat pada masyarakat, sejalan dengan cita-cita Universal Health Coverage (UHC). Seperti Plato yang membedakan antara objek yang tampak oleh mata dengan ide yang ada dalam pikiran, begitu pula akreditasi seharusnya memandang lebih jauh dari sekadar penampilan fisik fasilitas kesehatan, melainkan ide besar tentang pelayanan kesehatan yang inklusif dan merata.

Kedua, akreditasi merupakan sebuah perjalanan yang panjang dan mahal, menuntut pembiayaan yang bijak dan evaluasi mendalam tentang manfaat yang akan diperoleh. Tidak berbeda dengan teori ekonomi Keynes yang menekankan pada pentingnya investasi, demikian pula investasi dalam kualitas kesehatan harus diukur dengan seksama.

Ketiga, seperti konsep sistem dalam ilmu biologi, akreditasi harus terintegrasi dengan ekosistem kesehatan yang lebih luas. Hal ini dapat dimulai dari peningkatan fungsi esensial seperti sanitasi, hingga pada akhirnya ke program akreditasi yang lebih komprehensif. Integrasi ini hendaknya mengalir secara alamiah, sebagaimana darah yang beredar dalam tubuh, mencapai setiap bagian yang membutuhkan oksigen dan nutrisi.

Keempat, akreditasi hendaknya dilihat sebagai bagian dari proses berkelanjutan dalam peningkatan kualitas pelayanan, bukan sekadar penghargaan yang diperebutkan. Ini merupakan konsep kaizen dari Jepang yang mengusung peningkatan berkelanjutan.

Kelima, melibatkan para pekerja kesehatan dan publik dalam proses akreditasi merupakan kunci. Mereka adalah nyawa dari sistem kesehatan yang harus didengar suaranya. Sebagaimana Dewan Kota Athena yang selalu melibatkan warganya dalam setiap keputusan, demikian pula dalam akreditasi, suara dari garis depan harus menjadi pertimbangan utama.

Keenam, kualitas program akreditasi itu sendiri harus dijaga. Proses dan struktur akreditasi harus independen dan bermutu tinggi, seperti Aristoteles yang menekankan pada pentingnya ‘golden mean’ atau keseimbangan dalam setiap hal, akreditasi pun harus menemukan titik tengah antara adaptasi lokal dan standarisasi global.

Ketujuh, proses akreditasi harus bersifat mendukung, bukan menghukum. Dalam hal ini, fasilitas kesehatan yang belum memenuhi standar harus diberi dukungan optimal untuk mencapai perbaikan yang berkelanjutan.

Kedelapan, akreditasi tradisional harus dikaji ulang untuk lebih memusatkan perhatian pada perawatan kesehatan primer yang berpusat pada orang, keterlibatan komunitas, dan kesiapan dalam menghadapi darurat kesehatan.

Kesembilan, penelitian global mengenai evaluasi eksternal atau akreditasi masih belum lengkap, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Perlunya penelitian lebih lanjut menjadi nyata, sebagaimana para filsuf yang selalu mendamba pengetahuan lebih dalam.

Kesepuluh dan terakhir, belajar sistematis dari pengalaman negara-negara lain dalam desain, redesain, dan implementasi program akreditasi sangat penting. Ilmu yang diperoleh harus dibagikan agar menjadi milik bersama dalam upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan global.

Dengan menjadikan akreditasi sebagai sang kepompong, diharapkan layanan kesehatan Indonesia dapat bermetamorfosis menjadi layanan yang lebih berkualitas, menjangkau lebih luas, dan memberi manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat. LAFKI, bersama dengan pemangku kebijakan dan komunitas kesehatan, harus bersinergi merajut masa depan layanan kesehatan yang lebih cerah, dengan akreditasi sebagai salah satu benang emas dalam tenunan kesehatan nasional kita. Bersama LAFKI, Akreditasi dengan SUKA CITA. (Ahyar Wahyudi-Kakorwil LAFKI Kalsel).

Related posts