Berlayar di Lautan Mutu Kesehatan: Akreditasi sebagai Kompas Penuntun Pelayanan Prima

 

 

Pepatah “To Err is Human” menggema sebagai pengingat akan kealpaan manusia, namun di dalamnya tersembunyi ajakan untuk terus-menerus berbenah. Betapa dalamnya pemikiran ini serupa dengan ajaran Aristoteles tentang ‘telos’, yang merujuk pada keharusan untuk selalu mengejar tujuan akhir yang mulia, dalam konteks ini adalah supremasi mutu pelayanan kesehatan.

Laksana benih yang tersembunyi di dalam tanah yang subur, akreditasi rumah sakit telah ditaburkan oleh American College of Surgeons satu abad silam. Pertumbuhannya yang pesat dan meluas serupa dengan pohon yang tak henti merentangkan dahan dan akarnya ke seluruh pelosok dunia, menjadi bukti tak terbantahkan akan pentingnya akreditasi dalam ekosistem kesehatan. Seakan tak kenal lelah, dua dekade terakhir ini dipenuhi dengan upaya pengadopsian dan adaptasi sistem akreditasi oleh berbagai negara.

Akreditasi adalah refleksi dari evaluasi eksternal yang mendalam, suatu proses penilaian oleh para sejawat yang memastikan sebuah organisasi kesehatan berjalan sesuai standar kinerja yang telah ditetapkan. Tujuan luhurnya tak lain untuk mengerek kualitas layanan kesehatan ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, penilaian tentang keampuhannya masih terbungkus dalam selubung ketidakpastian, sebab bukti empiris yang mendukung masih bersifat sporadis dan sering kali bertentangan.

Bagai seorang filsuf yang menelaah dunia, kita dihadapkan pada perlunya menyaring informasi yang ada untuk membentuk pandangan yang matang tentang akreditasi. Di satu pihak, ada bukti yang menunjukkan dampak positifnya terhadap budaya organisasi, praktik klinis, hingga efisiensi layanan. Namun, sisi lain mengajukan pertanyaan tentang signifikansinya terhadap perubahan yang dapat diukur, hasil kesehatan pasien, hingga aspek ekonomis.

Dengan ketelitian seorang Plato yang mencari esensi di balik bayang-bayang, penelitian sistematis yang teliti telah dilaksanakan. Dari pencarian yang tak kenal lelah, terungkaplah bukti yang mengarah pada dampak positif dari akreditasi, terutama dalam meningkatkan budaya keselamatan, kinerja proses terkait, dan efisiensi. Akan tetapi, masih ada keraguan terhadap dampaknya pada angka kematian dan infeksi nosokomial, sehingga kesimpulan yang definitif masih menjadi tanda tanya.

Terbukti bahwa ada cukup bukti yang mendukung bahwa kepatuhan terhadap standar akreditasi membawa berkah dalam peningkatan performa di lingkungan rumah sakit. Meski belum ada kesimpulan pasti tentang kausalitasnya, pengenalan skema akreditasi telah terbukti mampu memicu peningkatan kinerja dan keselamatan pasien.

Menatap ke depan, kita membutuhkan sebuah strategi yang berkelanjutan dan inovatif dalam proses akreditasi, di mana Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI) menjadi pemain kunci. Ibarat seorang seniman yang melukis, LAFKI harus menciptakan sistem akreditasi yang tidak hanya beradaptasi dengan konteks lokal, namun juga tak kalah saing di kancah internasional.

Di tengah kompleksitas dan evolusi pelayanan kesehatan yang senantiasa berkembang, kita dituntut untuk tidak berhenti sekadar memenuhi standar yang ada. Akreditasi harus menjadi alat yang dinamis, yang terus berevolusi mengikuti zaman dan tantangannya. Akreditasi bukan sekadar tujuan, namun sebuah perjalanan yang tak berujung menuju peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Dan di sinilah LAFKI berdiri tegak, bagai mercusuar yang menerangi arah bagi kapal-kapal layanan kesehatan untuk bersandar di pelabuhan kesempurnaan. Bersama LAFKI, Akreditasi dengan Suka Cita.

 

Oleh: Hisnindarsyah- Surveyor LAFKI

Related posts