Berbagi Kasih Agape dan YBSI bersama Grand Dafam, Gading Murni, Cheers dan Hydromamma; Nostalgia plurarisme sosial

Surabaya, PW: Hari ini ada semacam nostalgia kecil. Di sebuah panti asuhan nasrani sederhana, yang letaknya pun di pinggiran Makam Kristen Kembang Kuning, tepatnya di Jalan Pakis Gunung 1/133B Surabaya.

Jika tidak survei dulu, mencapai panti asuhan ini tidak mudah, karena harus melalui jalan sempit dan kecil, jika memilih jalan di depan panti. Dan harus melalui akses Jalan Makam Kembang Kuning jika memilih jalan pintas, langsung masuk ke belakang panti.

Kami memilih jalan tercepat, walau agak ribet, melewati Makam Kembang Kuning, yang kebetulan sedang ada pemakaman. Sehingga memilih lahan parkir pun jadi tidak mudah. Bantuan pun tidak bisa dibawa langsung, harus jalan kaki 200 meter. Lumayan, sebagian bantuan yang terdiri 30 kilogram beras, susu, Milo, peralatan belajar, suplemen, dan vitamin. Ada yang dinaikkan gerobak dorong, ada pula yang diangkat.

Sedangkan aku memilih memikul beras. Hitung-hitung, latihan memanggul tanggung jawab di dunia dan di akhirat. Semoga bisa jadi penghapus dosa, atau setidaknya masih bisa memikul beras untuk bersedekah saja rasanya sudah bersyukur luar biasa. Karena itu berarti aku dan tim relawan YBSI masih sehat. Alhamdulillah.

Hari ini Yayasan Bangun Sehat Indonesiaku bersama para dermawan dari PT.Hotel Grand Dafam Surabaya, PT. Gading Murni, PT.Karniel Hydromamma dan PT Cheers serta dermawan lainnya.

Kasih Agape, nama panti asuhan itu. Didirikan tahun 2001 oleh pasangan pendeta dari Ambon, Pendeta Mariana Muskita dan Bapak Yulius Kunjarion. Dipilih nama Kasih Agape karena bermakna Kasih Tuhan Yesus Tanpa Pamrih, yang selalu jadi berkat dan diberkati. Penamaan semacam doa dan harap, siapapun yang ada di panti dan memberi perhatian pada panti, akan diberkati. Aku menyebutnya dengan kata berkah atau barokah.

Mengapa kukatakan sebagai nostalgia kecil?

Karena keberadaan panti asuhan ini, yang diinspirasi oleh keberadaan pengungsi dari kerusuhan Ambon. Pada masa itu para pengungsi membawa keluarganya, yang bisa diselamatkan, ke berbagai kota, salah satunya Surabaya. Aku juga pernah mengalami langsung kondisi kerusuhan di Ambon itu, dan bersahabat dengan pendeta Gomez dari Gereja Sahu. Sehingga aku serasa masuk ke putaran waktu, saat mendengar penuturan Lenny dan Jenny, pengurus panti saat ini.

Di rumah kecil dan sederhana itu, Pendeta Mariana menampung 15 orang anak yatim piatu, yang berdesak-desakan, di satu 2 kamar yang sangat sederhana. Anak yang ditampung usianya ada yang berusia 10 tahun, bahkan ada yang baru beberapa bulan saja. Mereka semua kehidupannya ditanggung oleh pendeta Mariana bersama umat kristen di Gereja Segala Bangsa Pantekosta.

Saat ini panti ini dikelola oleh Yenny Lidya, anak kedua, dan Lenny Marcelina, anak keempat Pendeta Mariana. “Awalnya panti ini untuk menampung korban kerusuhan Ambon, yang tidak tahu lagi siapa dan bagaimana keadaan orangtuannya di Ambon. Mereka ditampung, disekolahkan, diberi pedidikan rohani. Sampai SMA, lalu hidup mandiri,” begitu penjelesan Yenny sambil tersenyum penuh syukur.

“Saat ini sudah 40 anak yang keluar atau lulus dari panti ini. Kasih Agape tidak lagi melulu menerima korban kerusuhan Ambon. Namun saat ini lebih berkonsentrasi pada anak yang tidak diharapkan oleh orang tuanya. Seperti karena hasil hubungan seks diluar nikah, atau bahkan korban pelecehan seksual (incest). Ada pun anak yang diterima bukan hanya dari Ambon, tapi juga dari NTT dan Papua. Juga dari Surabaya dan Jawa Timur. Saat ini ada 68 anak yang dirawat di panti ini beserta sebelas pengurus,” demikian Penjelasan Lenny, adik Jenny. Baik Lenny maupun Jenny, keduanya adalah lulusan sekolah Theologia STT Muria, Surabaya.

Sambil mengendong bayi berusia 3 bulan, Ketua YBSI Virly Mavitasari bertanya tentang sekolah dan pendidikan anak anak itu.

“Mereka semua sekolah di swasta, tidak ada yang bersekolah di negeri. Karena sekolah negeri mensyaratkan adanya Kartu Kekuarga, sedangkan mereka tidak memiliki. Puji Tuhan masih ada sekolah swasta yang menerima. Namun akibatnya kendala di SPP menjadi lebih besar. Sehingga saat ini ada beberapa anak yang masih menunggak beberapa bulan,” Kata Lenny seperti dibenarkan Jenny.

“Tapi kami yakin, Tuhan Maha Pemberi Berkat, sehingga pasti ada jalan keluar. Seperti hari ini, kami tidak mengenal siapa bapak dan ibu ini. Pastinya kita berbeda keyakinan. Tapi Tuhan Yesus telah menggerakkan, hati Bapak dan ibu untuk berkunjung ke tempat kami. Sampai-sampai, saya pun belum mengenal Bapak Ibu ini siapa sesungguhnya. Dan banyak sekali sumbangan yang dibawa. Kami hanya bisa berdoa, bapak ibu dokter ini, senantiasa diberkati dalam setiap langkah kemanusiaannya, tanpa disekat suku, kelompok, ras , golongan dan agama. Tuhan berkati Bapak Ibu dokter sekeluarga. God Bless You, amin”

Di sinilah aku teringat pada Bapak Bangsa KH. Abdurrahman Wahid yang mengatakan, “Jika kita tidak disatukan dalam satu keyakinan, maka kita disatukan dalam satu kebangsaan. Jika kita berbeda keyakinan, dan bangsa, maka kita akan disatukan oleh kemanusian. Karena semangat persatuan inilah yang menjadi ruh sejati lahir dan adanya manusia dan kemanusiaan, yang membawa negara menjadi ‘Ba’datun thoyyibatun warrobun Ghofur’.”

Hakikatnya, semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan, seperti kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, tolong menolong dan sebagainya. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan agar merusak alam, merusak persaudaraan, mengembangkan konflik sosial dan sebagainya.

Dengan pluralisme sosial, maka seseorang akan mengakui keberadaan orang lain yang beragama lain, karena konsepsinya semua agama menjunjung tinggi kemanusiaan.

 

Salam Jumat Barokah dan Sabtu Kasih YBSI, 20. 03.2021

Terimakasih atas kemitraan yang baik untuk PT. Grand Dafam Signature Hotel, PT Gading Murni, PT. Karniel Hydromamma, PT Cheers.

Related posts