Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Di era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi platform utama bagi banyak orang untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan eksistensi mereka. Salah satu fenomena yang marak terjadi adalah flexing, yang merujuk pada tindakan memamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup di media sosial dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan pujian. Fenomena ini tidak hanya menarik perhatian berbagai kalangan, tetapi juga menimbulkan banyak perdebatan dari sisi sosial, psikologis, dan budaya.
Flexing dan Fungsi Sosial dalam Perspektif Fungsionalisme Struktural
Dalam teori fungsionalisme struktural, setiap elemen dalam masyarakat memiliki fungsi yang mendukung stabilitas dan kelangsungan sistem sosial. Flexing, dalam konteks ini, dapat dilihat sebagai cara individu untuk menunjukkan status sosial dan memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Teori ini menjelaskan bahwa setiap tindakan sosial, termasuk flexing, memiliki peran dalam mempertahankan keseimbangan dan keteraturan sosial. Dengan memamerkan kekayaan atau pencapaian di media sosial, individu berupaya mengukuhkan posisi mereka dalam hierarki sosial dan menunjukkan bahwa mereka “sekira kaya urang jua” atau agar seperti orang lain yang dianggap sukses.
Psikologi di Balik Flexing
Dari sudut pandang psikologis, flexing berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia akan pengakuan dan penerimaan. Teori hierarki kebutuhan Maslow menjelaskan bahwa setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan terpenuhi, manusia mencari rasa memiliki dan pengakuan. Media sosial menjadi platform ideal untuk memenuhi kebutuhan ini. Ketika seseorang memposting foto atau video yang menunjukkan kemewahan, mereka menerima umpan balik dalam bentuk likes, komentar, dan followers yang memperkuat rasa percaya diri dan harga diri mereka.
Hal ini menggambarkan bagaimana kebutuhan akan validasi eksternal dapat mendorong perilaku flexing.
Namun, ketergantungan pada pengakuan eksternal ini memiliki dampak negatif. Ketika pengakuan tersebut tidak sesuai harapan, individu dapat mengalami kecemasan dan depresi. Lebih lanjut, kebiasaan ini dapat menciptakan kecanduan media sosial, di mana individu merasa perlu terus-menerus memposting konten untuk mempertahankan citra diri yang telah dibangun. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi arena di mana individu berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa mereka sekira kaya urang jua, atau setidaknya agar tampak memiliki status dan kekayaan seperti orang lain.
Dampak Sosial Flexing
Flexing tidak hanya berdampak pada individu yang melakukannya, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Ketika kekayaan dan kemewahan menjadi tolok ukur utama dari kesuksesan, nilai-nilai lain seperti kejujuran, kerja keras, dan integritas bisa terpinggirkan. Masyarakat mulai menilai seseorang berdasarkan apa yang mereka miliki daripada siapa mereka sebenarnya. Hal ini memperlebar kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin, menciptakan tekanan bagi mereka yang kurang mampu untuk mengikuti gaya hidup mewah yang dipamerkan di media sosial, meskipun sebenarnya mereka tidak mampu. Akibatnya, perilaku konsumtif dan hutang yang tidak sehat menjadi semakin marak, dan fenomena sekira kaya urang jua semakin meresap dalam kehidupan sosial.
Fenomena Sosial Flexing
Fenomena flexing juga mencakup berbagai aspek gaya hidup yang dianggap kekinian. Misalnya, banyak orang yang berfoto di kafe sebagai bagian dari tren untuk selalu terlihat up-to-date dengan tempat-tempat terbaru yang mereka kunjungi. Fenomena ini juga dapat dilihat pada orang-orang yang jogging di tempat-tempat ramai meskipun sebelumnya mereka tidak pernah berolahraga. Hal serupa juga terjadi pada tren bersepeda; banyak orang yang tiba-tiba membeli sepeda dan berfoto dengan sepeda mereka meskipun sebenarnya mereka tidak menyukai bersepeda. Semua tindakan ini mencerminkan keinginan untuk terlihat sekira kaya urang jua dalam hal gaya hidup dan tren sosial.
Pendapat ahli mengungkapkan bahwa perilaku ini sering kali didorong oleh kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sosial tertentu. Psikolog sosial Dr. Elizabeth Lombardo menjelaskan bahwa banyak orang merasa tekanan sosial untuk mengikuti apa yang dianggap tren atau populer di media sosial. Ini bisa menciptakan rasa keterikatan dan validasi dari kelompok mereka, meskipun mereka sebenarnya tidak menikmati aktivitas tersebut. Henri S. Sasmita, seorang penulis di Kompasiana, menambahkan bahwa flexing tidak melulu soal memamerkan harta kekayaan. Mengagumi kesuksesan secara berlebihan juga termasuk dalam kategori flexing. Banyak orang merasa perlu melakukan flexing untuk diterima dalam pergaulan, terutama di kalangan remaja dan orang kaya baru yang mencari pengakuan dan perhatian dari orang lain.
Kasus dan Data Empiris
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Khayati dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa fenomena flexing telah menjadi bagian dari budaya konsumerisme yang berkembang pesat di kalangan masyarakat. Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa banyak orang yang melakukan flexing untuk menunjukkan status sosial dan mendapatkan pengakuan. Namun, perilaku ini sering kali tidak didasarkan pada kekayaan yang sebenarnya dimiliki, melainkan pada keinginan untuk menciptakan citra tertentu di mata orang lain.
Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat pada banyaknya konten kreator di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang menjadikan flexing sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka. Dengan memamerkan barang-barang mewah, mereka menarik perhatian dan mendapatkan pengikut yang kemudian dapat dimonetisasi melalui berbagai cara. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat mempengaruhi perilaku konsumerisme dan ekspektasi sosial.
Mengurangi Dampak Negatif Flexing
Dalam mengurangi dampak negatif dari flexing, penting bagi individu dan masyarakat untuk mengembangkan kesadaran dan kontrol diri dalam penggunaan media sosial. Beberapa langkah yang bisa diambil seperti mengajarkan masyarakat, terutama generasi muda, tentang cara menggunakan media sosial secara sehat dan bijaksana. Ini termasuk memahami dampak psikologis dari pencarian pengakuan eksternal dan pentingnya membangun harga diri yang tidak tergantung pada media sosial, masyarakat perlu memperkuat nilai-nilai seperti integritas, kerja keras, dan kebersamaan yang tidak bergantung pada materi. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan, kampanye sosial, dan contoh nyata dari para pemimpin dan tokoh masyarakat serta pemerintah dan penyedia platform media sosial bisa memainkan peran penting dalam mengurangi dampak negatif dari flexing. Ini bisa berupa regulasi yang mengatur konten yang boleh diposting, serta fitur-fitur yang membantu pengguna mengelola waktu dan aktivitas mereka di media sosial.
Realitas dan Ilusi di Balik Flexing
Flexing sering kali melibatkan manipulasi realitas. Banyak dari kekayaan atau kemewahan yang dipamerkan di media sosial sebenarnya bukan milik pribadi dari orang yang mempostingnya. Bisa saja milik dari orang tuanya, milik suaminya, atau saudaranya yang mempunyai jabatan di sebuah institusi pemerintahan, mungkin juga uang dari hasil kejahatan investasi bodong. Sebagian masyarakat lupa bahwa media sosial adalah realitas yang dipamerkan. Misalnya, mobil, rumah besar, dan barang berharga, bahkan kunjungan wisata keluar negeri yang dipamerkan oleh orang yang mempostingnya bisa jadi sebenarnya adalah milik rumah majikannya atau bahkan hasil dari manipulasi olah digital.
Media sosial memungkinkan siapa saja menjadi siapa saja, bahkan bisa menjadi pengguna yang berbeda dari sebenarnya bahkan bertolak belakang dengan kenyataan. Kita memiliki sesuatu untuk dipamerkan, manusia juga ingin digambarkan menarik dan ingin terlihat mampu, cerdas, serta populer. Media sosial adalah pembentuk realitas yang belum tentu kebenarannya, hal ini berdampak pada bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan hanya berdasarkan ukuran materi. Hal ini dapat menciptakan karakter individu yang hanya berorientasi pada materi.
Menghubungkan Flexing dengan Moralitas
Jika kita kaitkan flexing dengan moral, maka akan berhubungan dengan tindakan seseorang yang dalam hal sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang layak dikatakan benar atau salah, baik atau buruk. Terkait dengan masalah moral adalah pengetahuan bahwa ada yang baik dan ada yang buruk yang dengan pengetahuannya ia memilih untuk melakukan suatu perbuatan tanpa ada paksaan dari siapapun. Suatu perbuatan itu bisa dikategorikan baik atau buruk jika perbuatan dilakukan secara sadar atau karena punya kesadaran moral. Orang yang melakukan suatu perbuatan tanpa ada kesadaran, maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan baik atau buruk. Dengan kesadaran itu manusia diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang dilakukannya tentu mempunyai akibat-akibat tertentu.
Peran Media Sosial dan Warganet
Media sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi individu bahkan masyarakat luas dalam pengambilan keputusan, respons, kebiasaan, karakter, keterampilan, dan konsumsi perilaku. Hal ini disebabkan pergeseran makna dari fakta dari objek menjadi subyektif. Salah satu hal positif yang dapat kita ambil dari flexing adalah digunakan sebagai alat pemasaran. Tetapi di dunia maya ada peran warganet sebagai kontrol sosial bahkan agen sosial terhadap pengguna media sosial. Aksi warganet dapat memberikan tekanan perubahan ketika sesuatu tidak sesuai bahkan mengawal jika hukum berjalan terasa lambat maka suara dari warganet menjadi menyeruak dalam menyuarakan keadilan. Algoritma telah memberi kesempatan kepada warganet untuk membuat suaranya tetap terdengar. Tidak hanya media sosial, media mainstream juga dapat dipengaruhi oleh aksi warganet karena warganet bisa menjadi kekuatan dalam mempromosikan citra perusahaan maupun reputasi untuk menjadi lebih baik.
Kesimpulan
Fenomena flexing di media sosial mencerminkan perubahan besar dalam cara kita melihat dan menilai diri sendiri serta orang lain. Sementara flexing dapat memberikan pengakuan dan kepuasan jangka pendek, dampak jangka panjangnya bisa merugikan baik bagi individu maupun masyarakat. Dengan memahami akar penyebab dan dampaknya, serta mengambil langkah-langkah untuk mengurangi efek negatifnya, kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat dan seimbang.
Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa nilai diri kita tidak ditentukan oleh apa yang kita miliki, tetapi oleh siapa kita sebenarnya. Media sosial hanya salah satu cara untuk mengekspresikan diri, bukan satu-satunya cara. Dengan membangun kesadaran dan kontrol diri, kita bisa menggunakan media sosial secara lebih bijaksana dan bermakna.
Referensi
1. Agustianti, S., & Amir, R. (2020). Fenomena Social Climber Mahasiswa dalam Pandangan Hukum Islam; Studi Kasus Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab Dan Hukum.
2. Akbar, M. A. (2019). Buku Ajar Konsep-konsep Dasar dalam Keperawatan Komunitas. Deepublish.
3. Avianto, B. N. (2022). Filsafat Administrasi. Bumi Aksara.
4. Darmalaksana, W. (2022). Studi Flexing dalam Pandangan Hadis dengan Metode Tematik dan Analisis Etika Media Sosial. Gunung Djati Conference Series, 8, 412–427.
5. Lombardo, E. (2022). The Psychology of Flexing: Understanding the Need for Social Validation.
6. Mahyuddin, M. (2019). Social Climber Dan Budaya Pamer: Paradoks Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 2(2).
7. Musman, A. (2020). The Power of IKIGAI: Dan Rahasia Hidup Bahagia ala Orang-orang di Dunia. Anak Hebat Indonesia.
8. Nur Khayati, D. A., Sudiana, V. N., Setiawan, A., & Pramono, D. (2022). Fenomena Flexing di Media Sosial sebagai Ajang Pengakuan Kelas Sosial dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural. Jurnal Sosialisasi, 9(2), 113-121.
9. Rahadi, D. R. (2017). Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, 5(1), 58–70.
10. Rahardjo, S. (2009). Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik. Penerbit Buku Kompas.
11. Raho, B. (2016). Sosiologi. Penerbit Ledalero.
12. Sasmita, H. S. (2023). Media Sosial Menjadi Wadah Flexing. Kompasiana.
13. Subagya, R. (2010). Gaya Hidup Membeli sebagai Tema dalam Penciptaan Karya Lukis.
14. Umanailo, M. C. B. (2017). Sosiologi Hukum.