Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns, M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Dalam dinamika politik Indonesia yang semakin rumit dan penuh dengan kepentingan, peran ulama dalam ranah politik telah menjadi bahan diskusi yang tak pernah surut. Ulama, dengan segala kebijaksanaan dan integritasnya, diharapkan menjadi penuntun moral yang mampu membawa umat ke jalan yang benar. Namun, ketika ulama melangkah ke dunia politik, mereka sering kali terjebak dalam jebakan manipulasi dan kecurangan.
Ulama sebagai Penjaga Moralitas
Ulama telah lama dianggap sebagai penjaga moralitas dalam masyarakat, simbol kebijaksanaan yang kata-katanya menjadi panutan bagi banyak orang. Dari sudut pandang filosofis, ulama mengemban tugas mulia sebagai penjaga nilai-nilai etika dan keadilan. Plato, dalam “Republik”-nya, menggambarkan pentingnya pemimpin yang bijaksana dan beretika untuk memimpin masyarakat. Dalam hal ini, ulama adalah manifestasi dari konsep pemimpin ideal tersebut. Namun, pertanyaannya adalah, apakah peran ini dapat dipertahankan ketika mereka terjun ke dalam dunia politik yang penuh dengan intrik dan manipulasi?
Realitas Politik: Bertentangan dengan Nilai-Nilai Etika
Politik, dengan segala kepentingan dan ambisinya, sering kali merupakan arena yang kotor dan penuh tipu daya. Max Weber, dalam teori birokrasi dan kekuasaannya, menyatakan bahwa politik adalah seni distribusi kekuasaan. Untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, seseorang sering kali harus terlibat dalam taktik-taktik yang tidak selalu sejalan dengan moralitas. Ulama yang memasuki dunia politik dapat dengan mudah terjebak dalam konflik kepentingan ini, di mana mereka harus memilih antara mempertahankan nilai-nilai moral atau mengikuti permainan politik.
Risiko Ulama dalam Politik
Dari perspektif ilmu administrasi, keterlibatan ulama dalam politik membawa sejumlah risiko signifikan. Pertama, ulama yang terlibat dalam politik dapat kehilangan independensinya. Sebagai figur moral, ulama diharapkan untuk bersikap netral dan adil. Namun, ketika mereka masuk ke dalam politik, mereka dapat menjadi alat bagi kepentingan politik tertentu. Hal ini dapat merusak reputasi mereka dan menyebabkan krisis kepercayaan di kalangan umat.
Kedua, politik adalah ranah yang sarat dengan konflik kepentingan. Menurut teori administrasi publik, setiap organisasi atau individu yang terlibat dalam politik harus mampu mengelola konflik kepentingan dengan baik. Bagi ulama, ini bisa menjadi tantangan besar karena mereka harus menjaga keseimbangan antara kepentingan politik dan kewajiban moral mereka.
Fakta empiris menunjukkan bahwa ulama yang terlibat dalam politik sering kali terpaksa melakukan kompromi yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip etika yang mereka junjung. Sebagai contoh, dalam sejarah politik Indonesia, kita telah melihat beberapa ulama yang terlibat dalam politik menghadapi dilema moral yang sulit, di mana mereka harus memilih antara kepentingan politik dan nilai-nilai etika.
Integritas dan Kepercayaan Publik
Integritas adalah salah satu aset terpenting yang dimiliki oleh ulama. Dalam ilmu administrasi, integritas dianggap sebagai fondasi dari kepemimpinan yang efektif. Ketika ulama terlibat dalam politik, ada risiko besar bahwa integritas mereka akan terkompromi. Jika ulama kehilangan integritas mereka, dampaknya bukan hanya pada diri mereka sendiri tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap mereka. Kepercayaan adalah modal sosial yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin dan masyarakat. Ketika kepercayaan ini hilang, sulit untuk memulihkannya.
Sebagai contoh, kasus di beberapa negara di Timur Tengah menunjukkan bagaimana ulama yang terlibat dalam politik sering kali kehilangan kepercayaan umat karena dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan dan mengabaikan kepentingan rakyat. Ini adalah bukti empiris bahwa keterlibatan ulama dalam politik dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap integritas mereka.
Ulama dan Kewajiban Moral
Filosofi etika, seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, menekankan pentingnya bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang universal. Bagi ulama, prinsip-prinsip ini mencakup kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Namun, politik sering kali memaksa individu untuk membuat kompromi yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip moral ini. Oleh karena itu, ulama yang terlibat dalam politik mungkin menemukan diri mereka dalam situasi di mana mereka harus mengorbankan nilai-nilai moral mereka demi kepentingan politik.
Teori moral utilitarianisme, seperti yang dikemukakan oleh John Stuart Mill, menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar. Namun, dalam politik, keputusan yang diambil sering kali didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek daripada kesejahteraan jangka panjang masyarakat. Ulama yang terlibat dalam politik mungkin merasa tertekan untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral mereka demi kepentingan politik.
Tantangan dalam Implementasi Kebijakan
Dalam ilmu administrasi publik, salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Ulama yang terlibat dalam politik harus mampu merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang tidak hanya efektif tetapi juga adil dan beretika. Ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang proses administrasi dan kemampuan untuk mengelola sumber daya dengan efisien. Namun, ulama yang mungkin tidak memiliki latar belakang dalam administrasi publik bisa menghadapi kesulitan dalam memenuhi tuntutan ini.
Sebagai contoh, ulama yang terlibat dalam politik di beberapa negara sering kali menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan kebijakan yang efektif dan adil. Mereka harus berhadapan dengan birokrasi yang kompleks, kepentingan politik yang beragam, dan tekanan dari berbagai kelompok kepentingan. Ini menunjukkan betapa sulitnya bagi ulama untuk tetap memegang prinsip-prinsip moral mereka sambil menghadapi realitas politik yang rumit.
Kepemimpinan yang Efektif
Teori kontingensi dalam kepemimpinan menyatakan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi. Kepemimpinan yang efektif tergantung pada berbagai faktor, termasuk lingkungan dan kebutuhan organisasi. Bagi ulama, ini berarti bahwa mereka harus mampu menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka sesuai dengan kebutuhan politik. Namun, kemampuan untuk menyesuaikan diri ini bisa menjadi tantangan, terutama jika mereka harus mengorbankan prinsip-prinsip moral mereka.
Sebagai contoh, ulama yang terlibat dalam politik di Indonesia sering kali harus menghadapi tekanan dari berbagai kelompok kepentingan yang berbeda. Mereka harus menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka sesuai dengan kebutuhan politik yang beragam, sambil tetap menjaga integritas dan prinsip-prinsip moral mereka. Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan kebijaksanaan dan kecerdasan yang luar biasa.
Dampak Sosial
Keterlibatan ulama dalam politik juga dapat memiliki dampak sosial yang signifikan. Dari sudut pandang administrasi publik, perubahan dalam kepemimpinan politik dapat mempengaruhi kebijakan publik dan layanan masyarakat. Ulama yang terlibat dalam politik mungkin memiliki niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi mereka harus menghadapi kenyataan bahwa politik adalah permainan kekuasaan. Ini dapat menghambat upaya mereka untuk membuat perubahan positif.
Fakta empiris menunjukkan bahwa ulama yang terlibat dalam politik sering kali menghadapi kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan yang adil dan efektif. Mereka harus berhadapan dengan birokrasi yang kompleks, kepentingan politik yang beragam, dan tekanan dari berbagai kelompok kepentingan. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan ulama dalam politik dapat membawa dampak sosial yang signifikan dan sering kali tidak sesuai dengan harapan mereka.
Pelajaran dari Sejarah
Sejarah telah menunjukkan bahwa keterlibatan ulama dalam politik sering kali menimbulkan kontroversi. Dari sudut pandang filosofis, pelajaran ini menekankan pentingnya menjaga pemisahan antara moralitas dan politik. Aristoteles, dalam karyanya “Politika,” menekankan bahwa pemimpin harus memiliki kebijaksanaan praktis yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang tepat dalam situasi yang kompleks. Ulama yang terlibat dalam politik harus memiliki kemampuan ini untuk menavigasi tantangan politik tanpa mengorbankan nilai-nilai moral mereka.
Sebagai contoh, sejarah politik di beberapa negara menunjukkan bahwa ulama yang terlibat dalam politik sering kali menghadapi dilema moral yang sulit. Mereka harus memilih antara mempertahankan prinsip-prinsip moral mereka atau mengikuti permainan politik. Ini adalah bukti empiris bahwa keterlibatan ulama dalam politik sering kali menimbulkan kontroversi dan tantangan yang besar.
Keberatan Quraish Shihab: Sebuah Refleksi Moral
Quraish Shihab, seorang akademisi dan mufasir terkemuka, menolak untuk dipanggil habib meskipun ia memiliki semua syarat untuk menyandang gelar tersebut. Quraish menolak gelar habib bukan karena kurangnya kualifikasi, tetapi karena ia merasa belum pantas menjadi teladan moral yang seharusnya dimiliki oleh seorang habib. Dalam pandangannya, gelar habib telah berkembang menjadi simbol yang sangat mulia di Indonesia, dan ia merasa tanggung jawab moral yang menyertainya terlalu berat.
“Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu saya tidak, belum ingin dipanggil Habib,” ujar Quraish halus. Pernyataan ini mencerminkan kesadaran mendalam akan tanggung jawab moral yang menyertai gelar habib. Dalam masyarakat yang sering kali terlalu cepat memberikan gelar tanpa mempertimbangkan akhlak dan perilaku, sikap Quraish menjadi pengingat akan pentingnya integritas dan moralitas.
Kesimpulan: Menjaga Kemurnian Ulama
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh intrik, penting bagi kita untuk menjaga kemurnian ulama dari politik yang manipulatif. Ulama seharusnya tetap berada di luar arena politik yang penuh dengan godaan dan manipulasi. Dengan begitu, mereka bisa terus menjadi suara moral yang bebas dari kepentingan duniawi, memberikan panduan yang jernih dan murni kepada umat.
Sebagai penutup, biarlah kita mengingat kata-kata seorang filsuf sufi dari Timur Tengah, Al-Ghazali, yang mengatakan, “Ketika hati seorang pemimpin tercemar oleh kekuasaan, maka seluruh kepemimpinannya akan terkontaminasi. Biarlah ulama tetap seperti air yang mengalir dari mata air yang murni, membawa kesegaran dan kehidupan bagi setiap jiwa yang haus akan kebenaran.” Mari kita jaga ulama kita agar tetap menjadi cahaya moral yang membimbing kita menuju jalan yang benar, di tengah gelapnya dunia politik yang penuh dengan intrik dan godaan. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.