Oleh: Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Pendahuluan
Perubahan iklim dan dinamika cuaca, seperti fenomena La Nina, merupakan tantangan besar yang tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada administrasi dan tata kelola wilayah. Indonesia, dengan letak geografis strategis di antara dua benua dan dua samudra, memerlukan pendekatan administrasi yang adaptif dan berkelanjutan untuk menghadapi dinamika ini.
Fenomena La Nina dan Implikasinya
La Nina adalah bagian dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO), yang merupakan anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik. Dalam fase La Nina, suhu permukaan laut di bagian timur Pasifik menjadi lebih dingin akibat penguatan angin pasat, yang berdampak pada peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia (BMKG, 2024). Intensitas curah hujan yang meningkat selama La Nina dapat menyebabkan banjir besar di berbagai wilayah, termasuk Kalimantan Selatan, dan berdampak signifikan pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Pendekatan Administrasi dalam Menghadapi La Nina
Dalam ilmu administrasi, pengelolaan bencana dan perubahan iklim memerlukan perencanaan strategis, koordinasi lintas sektor, dan kebijakan yang adaptif. Mintzberg (1979) mengemukakan pentingnya struktur organisasi yang fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian. Pemerintah daerah perlu mengadopsi model ini dengan membentuk tim tanggap bencana yang terdiri dari berbagai stakeholder, termasuk lembaga pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Menurut rekan saya, DR. Listyo Yuwanto, “Pendekatan administrasi yang efektif harus melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat lokal. Mereka adalah yang paling tahu kondisi dan kebutuhan spesifik daerah mereka. Oleh karena itu, strategi bottom-up dalam penyusunan kebijakan sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal.” Pendapat ini menekankan pentingnya inklusivitas dan pemberdayaan masyarakat dalam proses administrasi bencana.
Pendekatan bottom-up, yang melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, dapat meningkatkan efektivitas kebijakan adaptasi iklim. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga menjadi subjek yang aktif berkontribusi dalam upaya mitigasi bencana. Model partisipatif ini sejalan dengan teori administrasi publik baru (New Public Management), yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam tata kelola pemerintahan (Osborne & Gaebler, 1992).
Strategi Adaptasi dan Ketahanan
Adaptasi terhadap perubahan iklim memerlukan kebijakan yang berfokus pada mitigasi risiko dan pembangunan berkelanjutan. Menurut teori sistem terbuka Katz dan Kahn (1978), organisasi harus mampu beradaptasi dengan lingkungan eksternal yang berubah. Administrasi wilayah harus mengembangkan infrastruktur yang tahan bencana dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem.
DR. Listyo Yuwanto juga menambahkan, “Implementasi teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaan bencana dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas respons. Sistem peringatan dini yang terintegrasi dengan media sosial, misalnya, dapat memberikan informasi yang cepat dan akurat kepada masyarakat.” Pendapat ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat berperan penting dalam upaya mitigasi bencana.
Teknologi informasi dan komunikasi (ICT) memainkan peran penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana. Misalnya, sistem peringatan dini berbasis ICT dapat membantu menginformasikan masyarakat tentang potensi bencana dengan cepat, sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan. Selain itu, penggunaan drone dan satelit untuk pemantauan wilayah yang rentan terhadap banjir dapat memberikan data real-time yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan.
Implementasi Kebijakan di Kalimantan Selatan
Kalimantan Selatan adalah salah satu daerah yang rentan terhadap dampak La Nina. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah daerah perlu mengintegrasikan kebijakan adaptasi iklim ke dalam rencana pembangunan jangka panjang. Hal ini meliputi peningkatan sistem drainase, rehabilitasi hutan mangrove untuk mengurangi risiko banjir, dan pendidikan masyarakat tentang pentingnya ketahanan iklim (Dwikorita, 2024).
Menurut DR. Listyo Yuwanto, “Rehabilitasi hutan mangrove bukan hanya langkah untuk mitigasi bencana, tetapi juga untuk menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir. Pendekatan ini harus dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi lokal.”
Rehabilitasi hutan mangrove dapat berfungsi sebagai solusi multifungsi yang tidak hanya mencegah banjir dan erosi, tetapi juga mendukung ekosistem laut yang berkelanjutan. Mangrove merupakan habitat penting bagi berbagai spesies ikan dan satwa laut lainnya, yang pada gilirannya mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir. Selain itu, mangrove berfungsi sebagai penyerap karbon alami, membantu mengurangi emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab utama perubahan iklim.
Tantangan dan Peluang dalam Implementasi
Implementasi kebijakan adaptasi iklim di Kalimantan Selatan menghadapi beberapa tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya, resistensi terhadap perubahan, dan kurangnya koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat. Namun, tantangan ini juga membuka peluang untuk inovasi dan kolaborasi.
Menurut teori perubahan kelembagaan, perubahan yang sukses dalam suatu organisasi atau wilayah sering kali memerlukan perubahan budaya dan pola pikir (Scott, 2001). Ini berarti bahwa selain mengembangkan infrastruktur fisik, penting juga untuk membangun kapasitas institusional dan meningkatkan kesadaran serta komitmen terhadap adaptasi iklim di semua level pemerintahan dan masyarakat.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat penting dalam menghadapi tantangan ini. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan lembaga penelitian dan universitas untuk mengembangkan solusi berbasis ilmu pengetahuan, sementara sektor swasta dapat memberikan dukungan finansial dan teknologi. Partisipasi masyarakat sipil, termasuk organisasi non-pemerintah (NGO) dan komunitas lokal, juga penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan program yang diimplementasikan benar-benar menjawab kebutuhan dan kondisi lokal.
Pembelajaran dari Pengalaman Internasional
Negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dapat memberikan pelajaran berharga bagi Kalimantan Selatan. Misalnya, Belanda, yang terkenal dengan sistem pengelolaan airnya, telah mengembangkan berbagai inovasi untuk melindungi wilayahnya dari banjir. Salah satu inovasi mereka adalah pembangunan tanggul yang dapat bergerak (movable dikes), yang dapat disesuaikan dengan kondisi cuaca dan ketinggian air.
Selain itu, Jepang telah mengimplementasikan sistem manajemen bencana yang sangat terintegrasi, termasuk pembangunan infrastruktur tahan gempa dan tsunami, serta program pendidikan masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana. Program ini mencakup latihan simulasi bencana yang rutin dilakukan di sekolah-sekolah dan komunitas, sehingga masyarakat siap dan tahu apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi.
Implikasi bagi Kalimantan Selatan
Bagi Kalimantan Selatan, penerapan kebijakan adaptif dan pembangunan berkelanjutan merupakan langkah penting dalam menghadapi fenomena La Nina. Dengan mengedepankan prinsip administrasi yang adaptif, serta membangun kerjasama lintas sektor, wilayah ini dapat meningkatkan ketahanan terhadap bencana alam dan perubahan iklim. Membangun ketahanan tidak hanya berarti mengatasi tantangan saat ini, tetapi juga mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi dinamika alam yang terus berubah.
DR. Listyo Yuwanto berpendapat bahwa, “Kunci sukses dalam menghadapi perubahan iklim terletak pada kemampuan kita untuk beradaptasi dan bekerja sama. Kalimantan Selatan harus memanfaatkan sumber daya yang ada, baik manusia maupun alam, untuk membangun ketahanan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, kita bisa menghadapi tantangan ini dengan lebih baik.”
Penutup
Mengakhiri pembahasan ini, kita bisa merujuk pada filosofi Timur Tengah yang mengatakan, “Kehidupan adalah perjalanan melintasi padang pasir. Kadang kita terjebak dalam badai pasir, tetapi dengan ketekunan dan kebijaksanaan, kita akan menemukan oase di tengah keterpurukan.” Metafora ini mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi perubahan dan tantangan, ketahanan dan adaptasi adalah kunci untuk mencapai keberhasilan dan kesejahteraan.
Kalimantan Selatan dapat dilihat sebagai seorang pelintas padang pasir yang gigih. Dengan mengadopsi kebijakan yang adaptif dan membangun kerjasama lintas sektor, daerah ini dapat menemukan “oase” ketahanan yang berkelanjutan. Seperti dalam filosofi tersebut, perjalanan ini mungkin penuh tantangan, tetapi dengan ketekunan, kebijaksanaan, dan kerjasama, Kalimantan Selatan dapat mencapai keberhasilan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Referensi
1. BMKG. (2024). Analisis Dinamika Atmosfer Dasarian I Juli 2024. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
2. Dwikorita, K. (2024). Konferensi Pers mengenai Fenomena Cuaca Ekstrem di Indonesia. BMKG.
3. Katz, D., & Kahn, R. L. (1978). The Social Psychology of Organizations. Wiley.
4. Mintzberg, H. (1979). The Structuring of Organizations. Prentice-Hall.
5. Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Addison-Wesley.
6. Scott, W. R. (2001). Institutions and Organizations. Sage Publications.