Integritas yang Tergadai: Di Balik Tirai Tata Kelola Organisasi

 

Oleh: Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA

Dalam banyak organisasi, baik pemerintah maupun swasta, integritas sering kali menjadi kata yang indah diucapkan namun sulit diwujudkan dalam tindakan nyata. Ironisnya, mereka yang bekerja dengan integritas justru kerap dianggap tidak produktif atau bahkan tidak kompeten. Sebaliknya, mereka yang mampu “menyetor” sesuatu kepada atasan melalui berbagai cara yang tidak etis dianggap sebagai pekerja yang efektif dan sukses. Fenomena ini menggambarkan realitas pahit yang menodai prinsip-prinsip dasar etika dan profesionalisme dalam dunia kerja.

Di balik tirai tata kelola, berbagai modus operandi manipulatif sering kali menjadi praktik sehari-hari. Laporan manipulasi jumlah hari rapat yang sebenarnya dikurangi dari yang seharusnya adalah salah satu contoh umum. Kualitas rapat sering kali dipertanyakan—apakah diskusi yang terjadi benar-benar produktif atau hanya sekadar formalitas untuk memenuhi jadwal yang telah ditetapkan. Situasi ini menggambarkan fenomena yang digambarkan oleh teori agensi, di mana agen (manajer) yang seharusnya bertindak untuk kepentingan pemilik (prinsipal) justru lebih mementingkan kepentingan pribadi (Jensen & Meckling, 1976).

Perjalanan dinas pun tidak luput dari praktik manipulatif. Banyak laporan tentang perjalanan dinas fiktif yang dilaporkan dengan jumlah hari yang dilebih-lebihkan, atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Konsumsi rapat yang dilaporkan tidak sesuai antara kualitas dan harga juga menjadi hal yang biasa. Penyedia barang dan jasa sering kali menawarkan iming-iming untuk mendapatkan kontrak, yang kemudian diterima oleh pegawai yang tidak berintegritas. Semua ini dilakukan dengan harapan mendapat keuntungan pribadi atau memperlihatkan kinerja palsu yang seolah-olah hebat.

Lebih parah lagi, terdapat pegawai yang menyusun anggaran dengan tujuan agar alokasi anggaran tersebut dapat dikelola sendiri. Mereka merancang anggaran dengan berbagai trik agar dapat menciptakan celah untuk keuntungan pribadi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana teori moral hazard beroperasi dalam praktik, di mana individu yang memiliki informasi lebih baik dari pihak lain (pemerintah atau publik) menyalahgunakan informasi tersebut untuk keuntungan pribadi (Arrow, 1963).

Integritas seharusnya menjadi nilai utama dalam setiap organisasi. Integritas adalah landasan dari kepercayaan, dan tanpa kepercayaan, organisasi tidak bisa berjalan dengan baik. Ketika integritas diabaikan, seluruh sistem menjadi korup dan tidak efisien. Ini tidak hanya berdampak negatif pada produktivitas tetapi juga menghancurkan moral kerja.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita tanyakan adalah: apa sebenarnya yang dikejar dari semua tindakan tidak berintegritas ini? Apakah keuntungan jangka pendek dan pujian palsu lebih berharga daripada reputasi jangka panjang dan rasa hormat yang didapat dari bekerja dengan jujur? Tindakan-tindakan tidak berintegritas ini mungkin memberikan keuntungan sesaat, tetapi mereka merusak fondasi kepercayaan dan moralitas dalam jangka panjang.

Teori Social Learning dari Bandura (1977) memberikan pandangan yang relevan dalam konteks ini. Menurut Bandura, individu belajar dan meniru perilaku dari orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang dianggap sebagai model atau pemimpin. Ketika pemimpin dalam organisasi menunjukkan perilaku tidak etis, bawahan cenderung mengikuti jejak yang sama, menciptakan lingkaran setan korupsi dan manipulasi. Oleh karena itu, pemimpin harus menjadi teladan dalam hal integritas, menunjukkan melalui tindakan nyata bahwa etika adalah prioritas utama.

Selain itu, pendekatan teori agensi dan moral hazard juga memberikan kerangka kerja untuk memahami dinamika ini. Teori agensi menyoroti bagaimana konflik kepentingan antara manajer (agen) dan pemilik (prinsipal) dapat menyebabkan perilaku oportunistik, sementara teori moral hazard menjelaskan bagaimana individu cenderung mengambil risiko yang lebih besar ketika mereka tidak sepenuhnya menanggung konsekuensinya (Jensen & Meckling, 1976; Arrow, 1963). Dalam organisasi, kedua teori ini membantu menjelaskan mengapa perilaku tidak etis terjadi dan bagaimana struktur insentif yang salah dapat memperburuk situasi.

Kita perlu memahami bahwa integritas bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Bekerja dengan integritas berarti bekerja dengan kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Ini berarti menolak segala bentuk manipulasi dan penyalahgunaan wewenang. Ini juga berarti siap menghadapi konsekuensi dari bekerja dengan benar, bahkan jika itu berarti tidak mendapatkan pujian atau penghargaan yang tidak layak.

Membangun budaya integritas dalam organisasi memerlukan upaya bersama dari seluruh anggota organisasi, terutama dari para pemimpin. Pemimpin harus menjadi teladan dalam menunjukkan integritas. Mereka harus berani menegakkan aturan dan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar. Mereka juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung integritas, di mana setiap orang merasa aman untuk melaporkan pelanggaran tanpa takut akan pembalasan.

Selain itu, perlu ada sistem pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil sesuai dengan nilai-nilai etika dan integritas. Sistem pengawasan ini harus independen dan transparan, sehingga setiap pelanggaran dapat diidentifikasi dan ditangani dengan cepat dan adil. Teknologi informasi bisa digunakan untuk mendukung integritas, seperti sistem pelaporan online yang memudahkan pegawai untuk melaporkan pelanggaran tanpa harus khawatir akan identitasnya terungkap.

Pada akhirnya, integritas adalah tentang pilihan. Setiap individu dalam organisasi harus memilih untuk bekerja dengan jujur dan transparan. Mereka harus memilih untuk menolak segala bentuk manipulasi dan penyalahgunaan wewenang. Mereka harus memilih untuk mempertahankan nilai-nilai etika, meskipun itu berarti menghadapi konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Kita semua perlu bertanya kepada diri sendiri: apa yang sebenarnya kita kejar dalam pekerjaan kita? Apakah kita mengejar keuntungan pribadi dan pujian palsu, atau kita mengejar reputasi yang baik dan rasa hormat dari orang lain? Apakah kita ingin dikenal sebagai seseorang yang bekerja dengan integritas, atau sebagai seseorang yang selalu mencari celah untuk keuntungan pribadi?

Integritas adalah tentang lebih dari sekedar bekerja dengan jujur. Ini tentang membangun kepercayaan, menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dan memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi merasa dihargai dan dihormati. Ini tentang menciptakan budaya di mana setiap orang merasa aman untuk melaporkan pelanggaran dan tahu bahwa mereka akan didengar dan diambil tindakan yang sesuai.

Kita semua memiliki peran dalam membangun budaya integritas ini. Kita semua bisa menjadi teladan dalam menunjukkan integritas. Kita semua bisa bekerja dengan jujur dan transparan, dan kita semua bisa membantu menciptakan lingkungan di mana integritas dihargai dan dihormati.

Mari kita pilih untuk bekerja dengan integritas. Mari kita pilih untuk menolak segala bentuk manipulasi dan penyalahgunaan wewenang. Mari kita pilih untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Dengan begitu, kita bisa membantu menciptakan organisasi yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih transparan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Rumi, seorang sufi terkenal dari Timur Tengah, “Jangan sedih. Apa pun yang hilang darimu akan kembali dalam wujud lain.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa integritas, meskipun tampaknya memerlukan pengorbanan di awal, akan memberikan buah manis yang tak terduga di kemudian hari. Integritas adalah investasi yang mungkin tidak langsung terlihat hasilnya, tetapi akan selalu membawa kita menuju kesuksesan yang sejati dan abadi.

Referensi:

1. Arrow, K. J. (1963). Uncertainty and the welfare economics of medical care. American Economic Review, 53(5), 941-973.
2. Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
3. Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs, and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.

Related posts