Oleh. dr. Friedrich Max Rumintjap, Sp.OG(K), MARS, FISQua, FIHFAA, FRSPH (Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia)
Pendahuluan
Dalam upaya menciptakan kesetaraan dalam akses layanan kesehatan, pemerintah Indonesia meluncurkan transformasi sistem kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Langkah strategis ini dirancang untuk menghapus diskriminasi dalam layanan kesehatan berdasarkan status ekonomi peserta. Namun, seperti halnya setiap kebijakan besar, implementasi KRIS menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang holistik, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Awal Perubahan: Dari Kelas ke Standar
Transformasi ini bertujuan untuk menghapus sistem kelas yang selama ini membedakan layanan kesehatan berdasarkan besaran iuran. Dedianto (2024) menyatakan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menyediakan layanan medis yang setara tanpa diskriminasi. Kebijakan ini diharapkan dapat mengatasi ketidakmerataan fasilitas rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan standar WHO, idealnya terdapat satu tempat tidur rumah sakit untuk setiap 1.000 penduduk, namun di Indonesia hanya tersedia satu tempat tidur untuk 1.100 penduduk.
Transparansi dan Akuntabilitas: Pilar Reformasi
Reformasi birokrasi dalam implementasi KRIS menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Osborne dan Gaebler (1992) menyebutkan bahwa transparansi adalah kunci untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan, sementara akuntabilitas memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tanpa transparansi, pemangku kepentingan mungkin tidak memahami manfaat kebijakan ini, yang dapat menyebabkan ketidakpercayaan dan penolakan.
Kesiapan Infrastruktur Rumah Sakit
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi KRIS adalah kesiapan infrastruktur rumah sakit. Banyak rumah sakit di Indonesia belum memenuhi standar yang ditetapkan. Sebagai contoh, hanya sekitar 50% rumah sakit yang memenuhi standar luas ruangan per tempat tidur, dan hanya 59% yang memenuhi jarak antar tempat tidur minimal 1,5 meter. Kebutuhan renovasi besar-besaran untuk memenuhi 12 kriteria standar dari Kementerian Kesehatan menjadi tantangan yang memerlukan anggaran dan waktu yang cukup besar (Dedianto, 2024).
Persepsi Pemangku Kepentingan
Persepsi pemangku kepentingan terhadap kebijakan KRIS beragam. Survei terhadap 520 responden peserta JKN menunjukkan bahwa 68% mendukung penerapan KRIS dengan alasan mengurangi diskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Namun, rumah sakit mengkhawatirkan penurunan pendapatan akibat penyesuaian tarif dan biaya operasional tambahan selama masa transisi (Dedianto, 2024). Beberapa rumah sakit swasta menyatakan keberatan karena perlu menyesuaikan tarif INA-CBGs dan merombak struktur biaya mereka untuk memenuhi standar KRIS.
Implementasi dan Regulasi
Regulasi yang ada, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 dan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/1811/2022, telah menetapkan kerangka kerja dan tenggat waktu untuk penerapan KRIS. Namun, masih dibutuhkan regulasi tambahan dan sosialisasi yang intensif untuk memastikan kesiapan dan kepatuhan semua rumah sakit. Pemerintah menargetkan implementasi KRIS selesai paling lambat 1 Januari 2023, namun penerapan ini belum sepenuhnya tercapai (Dedianto, 2024).
Teori dan Konsep dalam Kebijakan Publik
Dalam perspektif teori kebijakan publik, keputusan untuk mengimplementasikan KRIS merupakan respons terhadap tantangan dalam sistem pelayanan kesehatan yang ada. Dye (2013) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Implementasi KRIS dapat dilihat sebagai upaya untuk menyelaraskan kebutuhan masyarakat dengan kapasitas pelayanan kesehatan yang ada, mencerminkan prinsip keadilan sosial yang diutarakan oleh Rawls (1971) tentang distribusi sumber daya yang adil dan merata.
Teori ekonomi kesehatan juga relevan di sini, menyoroti pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sumber daya kesehatan. Menurut Culyer dan Newhouse (2000), kebijakan kesehatan harus memastikan bahwa sumber daya digunakan sebaik mungkin untuk mencapai hasil kesehatan yang optimal. Implementasi KRIS diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dengan menyederhanakan struktur biaya dan administratif, sehingga alokasi dana lebih fokus pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Pengalaman Internasional: Pembelajaran dari Korea Selatan dan China
Pengalaman internasional memberikan wawasan berharga dalam implementasi kebijakan kesehatan. Reformasi asuransi kesehatan di Korea Selatan menunjukkan pentingnya memperluas cakupan layanan kesehatan dan mengurangi beban biaya langsung kepada pasien (Lee et al., 2019). Di China, penerapan standar dan kebijakan ketat dalam sistem kesehatan memberikan manfaat signifikan meskipun menghadapi tantangan kompleks seperti ketidakseimbangan distribusi sumber daya kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan (Jakovljevic et al., 2023).
Tantangan Ekonomi dan Sosial
Implementasi KRIS tidak hanya berdampak pada aspek teknis dan administratif, tetapi juga memiliki implikasi ekonomi dan sosial yang signifikan. Mahesa Paranadipa dari Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) menyatakan bahwa KRIS bisa mendorong peserta BPJS Kesehatan kelas atas beralih ke asuransi komersial, yang dapat memengaruhi cakupan Universal Health Coverage (UHC). Dampak sosial dan ekonominya perlu diperhitungkan agar tidak mengurangi cakupan dan kualitas layanan yang diharapkan (Dedianto, 2024).
Studi dari Kementerian Kesehatan mengindikasikan bahwa penerapan KRIS dapat menyebabkan pengurangan jumlah tempat tidur dan cakupan layanan rumah sakit. Meskipun tujuan KRIS untuk meningkatkan standar layanan rawat inap baik, implementasinya dapat menimbulkan tantangan bisnis bagi rumah sakit, yang dapat mengurangi pendapatan dan berdampak pada kualitas layanan yang diberikan (Dedianto, 2024).
Akses dan Kesetaraan
Kebijakan KRIS diharapkan dapat meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi seluruh peserta BPJS tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. Dengan menghapus sistem kelas, setiap peserta memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Namun, Timboel Siregar dari BPJS Watch memperingatkan bahwa KRIS dapat menimbulkan masalah akses bagi peserta JKN. Pembatasan akses ini terutama dirasakan oleh rumah sakit swasta yang harus mengalokasikan minimal 40 persen ruang perawatan untuk KRIS dan rumah sakit pemerintah minimal 60 persen (Dedianto, 2024).
Evaluasi dan Penyesuaian
Evaluasi mendalam diperlukan untuk melihat apakah KRIS benar-benar dapat mengatasi ketidaksetaraan layanan atau justru menciptakan tantangan baru dalam akses dan kualitas layanan. Pemerintah perlu mempertimbangkan solusi komprehensif seperti standarisasi kelas tanpa menghapus sistem kelas yang ada, memastikan peningkatan kualitas layanan dapat dirasakan semua peserta BPJS Kesehatan tanpa menimbulkan masalah baru (Dedianto, 2024).
Manfaat dan Tantangan Implementasi KRIS
Artikel dari ANTARA News, Detik News, dan Max Ki menyebut bahwa implementasi KRIS bertujuan menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 pada BPJS Kesehatan, menggantinya dengan satu standar pelayanan yang seragam. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 untuk memastikan bahwa semua peserta JKN mendapatkan layanan kesehatan yang sama tanpa membedakan status ekonomi mereka (Dedianto, 2024).
Peningkatan Kualitas Layanan Rawat Inap
Salah satu manfaat utama dari KRIS adalah peningkatan kualitas layanan rawat inap. KRIS menetapkan 12 kriteria standar untuk ruang rawat inap seperti kualitas bangunan, ventilasi udara, pencahayaan, kelengkapan tempat tidur, partisi antar tempat tidur, dan fasilitas kamar mandi dalam ruangan. Standar ini diharapkan memastikan semua pasien mendapatkan perawatan layak tanpa khawatir tentang perbedaan fasilitas berdasarkan kelas (Dedianto, 2024).
Potensi Pembatasan Akses
Namun, KRIS juga menghadapi tantangan seperti potensi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan. Rumah sakit swasta hanya wajib mengalokasikan minimal 40% ruang perawatan untuk KRIS, sementara rumah sakit pemerintah minimal 60%. Hal ini dapat menyebabkan keterbatasan akses, terutama di rumah sakit swasta yang mungkin lebih memilih pasien umum yang membayar lebih tinggi (Dedianto, 2024).
Penyesuaian Nominal Iuran BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa penyesuaian nominal iuran BPJS Kesehatan akan disederhanakan menuju pemberlakuan KRIS. Langkah ini untuk menghilangkan perbedaan kelas layanan dan memastikan semua peserta JKN dapat mengakses layanan kesehatan berkualitas tanpa memandang status ekonomi atau lokasi geografis (Dedianto, 2024).
Tantangan Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia
Implementasi KRIS membutuhkan penyesuaian besar dari sisi infrastruktur dan sumber daya manusia, terutama di rumah sakit swasta yang mungkin tidak memiliki kapasitas finansial yang cukup untuk memenuhi standar baru ini. Hal ini bisa mengakibatkan ketimpangan dalam kualitas layanan antara rumah sakit pemerintah dan swasta. Pemerintah telah berupaya meningkatkan kapasitas rumah sakit pemerintah dengan membangun empat rumah sakit vertikal baru dan meningkatkan kapasitas yang ada. Langkah ini diharapkan dapat menampung lebih banyak pasien peserta JKN dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan. Namun, tantangan dalam memastikan rumah sakit swasta juga memenuhi komitmen mereka tetap signifikan (Dedianto, 2024).
Perspektif Masyarakat
Penelitian oleh Pramana dan Chairunnisa Widya Priastuty (2023) mengenai perspektif masyarakat pengguna BPJS Kesehatan terkait kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini relatif tinggi dengan syarat penyesuaian besaran iuran agar tetap adil dan tidak memberatkan.
Variasi Perspektif Berdasarkan Faktor Geografis dan Demografis
Penelitian ini juga menunjukkan adanya variasi perspektif berdasarkan faktor geografis dan demografis. Di beberapa daerah, masyarakat menerima kebijakan KRIS dengan syarat tertentu, sementara di daerah lain masyarakat merasa keberatan dengan kebijakan tersebut.
Analisis Sentimen Masyarakat
Ardan Venora Falahudin melakukan analisis sentimen pada opini masyarakat terkait perubahan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan yang diungkapkan di Instagram. Analisis menunjukkan sentimen masyarakat terhadap kebijakan ini bervariasi, dengan hasil akurasi, recall, dan presisi yang relatif rendah.
Sosialisasi dan Edukasi yang Efektif
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang komprehensif dan transparan mengenai manfaat dan tujuan dari kebijakan KRIS serta bagaimana penyesuaian iuran akan dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang merasa dirugikan (Dedianto, 2024).
Tantangan Implementasi KRIS di Rumah Sakit
Penelitian oleh Sri Nurul Kur’aini et al. mengenai kesiapan RSUD Kota Salatiga dalam menghadapi kebijakan KRIS BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari 80% fasilitas di rumah sakit tersebut sudah memenuhi standar, meskipun masih terdapat beberapa kekurangan.
Penundaan Implementasi KRIS
Penundaan implementasi KRIS hingga 2025 memberikan waktu tambahan bagi rumah sakit untuk memperbaiki dan menyesuaikan fasilitas mereka. Namun, keterbatasan anggaran dan sumber daya seringkali menjadi hambatan dalam mencapai standar yang diinginkan (Dedianto, 2024).
Pengaruh KRIS terhadap Kualitas Layanan dan Citra Rumah Sakit
Penelitian oleh Nasriah Damayanthie et al. di RSUP Surakarta menunjukkan bahwa kualitas layanan memiliki hubungan signifikan dengan niat kunjungan ulang pasien. Penerapan KRIS bertujuan untuk memastikan kesetaraan dalam layanan medis dan non-medis tanpa membedakan kelas perawatan.
Kepuasan Pasien dan Niat Kunjungan Ulang
Penelitian ini menemukan bahwa kepuasan pasien tidak selalu berhubungan langsung dengan niat kunjungan ulang, kecuali jika dimediasi oleh citra rumah sakit. Rumah sakit yang berpartisipasi dalam program BPJS Kesehatan harus fokus pada peningkatan kualitas layanan dan membangun citra positif di mata masyarakat (Dedianto, 2024).
Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan KRIS
Penelitian oleh Sri Dharmayanti, Ardiansah, dan Bagio Kadaryanto (2023) menunjukkan bahwa pemenuhan kelas rawat inap standar adalah bentuk tanggung jawab negara dalam menyediakan layanan kesehatan bagi peserta JKN. Dalam perspektif hak asasi manusia, setiap peserta JKN berhak mendapatkan perawatan yang setara tanpa memandang status sosial atau besaran iuran yang dibayarkan.
Tantangan Pemenuhan Standar KRIS
Tantangan utama dalam implementasi kebijakan kelas rawat inap standar adalah kesiapan rumah sakit dalam memenuhi 12 kriteria yang ditetapkan untuk kelas rawat inap standar. Banyak rumah sakit, terutama yang berstatus swasta, merasa terbebani oleh biaya renovasi besar-besaran yang diperlukan untuk memenuhi standar ini.
Potensi Diskriminasi dalam Layanan Kesehatan
Meskipun kebijakan kelas rawat inap standar dimaksudkan untuk menghilangkan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, pada praktiknya masih banyak kendala. Peserta JKN kelas III sering kali ditolak masuk karena kamar penuh, sementara peserta yang mampu membayar lebih tinggi bisa mendapatkan kamar yang lebih baik.
Risiko dan Manfaat Kebijakan KRIS di Rumah Sakit
Penelitian oleh Aileen et al. (2024) mengenai analisis dan mitigasi risiko dalam implementasi kebijakan KRIS di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa komponen bangunan yang tidak memenuhi standar non-porous dan kepadatan ruang rawat inap dengan jarak tempat tidur merupakan dua kriteria yang paling berisiko tinggi.
Manfaat Peningkatan Standar Layanan
Penerapan KRIS diharapkan meningkatkan standar layanan kesehatan dan keadilan dalam akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, untuk mencapai standar tersebut, rumah sakit harus menghadapi biaya renovasi yang cukup besar dan risiko kehilangan pendapatan akibat pengurangan kapasitas tempat tidur selama proses renovasi (Dedianto, 2024).
Pengalaman Internasional dalam Reformasi Asuransi Kesehatan
Penelitian mengenai reformasi asuransi kesehatan nasional di Korea Selatan menunjukkan pentingnya memperluas cakupan layanan kesehatan dan mengurangi beban biaya langsung kepada pasien. Hal ini relevan dengan BPJS Kesehatan di Indonesia, di mana kualitas layanan dan manajemen yang tidak memadai dapat mengurangi kepuasan dan retensi peserta (Lee et al., 2019).
Pengalaman China dalam Reformasi Sistem Kesehatan
Penelitian di China menunjukkan bahwa penerapan standar dan kebijakan yang ketat dalam sistem kesehatan dapat memberikan manfaat signifikan, meskipun dihadapkan dengan tantangan yang kompleks. Tantangan utama yang dihadapi oleh sistem kesehatan di China adalah ketidakseimbangan distribusi sumber daya kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan (Jakovljevic et al., 2023).
Tantangan Finansial dan Keberlanjutan Program
Salah satu kerugian potensial dari penerapan KRIS adalah meningkatnya beban finansial pada sistem asuransi kesehatan. Studi di China menunjukkan bahwa populasi yang menua memberikan tekanan signifikan pada dana asuransi kesehatan dasar. Di Indonesia, kebijakan KRIS perlu mempertimbangkan keberlanjutan dana asuransi kesehatan dalam jangka panjang.
Implementasi KRIS di Nepal dan India
Penelitian mengenai program asuransi kesehatan sosial di Nepal dan India menunjukkan bahwa meskipun partisipasi meningkat, tantangan dalam hal kepatuhan dan retensi peserta tetap ada. Di Indonesia, kualitas layanan dan manajemen yang tidak memadai dapat mengurangi kepuasan dan retensi peserta BPJS Kesehatan.
Implikasi
Menerapkan KRIS adalah upaya monumental yang memerlukan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi dan sosialisasi yang intensif dilakukan untuk memastikan kesiapan dan kepatuhan semua rumah sakit. Transparansi dan akuntabilitas harus dijaga untuk mengurangi resistensi dari berbagai pihak dan memastikan bahwa kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan efektif.
Implementasi KRIS juga membawa pesan mendalam tentang kesetaraan dan keadilan dalam akses layanan kesehatan. Dalam menjalankan kebijakan ini, kita diingatkan akan pentingnya solidaritas sosial dan keberlanjutan dalam sistem pelayanan kesehatan. Kita harus terus mengawasi dan mengevaluasi kebijakan ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan tanpa menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi berbagai pihak yang terlibat. Sebagai masyarakat, kita juga memiliki peran penting dalam mendukung upaya ini dengan menjadi partisipan aktif dalam proses sosialisasi dan memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan berkelanjutan.
Kesimpulan
Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan adalah langkah berani menuju kesetaraan layanan kesehatan di Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, dengan perencanaan yang matang, dukungan penuh dari semua pemangku kepentingan, dan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas, kebijakan ini memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Refleksi ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap kebijakan ada harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk hidup sehat dan sejahtera.
Referensi
1. Anderson, J. E. (2014). Public Policy-Making. Cengage Learning.
2. Bovens, M. (2007). Analyzing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework. European Law Journal, 13(4), 447-468.
3. Culyer, A. J., & Newhouse, J. P. (2000). Handbook of Health Economics. Elsevier.
4. Dye, T. R. (2013). Understanding Public Policy. Pearson.
5. Jakovljevic, M., et al. (2023). Successes and challenges of China’s health care reform: a four-decade perspective spanning 1985—2023. Cost Effectiveness and Resource Allocation, 21:59. https://doi.org/10.1186/s12962-023-00461-9.
6. Lee, Y., Kim, S., Kim, S. Y., & Kim, G. (2019). Ethical Consideration of National Health Insurance Reform for Universal Health Coverage in the Republic of Korea. Asian Bioethics Review, 11(1), 41–56. https://doi.org/10.1007/s41649-019-00079-1.
7. Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Addison-Wesley.
8. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
9. Hood, C. (1991). A Public Management for All Seasons?. Public Administration, 69(1), 3-19.