Oleh. dr. Friedrich Max Rumintjap, Sp.OG(K), MARS, FISQua, FIHFAA, FRSPH
Pendahuluan
Di sudut-sudut perempatan jalan, di bawah terik matahari atau hujan yang membasahi aspal, berdirilah manusia-manusia yang tubuhnya berkilau perak—manusia silver. Mereka bukan sekadar ornamen perkotaan, melainkan cerminan dari dinamika sosial yang sedang bergolak di balik permukaan masyarakat kita. Fenomena manusia silver, yang kian marak sejak pandemi COVID-19, mengisyaratkan sebuah tragedi yang tersembunyi di balik kemilau warna perak. Fenomena ini bukanlah sekadar tontonan, tetapi sebuah realitas pahit yang menuntut kita untuk merenungkan kembali konsep-konsep keadilan sosial dan ekonomi.
Kemiskinan dan Keterbatasan Peluang
Dalam teori struktural fungsionalisme, seperti yang diutarakan oleh Talcott Parsons, masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian yang saling terkait dan masing-masing memiliki fungsi tertentu untuk menjaga stabilitas. Namun, dalam konteks manusia silver, kita melihat bagaimana ketidakseimbangan dalam sistem ini menyebabkan disfungsi sosial. Manusia silver adalah produk dari ketidakmampuan sistem sosial untuk menyediakan cukup peluang bagi semua anggotanya. Mereka bukanlah aktor yang dengan sengaja memilih jalan ini; mereka dipaksa oleh keadaan ekonomi yang mencekik, oleh kurangnya akses ke pendidikan, dan oleh minimnya peluang pekerjaan yang layak.
Penelitian yang dilakukan di berbagai kota, termasuk di Serang dan Pontianak, menunjukkan bahwa banyak dari manusia silver ini berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang terpinggirkan. Pandemi COVID-19 hanya memperburuk keadaan ini, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan mereka (Suherman, 2023). Dalam situasi seperti ini, menjadi manusia silver bukanlah pilihan bebas, melainkan pilihan terpaksa yang dilakukan demi kelangsungan hidup.
Eksistensi Manusia Silver dalam Konteks Sosial
Manusia silver juga menjadi simbol bagaimana masyarakat merespons krisis ekonomi dengan cara yang paling dasar—dengan berjuang untuk bertahan hidup. Dalam konteks teori motivasi Abraham Maslow, manusia silver berada pada tingkat kebutuhan fisiologis yang paling dasar, yaitu kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal (Maslow, 1943). Ketika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, individu akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bahkan jika itu berarti berdiri di perempatan jalan dengan tubuh dilapisi cat perak, berharap mendapatkan sedikit belas kasihan dari pengguna jalan.
Namun, eksistensi mereka juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam menyediakan jaring pengaman sosial yang memadai. Kebijakan pemerintah yang ada, seperti bantuan langsung tunai dan program kesejahteraan sosial, sering kali tidak cukup untuk menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Alih-alih mendapatkan bantuan yang memadai, manusia silver sering kali menjadi sasaran razia dan tindakan represif dari aparat penegak hukum, yang melihat mereka sebagai gangguan ketertiban umum (Arifin, 2023).
Tantangan Etis dan Moral dalam Penanganan Manusia Silver
Dalam pendekatan etika utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Namun, ketika kita berbicara tentang penanganan manusia silver, kita dihadapkan pada dilema etis yang rumit. Apakah kita seharusnya mengabaikan mereka dan membiarkan mereka melanjutkan tindakan mereka, atau apakah kita seharusnya mengambil tindakan tegas untuk memberantas fenomena ini?
Pendekatan yang terlalu keras, seperti razia dan pengusiran, mungkin tampak memberikan solusi jangka pendek, tetapi ini hanya memindahkan masalah tanpa benar-benar menyelesaikannya. Di sisi lain, membiarkan manusia silver beroperasi tanpa intervensi juga tidak etis, karena hal ini sama saja dengan membiarkan mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan. Pendekatan yang lebih manusiawi dan komprehensif diperlukan, yang melibatkan pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan rehabilitasi sosial untuk mereka yang terjerumus dalam situasi ini.
Manusia Silver sebagai Cermin Kita
Fenomena manusia silver bukanlah masalah yang bisa diabaikan atau diselesaikan dengan solusi sederhana. Ini adalah cerminan dari masalah yang lebih besar—ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus bertahan di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Dalam teori konflik sosial yang dikemukakan oleh Karl Marx, masyarakat dibagi menjadi kelas-kelas yang berbeda berdasarkan kepemilikan alat-alat produksi. Manusia silver, dalam kerangka ini, adalah manifestasi dari kelas yang terpinggirkan, yang tidak memiliki akses terhadap alat-alat produksi dan karenanya terpaksa mencari cara alternatif untuk bertahan hidup.
Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, kita tidak boleh lupa bahwa di balik gemerlap kota-kota besar, masih ada mereka yang hidup di pinggiran, yang terpaksa berjuang setiap hari hanya untuk sekadar bertahan hidup. Manusia silver mengingatkan kita bahwa kemajuan ekonomi tidak selalu berarti kemajuan bagi semua orang. Ada yang tertinggal, ada yang terpinggirkan, dan tugas kita sebagai masyarakat adalah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal di belakang.
Kesimpulan
Penanganan fenomena manusia silver membutuhkan pendekatan yang holistik, yang tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pemberdayaan dan pemberian kesempatan yang lebih luas bagi mereka yang membutuhkan. Pemerintah perlu memperkuat program-program sosial yang ada, memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai ke tangan mereka yang paling membutuhkan, dan menciptakan lapangan kerja yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat.
Fenomena manusia silver adalah cermin dari ketidakadilan yang masih ada dalam masyarakat kita. Ini adalah pengingat bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata, di mana semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak. Di balik kilauan cat perak itu, ada manusia dengan mimpi, harapan, dan kebutuhan yang sama seperti kita semua.