Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns, M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Ahli Pengadaan Nasional)
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia adalah bayang-bayang kelam yang terus menghantui upaya pembangunan negara. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Januari 2024 mengungkapkan bahwa terdapat 339 kasus korupsi dalam sektor ini. Modus operandi yang digunakan sangat beragam, mulai dari pengondisian lelang hingga manipulasi harga pengadaan. Melalui perspektif ilmu administrasi, analisis ini akan menguliti permasalahan ini dengan pendekatan teoritis dan kritis, menggali akar permasalahan serta menawarkan solusi yang menyeluruh.
Pengondisian Lelang: Permainan Dalam Bayangan
Pengondisian lelang adalah modus korupsi yang menyelubungi proses pengadaan barang dan jasa. Proses yang seharusnya transparan dan kompetitif sering kali dipermainkan untuk menguntungkan pihak tertentu. Pengkondisian ini dapat terjadi melalui manipulasi dokumen, spesifikasi teknis yang disusun sedemikian rupa agar hanya dapat dipenuhi oleh penyedia tertentu, hingga kolusi antara panitia lelang dan penyedia jasa.
Dalam teori jaringan kekuasaan (Foucault, 1977), kekuasaan tidak hanya berada di tangan yang terlihat, tetapi juga menyebar dalam jaringan yang saling terhubung dan tersembunyi. Pengondisian lelang menjadi manifestasi nyata dari kekuasaan yang bekerja dalam bayangan, meruntuhkan asas keadilan dan kompetisi yang sehat. Manipulasi ini menciptakan ilusi proses yang sah, sementara di balik layar, keputusan sudah ditentukan.
Markup Harga Pengadaan: Simfoni Kejahatan Finansial
Praktek markup harga pengadaan adalah modus korupsi lainnya yang merugikan negara. Harga barang atau jasa yang diadakan dinaikkan jauh di atas harga pasar, dan kolusi antara penyedia barang dan pejabat pengadaan sering kali terjadi untuk membagi keuntungan dari markup ini.
Menurut teori agensi modern (Eisenhardt, 1989), terdapat hubungan yang rumit antara prinsipal (pemilik modal) dan agen (manajer atau pejabat pengadaan), dimana masalah moral hazard dan konflik kepentingan sering kali timbul. Agen, yang seharusnya bekerja demi kepentingan prinsipal, cenderung memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi dengan cara mengabaikan kepentingan prinsipal, dalam hal ini masyarakat dan negara. Kolusi dalam pengadaan barang dan jasa menciptakan simfoni kejahatan finansial yang melibatkan berbagai aktor, semuanya berkontribusi pada kerugian negara dan masyarakat.
Dampak Sosial dan Ekonomi: Racun yang Merusak
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga berdampak signifikan terhadap masyarakat. Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 mengungkapkan bahwa 53% responden menilai hasil pengadaan barang dan jasa tidak bermanfaat, dan 58% menilai kualitasnya rendah.
Dalam konsep manajemen publik modern (Denhardt & Denhardt, 2015), alokasi sumber daya yang tepat sangat penting untuk mencapai hasil maksimal. Namun, korupsi merusak prinsip ini dengan mengalihkan sumber daya untuk keuntungan pribadi. Dampak negatif dari korupsi juga mencakup menurunnya kualitas pelayanan publik. Ketika barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah tidak memenuhi standar kualitas, masyarakat yang menjadi korban. Misalnya, pengadaan alat kesehatan yang berkualitas rendah dapat berakibat fatal bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Teori pelayanan publik (Osborne & Gaebler, 1992) menekankan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, korupsi menghalangi pencapaian tujuan ini, menjadikan masyarakat sebagai korban utama dari sistem yang korup.
Nepotisme dalam Pengadaan Barang dan Jasa: Jaring-Jaring Kekerabatan
Nepotisme adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam survei SPI 2023, 57% responden menilai adanya nepotisme dalam proses pengadaan. Nepotisme terjadi ketika pejabat pengadaan memberikan keuntungan atau peluang kepada kerabat atau teman dekatnya tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kualitas.
Menurut teori meritokrasi (Young, 1958), penugasan dan promosi seharusnya berdasarkan pada kemampuan dan kinerja individu. Namun, nepotisme merusak budaya organisasi dan menurunkan motivasi serta moral karyawan yang kompeten tetapi tidak mendapatkan kesempatan yang adil. Dalam jangka panjang, praktik ini dapat menurunkan kinerja organisasi secara keseluruhan karena sumber daya manusia yang tidak kompeten menduduki posisi kunci.
Upaya Penanggulangan Korupsi: Melawan Arus Gelap
Untuk menutup celah korupsi yang terjadi, KPK telah menyampaikan berbagai upaya dan strategi kepada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Salah satu strategi yang diusulkan adalah memperkuat independensi unit pelaksanaan dan pengawasan, seperti unit pengadaan barang dan jasa (UKPBJ) dan inspektorat di K/L/PD. Independensi ini penting untuk memastikan bahwa proses pengadaan berjalan tanpa intervensi dan tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam teori pengawasan (Fayol, 1949), pengawasan merupakan fungsi manajemen yang bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana dan tujuan organisasi. Pengawasan yang efektif dapat mencegah terjadinya penyimpangan dan memastikan akuntabilitas dalam setiap tahap proses pengadaan.
Penerapan e-procurement atau katalog elektronik dalam pengadaan barang dan jasa juga menjadi salah satu langkah strategis untuk meningkatkan transparansi. Melalui e-procurement, setiap tahap proses pengadaan dapat diawasi secara real-time, sehingga meminimalkan peluang terjadinya korupsi. Teknologi informasi ini juga memungkinkan akses yang lebih luas bagi para pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam proses pengadaan, sehingga meningkatkan persaingan sehat dan kualitas barang dan jasa yang diadakan.
Menguatkan Peran Audit: Penjaga Gawang Transparansi
Audit adalah alat yang sangat efektif dalam mencegah dan mendeteksi korupsi. Audit yang dilakukan secara rutin dan menyeluruh dapat mengidentifikasi penyimpangan dan memberikan rekomendasi perbaikan. Menurut teori administrasi modern, audit bukan hanya sekadar alat pengawasan tetapi juga alat evaluasi yang memberikan umpan balik untuk perbaikan kinerja organisasi (Shand & Anand, 1996).
Implementasi e-audit pada katalog elektronik pengadaan barang dan jasa adalah salah satu inovasi yang dilakukan KPK untuk menutup celah korupsi. Dengan e-audit, proses pengadaan dapat dipantau secara terus menerus, sehingga setiap indikasi penyimpangan dapat segera terdeteksi dan ditindaklanjuti. Hal ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas tetapi juga mempercepat proses pengadaan karena setiap tahap dapat diotomatisasi dan diawasi secara digital.
Pendidikan dan Pelatihan: Menabur Benih Integritas
Selain langkah-langkah teknis dan prosedural, pendidikan dan pelatihan juga merupakan solusi jangka panjang untuk mengatasi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Pendidikan dan pelatihan yang berfokus pada etika dan integritas dapat membentuk karakter dan perilaku yang jujur dan bertanggung jawab. Menurut teori pembelajaran organisasi (Senge, 1990), organisasi yang belajar dan terus meningkatkan kompetensinya akan mampu menghadapi tantangan dan perubahan dengan lebih baik.
Pelatihan mengenai prosedur pengadaan yang transparan dan akuntabel juga perlu diberikan kepada seluruh pejabat pengadaan. Dengan pemahaman yang baik tentang aturan dan regulasi, mereka akan lebih siap dan mampu menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi. Selain itu, pelatihan ini juga harus mencakup penggunaan teknologi informasi seperti e-procurement dan e-audit untuk memastikan bahwa mereka dapat memanfaatkan alat-alat tersebut dengan efektif.
Kesimpulan: Meretas Jalan Menuju Kejujuran
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa adalah penyakit kronis yang memerlukan pengobatan menyeluruh. Melalui perspektif ilmu administrasi, kita dapat melihat bahwa penyelesaian masalah ini memerlukan perbaikan dalam berbagai aspek, mulai dari pengendalian birokrasi, pengawasan dan audit, penerapan teknologi informasi, hingga pendidikan dan pelatihan.
Setiap langkah yang diambil harus berfokus pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta memperkuat independensi dan integritas pejabat pengadaan. Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa pengadaan barang dan jasa di Indonesia dapat berjalan dengan lebih efisien, efektif, dan bebas dari korupsi, sehingga akhirnya memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara.
Seperti sebuah pohon yang kuat, integritas dan kejujuran harus ditanam dan dirawat sejak dini. Hanya dengan demikian, kita bisa membangun bangsa yang kokoh dan terpercaya. Seperti kata bijak, Kejujuran adalah pohon yang akarnya pahit, tetapi buahnya manis. Mari kita wujudkan Indonesia yang lebih baik dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dalam setiap tindakan kita.
Referensi
1. Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2015). The New Public Service: Serving, Not Steering. Routledge.
2. Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review, 14(1), 57-74.
3. Fayol, H. (1949). General and Industrial Management. Pitman Publishing.
4. Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
5. Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
6. Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Addison-Wesley.
7. Peters, B. G., & Pierre, J. (2003). Handbook of Public Administration. SAGE Publications.
8. Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization. Doubleday.
9. Shand, D., & Anand, P. (1996). The Role of Public Administration in Building a Harmonious Society. World Bank.
10. Young, M. (1958). The Rise of the Meritocracy. Thames & Hudson.