Di tengah gempita perubahan dan kemajuan Indonesia, BPJS Kesehatan tumbuh sebagai titik terang dalam saga pelayanan kesehatan nasional. Namun, di balik gemerlapnya harapan tersebut, tersembunyi problematika keadilan dalam penetapan iuran BPJS yang mengundang refleksi mendalam. Artikel ini akan berupaya menguraikan dan menganalisis keadilan iuran BPJS melalui lensa filosofis dan teoretis, seraya menawarkan pandangan untuk masa depan yang lebih berkeadilan sosial.
Berdasarkan pandangan filosofis John Rawls, keadilan distributif menjadi kunci utama dalam pemahaman masalah ini. Rawls menggagas tentang pentingnya kesetaraan dasar yang harus diwujudkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam konteks akses kesehatan. Sementara itu, Amartya Sen menghadirkan pandangan yang lebih luas, di mana keadilan bukan hanya soal distribusi materi, melainkan juga kemampuan nyata individu dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Dalam konteks BPJS, kedua pandangan ini menuntut adanya keadilan yang tidak hanya fokus pada besaran iuran, tetapi juga pada aksesibilitas dan kualitas layanan yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Perumpamaan dapat menjadi sarana efektif dalam mengilustrasikan masalah ini. Bayangkan sebuah desa dimana semua penduduk, tanpa memandang status ekonomi, diwajibkan membayar tarif air bersih yang sama. Dalam skenario ini, walaupun air tersedia untuk semua, beban yang dirasakan oleh penduduk berpenghasilan rendah jauh lebih berat dibandingkan mereka yang berpenghasilan tinggi. Perumpamaan ini menggambarkan situasi yang mirip dengan sistem iuran BPJS saat ini, di mana ketidaksamaan ekonomi tidak sepenuhnya dipertimbangkan, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam beban yang harus ditanggung oleh masyarakat berbeda pendapatan.
Teori Theodore J. Lowi, yang membedakan antara kebijakan distributif, regulatif, dan konstitutif, memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan iuran BPJS seharusnya dirancang. Kebijakan distributif, yang bertujuan untuk mendistribusikan sumber daya, harus sensitif terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Saat ini, kebijakan iuran BPJS tampaknya belum sepenuhnya mencerminkan prinsip ini, mengingat belum adanya penyesuaian yang memadai terhadap kemampuan ekonomi beragam lapisan masyarakat.
Menatap masa depan, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk merumuskan sistem iuran BPJS yang lebih adil dan inklusif. Hal ini tidak hanya mencakup aspek keadilan distributif tetapi juga pertimbangan praktis seperti tingkat kepatuhan pembayaran dan keberlanjutan program. Diperlukan sebuah pendekatan yang lebih holistik, di mana kebijakan iuran tidak hanya berfokus pada kebutuhan fiskal program, tetapi juga pada kebutuhan dan kemampuan riil masyarakat.
Keadilan dalam iuran BPJS bukan sekadar masalah angka dan kebijakan, melainkan representasi dari nilai keadilan sosial dan ekonomi. Artikel ini merefleksikan kebutuhan mendesak untuk transformasi kebijakan yang lebih memperhatikan keragaman sosio-ekonomi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kita bisa menuju ke arah masa depan yang tidak hanya lebih adil, tetapi juga lebih berkelanjutan dan inklusif.
Penulis Ketua Umum LAFKI