Bahaya konsumerisme anak muda bangsa dan strategi menghindari manipulasi ‘pleasure induction’ dan mengatasi ‘adiksi sosialita’ dalam kehidupan ( filosofi hidup dasar)

Dewasa ini dengan pesatnya perkembangan ekonomi, hanya sedikit yang menyadari bahwa bagaimana manusia tidak lebih daripada budak konsumerisme.

Sebagian mungkin tak menyadari bagaimana konsumerisme membaur perlahan dalam hidup keseharian. Bahkan menyatu dalam diri. Awalnya apa yang dimiliki, lalu mulai perlahan menjadi memiliki kita dan mengendalikan kita. Akhirnya membuat suatu kekangan dan menjadi suatu adiksi tanpa henti. Proses berikutnya, akhirnya menjadi cara pandang dalam kehidupan dan memaknai hidup. Terutama untuk menentukan pilihan membeli barang yang tidak kita butuhkan namun tak lebih untuk membeli produk-produk untuk memenuhi ego diri dalam rasa gengsi.

Bagaimana strategi yang dibuat dan diarahkan agar membeli produk yang tidak dibutuhkan? Yaitu dengan membuat branding iconik dalam komunitas hedonisme . Akibatnya banyak produk yang diincar sekedar untuk mendapat pengakuan. Seolah dengan membeli produk tertentu, yang tampak sebagai produk dari brand besar ternama maka akan terpenuhi nilai gengsi yang dimiliki seseorang. Akibatnya, dia harus menggali lubang dalam finansial yaitu hutang dan akhirnyq hutang menjadi membengkak tak terkendali demi gengsi.

Tidak sedikit kita jumpai juga dalam masyarakat banyak pemuda yang terjebak begitu dalam di rantai ini. Membuat mereka membeli sesuatu yang tak mereka butuhkan sebagai suatu bentuk sarana atas pengakuan. Entah suatu produk seperti pakaian, teknologi, tas, sepatu, jam dengan brand mahal. Mayoritas dari brand mahal ini pun banyak yang diakui bukan karena produk nya namun yang menjadi daya belinya adalah pengakuan atas brandnya. Pribadi pemuda seperti ini membuat mereka sangat mungkin untuk menjadi korban dalam taktik manipulasi psikologis yang memanfaatkan kesenangan sementara akibat pengakuan. Cara taktik manipulasi psikologis ini disebut pleasure induction.

Apa itu manipulasi psikologis pleasure induction atau induksi kesenangan? Saat seseorang menerapkan taktik induksi kesenangan, mereka hanya memberi tahu seseorang bahwa tindakan tersebut akan menyenangkan dan orang tersebut akan menikmatinya.

Pernahkah menemukan teman atau seseorang terdekat yang anda kenal berkata seperti ini :

“eh kenapa pakai cream wajah yang itu, coba pakai brand yang ini deh sumpah ini lebih bagus banget dan brand nya juga terkenal asal negara X. Banyak artis yang pakai ini, coba lihat juga si A yang cantik itu dia rajin banget pake ini. Agak sedikit pricey tapi serius deh ini brandnya bagus banget. Kalau pake ini sumpah kece sih kamu. “

Setelah diperiksa ternyata brand yang anda pakai dan brand yg temanmu sarankan memiliki kandungan yang sama. Hanya saja brand yang disarankan jauh lebih terkenal dan harganya 3 x lipat. Namun dikarenakan popularitas nya akhirnya anda menjadi gengsi dan menginginkan produk tersebut. Lalu untuk menjaga harga diri anda sendiri agar tidak diduga plin plan akhirnya membuat anda mengatakan kepada orang lain bila tidak cocok menggunakan cream yang sebelumnya anda gunakan dan membuat placebo yang dimana anda lebih cocok memakai cream populer tersebut. Padahal sebenarnya hasilnya tak ada bedanya dan anda selain menambah potongan tabungan finansial anda sendiri setelah membeli produk tersebut bahkan berhutang anda sudah menyia-nyiakan produk yang sebelumnya anda beli dan terbiasa.

Taktik ini banyak sekali digunakan bahkan membuat seseorang menjadi gelap mata dalam konsumerisme untuk mengincar pengakuan. Setelah akhirnya anda mendapatkan pengakuan ini dari orang orang disekitar anda, meningkat lah dopamine di dalam diri anda. Membuat anda semakin haus akan pengakuan dan layaknya adiksi anda terus berusaha untuk membeli produk produk ini diluar kapasitas kebutuhan anda untuk mendapatkan pengakuan yang tak ada habisnya. Akhirnya dalam 5 tahun kedepan setelah siap berkeluarga anda tidak memiliki investasi apapun, anda bekerja sebanyak apapun membuat seakan semuanya serba tidak cukup, anda tidak memiliki tabungan apapun dan terjebak dalam lingkaran setan ini yang pada akhirnya tak ada inovasi apapun dalam hidup dan karena hutang membuat anda tak dapat berkembang serta harus bekerja terus menerus tanpa henti untuk menggali dan menutup hutang. Akhirnya tanpa sadar kehidupan anda dapat mudah dikendalikan dengan uang ketimbang usaha dalam sepenuhnya untuk diri anda sendiri. Membuat apa yang anda miliki kini memiliki anda karena anda harus bekerja untuk terus mengejar barang barang ini.

Selain itu perilaku ini membuat hidup anda menghalangi diri anda untuk dapat menerima kekurangan diri anda sendiri, untuk dapat menikmati hidup secara sepenuhnya maupun untuk dapat stabil secara finansial. Perilaku ini membuat anda mudah tertipu dengan kebahagiaan dan keindahan yang ada di media sosial untuk terus mengejar konsumerisme secara konstan terus menerus. Menjebak diri pada suatu kompetisi yang disebut rat race yaitu cara hidup di mana orang-orang terjebak dalam persaingan yang sengit untuk memperebutkan kekayaan atau kekuasaan.

Akhirnya anda membiarkan hidup anda ditentukan oleh pendapat orang lain tanpa mampu menerima kekurangan diri sendiri dan terbuka pada kelebihan diri sendiri. Memaksa kita untuk hidup memenuhi kata sempurna disaat tidak ada yang sempurna.

This is self destruction.
Ini adalah perilaku destruktif pada diri sendiri.
Pada akhirnya kiita tak lebih daripada Produk Sampingan dari suatu Obsesi atas Gaya Hidup itu sendiri.
Banyak dari mereka membuka katalog suatu brand untuk mencari mana produk yang lebih mendeskripsikan diri anda sendiri ketimbang membeli sesuai kebutuhan anda.

Pantas bila Indonesia sebagai negara yang masih berkembang ini memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi namun tingkat literasi yang rendah. Mayoritas dari pemuda kita masih hidup dalam budaya lama yang menghentikan pemikiran kritis mereka ataupun mengajari anak muda untuk berpikir terbuka dan kritis. Maka jangan salahkan bila kita akan digantikan oleh tenaga kerja asing yang lebih mementingkan etos kerja yang tinggi karena mereka memiliki komitmen, dedikasi dan inovasi. Mereka fokus untuk sepenuhnya mengembangkan bisnis tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri namun untuk kepentingan bersama yang membuat mereka jauh lebih adaptif dan dapat diandalkan serta dihargai dengan harga yang benar pantas, tidak lebih maupun tidak kurang namun cukup sesuai profesi mereka. Mayoritas dari mereka pun tidak terjebak dalam konsumerisme ini dan sepenuhnya mendedikasikan pekerjaan nya untuk sepenuhnya mendukung perkembangan inovasi yang sewajarnya harus dilakukan ketimbang bekerja hanya untuk mencari uang saja. Bahkan banyak negara maju dikarenakan juga mereka membiarkan murid muridnya untuk mengembangkan pemikiran kritis. Wajar saja bila untuk diterima dalam pekerjaan diluar negeri saja mayoritas masyarakat kita harus melewati beasiswa pendidikan atau pendidikan dasar persiapan sebelum bekerja yang berbasis internasional karena mereka terbiasa terdidik dalam pola pikir kritis dan memiliki karakter yang dibutuhkan untuk perusahaan perusahaan ini. Ada namun tidak banyak yang dapat bekerja dalam skala internasional dan sukses bila membahas hanya kuliah didalam negeri ini. Itu sebabnya juga bisa menjadi alasan dasar mengapa tak jarang kita temui banyaknya orang yang bisa dikatakan kaya di Indonesia lebih memilih menyekolahkan anak anak mereka di sekolah dengan standar internasional hingga kuliah di luar negeri di negara yang maju daripada hanya di negeri ini padahal kita ini termasuk 4 negara terbesar dalam pendidikan namun tak sejalan dalam kualitas nya dimana pisa test kita saja secara keseluruhan masih pada peringkat 70 dari 79.

Oleh Muhammad Ghifary mahindisyah

( Penulis: Direktur PT. Produksi Tanpa Batas, Ketua Pemuda Kreasi Tanpa Batas, Relawan YBSI)

Related posts