Semarang, PW: Lembaga Debat Peradilan Dan Riset (DPR) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung tahun ini kembali menggelar Sultan Agung Law Fair III yang salah satu rangkaian kegiatannya adalah Focus Group Discussion dengan tema Memperkokoh Peran Generasi Muda Yang Sadar Hukum, Berpikir Kritis Serta Mampu Menangkal Paham Radikalisme Dan Terorisme Dalam Bingkai Pancasila.
Kegiatan yang diselenggarakan di Ruang Kuliah Umum Lantai III Fakultas Hukum Unissula diikuti oleh sekitar seratus mahasiswa dan dibuka Dekan Fakultas Hukum yang diwakili oleh Dr. Wadayati, S.H., M.Hum, Wakil Dekan I.
Abdur Rokhim, Ketua Panitia Sultan Agung Fair III didampingi Rizky Dinda Saputri, Ketua Umum DPR FH Unissula menyampaikan bahwa tema tersebut diambil dengan mempertimbangkan bahwa saat ini, aksi terorisme di Indonesia masih saja terjadi dan tercatat pada tahun 2021 saja terdapat 216 orang yang ditangkap karena kasus terror serta terjadinya peningkatan 13,3% kasus radikalisme, sehingga diperlukan langkah-langkah antisipasi yang salah satunya dalam bentuk FGD dengan menghadirkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya.
Harapannya rekan-rekan mahasiswa dapat memiliki tambahan imun sehingga tidak mudah terpapar dan menjadi simpatisan radikal sehingga pada akhirnya berpaham radikal.
Pada prinsipnya membicarakan terorisme itu juga membicarakan radikalisme, karena radikalisme adalah ibu dari terorisme. Merujuk pada UU No. 5 Tahun 2018 maka kontek pencegahan berada pada ranah radikal atau pahamnya dan kontek penanggulangan atau penegakan hukum berada pada ranah tindak pidana terorisme atau aksinya. Pemahaman ini menjadi penting karena menentukan cara bagaimana kita harus berbuat mencegah atau menangkalnya, demikian pernyataan IPTU Subkhan, S.H., M.H mengawali materinya.
Berbicara ideologi maka pencegahannya dilakukan dengan membangun kesiapsiagaan nasional melalui pemetaan radikal teroris, mencegah berkembangnya paham radikal teroris melalui kontra radikal dan menghilangkan paham radikal teroris melalui deradikal, sedangkan berbicara aksi terorisme maka secara prinsip membahas delik tindak pidana serta penegakkan hukumnya.
Seperti halnya tindak pidana yang sifatnya lex specialist maka dalam penanggulangan terorrisme juga terdapat beberapa celah hukum ataupun hambatan-hambatan dari unsur hukumnya, aparatnya, sarananya, masyarakatnya dan budayanya, sehingga setiap masyarakat saat ini dituntut untuk memiliki knowledge / pengetahuan sehingga tidak mudah tersugesti, memiliki skill / ketrampilan sehingga mampu mendeteksi serta memiliki attitude / sikap sehingga kepo terhadap perubahan disekitarnya serta memiliki keberanian untuk berbuat baik untuk mencari tau maupun untuk menolaknya.
Penyebaran paham radikalisme saat ini lebih cenderung memanfaatkan kekuatan media sosial, mereka bukan tanpa alasan karena data research menunjukkan angka 63 penduduk Indonesia adalah usia millennial dimana 94,4 % diantaranya terkoneksi internet, 98,2 % menggunakan smartphone serta 79 % membuka smart phonenya 1 menit setelah bangun tidur.
Data-data tersebut disadari oleh meraka sehingga mereka tidak berpikir untuk saat ini saja, tapi berpikir untuk masa depan. Jika millennial kita, ideologi atau pemnikirannya sudah dikuasai maka 10 sampai 20 tahun yang akan datang maka mereka akan menguasai negara ini, jelas IPTU Subkhan.
Untuk itu belajarlah ilmu agama secara paripurna pada guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas sehingga pada akhirnya akan mampu menjadi petarung-petarung ideologi yang memiliki kemampuan berpikir dan responsive terhadap permasalahan yang ada disekitar kita secara aplikatif dan tidak sekedar teoritis, pupuk dan pelihara rasa bangga kepada bangsa dan negara, jangan hanya diam namun berusaha bermanfaat dan mengimbangi gerakan musuh-musuh ideologi negara karena mereka bergerak 24 jam.
Jangan coba-coba mengikuti komunitasnya baik secara langsung maupun group-group medosnya, bagi yang sudah terlanjur stop dan unfollow. Selamatkan diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara. Sekali lagi bersikap responsivelah dan jadilah petarung ideologi di dunia nyata dan dunia maya demi NKRI dan Pancasila, pesan IPTU Subkhan mengakhiri materinya.
Ditempat yang sama, Agung Cahyono, S.T dari Wartawan IM TV Jateng yang didapuk menjadi narasumber kedua dalam materinya berjudul Dilema Peliputan Terorisme di Media Massa diantaranya menyatakan bahwa saat ini setiap orang dapat menjadi wartawan melalui akun-akun medsos bahwa TV pribadinya yaitu konten youtube tanpa harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu, cukup apa yang dilihat dan apa yang didengarnya saja sudah cukup, disisi lain wartawan yang sebenarnya dibatasi dengan kode etik dan lain sebagainya.
Beberapa dilema peliputan terrorisme antara lain berpotensi menambah eksistensi pelaku, turut menebar ketakutan, menimbulkan rasa traumatic korban, berpotensi jualan sensasi, framing, kejar rating, oplah, berburu klik, trending topik serta framing berita yang kurang ideal, hal itu terjadi karena satu berita teror diestimasi dapat memicu timbulnya satu serangan susulan di minggu berikutnya dan memakan tida korban tambahan dan potensinya 11-15%, itu hasil penelitian Prof. Miuchael Jelter yang dilakukan di 201 negara selama 43 tahun.
Ada pendapat lain dari Welter Laqueur sejarawan Amerika yang menyatakan bahwa jurnalis disebut sebagai sahabat teroris karena bersedia memberikan eksposur operasi teroris, teroris butuh media.
Selesai pemaparan materi dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab yang berlangsung interaktif dipandu oleh Julia Monica, Mahasiswa Fakultas Hukum Juara 2 Lomba Mediasi Tingkat Nasional.
(Nyaman).