Kepri, PW: Apalah arti sebuah nama. Begitu kata William Shakespeare, pujangga, dan sastrawan Inggris, pada pentas drama di abad 16 silam.
Pun demikian pula dengan identitasku. Tak penting siapa namaku. Tapi menjadi penting, bahkan paling penting, bagaimana langkah lakuku. Seperti kata Begawan bangsa KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah berkata ” Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Agama, ras dan identitas jadi tidak penting, manakala kita berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesama.
Panggil saja aku dokter GeJe. Memang ada yang biasa , menganggapku seperti itu. Serba Ga Jelas, kata sebagian orang yang biasa menyapaku. Dan aku santuy. Biasa saja. Karena gampangnya yang Jelas itu hanya Gusti Alloh SWT.
Karena bisa jadi , GeJeku itu memang benar. Betapa tidak. Aku seorang dokter , yang berpraktek pun jarang. Kalau pun ber praktek, tanpa berpikir dapat imbalan, jasa alias fee. Aku memilih freedom, bebas.
Mengapa? Karena menurutku, rizki itu sudah ada yang mengatur. Ga perlu repot dan ribet ”ngejar setoran’ dan target. Karena Alloh itu Maha Pengatur Rizki. Jadi, ngga perlu repot menggunakan profesi dokter, untuk target muluk muluk. Beli mobil mewah, rumah megah, travelling atau apalagi cari ‘ gebetan baru’.
Pola pikirku sederhana. Berusaha bermanfaat saja bagi orang yang memerlukan. Dan orang tersebut , rela dan ikhlas berdoa untuk kita supaya husnul khotimah, itu sudah cukup.
Aku pernah dan sering diprotes, anak anakku.
” Papi ini ‘good looking’ dan pinter ( cieeee, ini kata anakku, jangan baper) koq ngga praktek? Itu ruangan disebelah segede gambreng, khan dimanfaatin. Malah jadi gudang sembako “.
” Loh, khan papi praktek”, kataku.
” Kapan papi praktek” tanya mereka.
“Lah itu, ditempat tukang sampah, tukang gali kuburan, tempat anak anak yang berkebutuhan khusus nan istimewa, di tempat pemulung, di madrasah, pengajian, rumah hafidz, khan papi praktek “.
” Ya ampun papi, bukan itu. Itu khan gratis, ngga dibayar. Praktek yang dipake nyari duit gitu loh, kayak dokter dokter yang biasa praktek bertarif. Papi kerja khan ngga dapet duit kalau itu.
Kita ada klinik, lah koq malah orang lain yang “ngisi’ klinik . Padahal kalau praktek diklinik klinik gitu ,khan keren. Iiih, papi nih dasar GeJe : Ga Jelas”.
Aku tertawa, kami pun tertawa bersama. Meja makan pun riuh dengan aneka topik. Itu salah satu contoh topiknya.
Aku , istri dan kedua anakku, sudah biasa , saling gojlok, saling ‘ ngece'(ngejek), saling ‘ bully’. Sambil ketawa ketiwi.
Karena gojlokan yang ada adalah gojlokan yang kritis, ‘ ngece’, yang kreatif dan ‘ bully’, yang inovatif.
” Eh, tapi papi sekarang udah insyaf loh. sudah buka praktek diklinik , setiap senin sampai rabu jam 16 sampai19.00, bayarannya ‘unlimited”, tak terbatas” kataku , membuat penasaran. Lalu aku tunjukkan fotoku sedang praktek , sedang meriksa pasien , sedang menerima konsultasi.
” Loh, papi serius nih meriksa pasien? Ah, pencitraan nih papi”, kata anak cowokku yang pertama, yang kebetulan mahasiswa FK Negeri di Surabaya yang ‘ nyaris ‘ S.ked: sarjana kedokteran.
“Mana sih, dedek liat fotonya, loh benaran mas , papi praktek di klinik , wah hebat nih. Wah bakal punya duit setiap hari dong kita. Jadi dedek ngga perlu ke luar negeri, karena ikut pertandingan anggar. Tapi dibayarin papi Horeeee, asyik.
Mas, mami, dedek, yangti juga ngga perlu ke luar negeri, karena ‘ nunut ‘ papi sekolah. Tapi kita murni traveling, jalan jalan asyik”. Kata anak cewekku, yang juga di fakultas kedokteran swaata di Surabaya semester lima. Dia atlit anggar tingkat internasional. Kebetulan sering keluar negeri bertanding di beberapa negara. Dan sudah punya, subsidi bulanan dari Koni, untuk pembinaan prestasi.
” Tapi tunggu dulu, sek aku lihat sek fotonya. Koq aku jadi Galfok: gagal fokus. Ini ada tulisan ‘ Klinik Tanpa Kasir NU’, maksudnya gratis lagi. Wes wes batal lagi kita traveling, kliniknya gratis mas. Free. Ngga ada harapan dapat ‘ hepeng'( uang), dapat amal lagiiiiii, batal wes. Aku cari jadwal tanding ke luar negeri aja deh hahaha”, Lagi lagi kami tertawa lepas. Sambil menyantap ‘ bebek Sinjay ‘ yang dibawa oleh relawan Yayasan Bangun Sehat Indonesiaku, yang kami dirikan sejak sembilan belas tahun yang lalu.
Sambil topik pembicaraan berpindah, aku pun menerawang pada diriku sendiri.
Lima belas tahun yang lalu, senior , yang juga guru terbaik dalam berbisnis Abah Legowo kadri, mendekatkanku dengan NU. Ada 3 orang utama yang merupakan Gus yaitu Gus Reza Ahmad zahid , Allohuyarham Gus Zaki Hazdik Agus M Zaki dan Gus Ahmad Firdausi yang langsung memainkan peranku di NU khususnya di Rabithoh Mahad Islamiyah ( Asosiasi pondok pesantren ) Jawa Timur.
Lalu punyaku apa?
Jujur saja aku ini ‘NU paruh waktu” ‘. Semua serba separuh. Ngaji ya separuh lancar, banyakan yang masih ” grotal gratul” alias tidak terlalu lancar. Qunut ya separuh hafal, Barzanji ya ikut ikutan. Kalaupun yang agak lumayan hanya ayat kursi, amanah Rosul dan Yasinan. Itu pun serba separuh hafalnya.
Lepas dari itu, Ga ada. ” norok buntek” bahasa Maduranya, alias ikut arus mengalir saja. Tapi aku berusaha istiqomah , ikut kegiatan kegiatan NU dan berusaha berhikmah, bermanfaat bagi NU. Meskipun sedikit saja, karena memang hanya sedikit yang aku punya.
Ada yang memanggilku gus dokter, Yai, ustadz, kumendan, om doktor, Mas, Abah, pak kol, atau whatever, aku tidak protes. Aku malah terbiasa dengan ” keGeJeanku”.
Karena memang ‘ aku tidak kemana mana, tapi ada dimana mana’, manut Waliyulloh Gus Dur. Artinya aku tetap abdi negara yang tegak lurus hidup matiku bagi NKRI. Tapi aku ada di NU, bersaudara dengan Muhammadiyah, punya teman dari mazhab apa saja, membersamai semua agama, suku dan ras.
Aku selalu ada bersama mereka.
Dan karena menurutku, aku “biasa biasa saja’, maka aku Nunut Urip bareng Nadhdatul Ulama’. Nunut Urip : numpang hidup, versiku bukan berarti menjadikan NU untuk mencari penghidupan alias penghasilan , tapi mencoba memberi setitik cahaya kehidupan di NU, semampuku. Yang tanpaku pun, Cahaya NU, sudah terang benderang kemana mana.
Sehingga yang ada akhirnya , aku bikin baksos keliling pondok pesantren sejawa timur, jawa tengah sampai bali, dan NTB, melalui YBSI bersama RMI NU .
Lalu membuat klinik tanpa kasir NU bareng PC NU kota Tanjung Pinang. Bersama pak ketua M Jhes Ram , Kang Santri yai Fadholi Farkhan , Kyai Sunarjo , Dato Atok Ardiansyah Az , abah Maryono Dermawan Dermawan , Kang Fandi Gansar Gunsar , dan banyak lagi lainnya.
Itulah caraku ber NKRI dan berNU, yang selalu diledek sekaligus didukung oleh anak anakku. Kami kompak meski berbeda pandangan. Kami saling mengkritik, tapi berusaha mencapai target keberhasilan bersama. Asyik asyik Joos.
Aku tidak keberatan disebut dokterGeJe yang ber ‘NU paruh waktu’. Maksudnya hanya separuh waktuku untuk NU, dan separuh untuk hidupku. Sehingga selama bekerja dikantor, aku fokus total untuk kegiatan kantor. Setelah semua urusan kantor beres, separuh sisa hidupku aku berikan untuk berhikmah di NU. Dan buatku, ini biasa saja dan sudah aku lakoni belasan tahun. Bukan sesuatu yang istimewa.
Mengapa? Karena aku sadar , aku bukan orang yang sholeh tapi sedang berusaha belajar tentang ‘apa itu sholeh’. Sehingga aku terus belajar dari cara pandang dan sikap kita dalam melihat, menyikapi dan memperlakukan semua makhluk ciptaan Alloh SWT menurut aturan Alloh SWT.
Selain itu sebagai dokterGeJe yang ‘NU Abangan’, aku sadar bahwa keimanan tidak ditentukan dari gaya, penampilan dan style yang mungkin ” menengok kearab araban”. Tanpa aku bermaksud menyalahkan, tapi aku lebih nyaman dengan blangkon, tanjak, udeng, ‘ kupluk’, meski sesekalipun berserban. Bebas aja . Wong itu bukan standar keimanan. Karena menurutku iman itu terlihat dari cara kita mensyukuri dan ridho atas segala takdir dan ketetapan-Nya.
Jadi orang NU itupun syaratnya sederhana saja ” yang penting hidup manfaat, tidak maksiat’ sudah bisa berNU, kata Gus Baha. Alhamdulillah, aku dilahirkan di lingkungan akulturasi NU-Muhammadiyah . Suatu lingkungan yang kadang qunut, kadang tidak. Tapi lebih sering tahlilan karena yang terbayang bawa besek berisi berkatan , 3 hari, 7 hari, 40 hari. Itu sebagian masa kecilku. Malah ada tradisi lempar berkatan di genteng , saat 1000 harinya kakekku.
Dan bagiku NU itu ibarat pepatah, diam-diam menghanyutkan. Dihina pasti memaafkan. Dicaci-maki, dibalas didoakan yang baik-baik. Disikut malah diajak silaturrahmi. Selalu menjadi air, saat lainnya jadi api yang membakar sekitarnya. Sangat meneduhkan. NU itu santai. NU itu slow man.
Sampai karena sangat slow-nya, hampir semua acara dibuat seperti membuat candi Prambanan ala Roro Jonggrang. SKS sistem kebut semalam, Pernah dalam acara tertulis jam 8 pagi. Tepat aku datang jam 8 pagi, baru ada panitia yang menata meja dan kursi, sambil berkata sabar tunggu sebentar nggih, sebentar lagi kelar. monggo disambi ngopi dan ‘ngudut’dulu hahaha. Tapi ternyata ya semua lancar dan sukses.
Identitas wong NU itu gampang ditebak. Orangnya tidak emosian , guyonan, lucu, imut, penuh rasa toleransi dan mangane akeh( makannya banyak). Tak lupa menu wajib: ngopi dan ngudut alias rokok e kuwat . Hahaha. Hanya aku yang kadang ngopi kadang ora, Dan tidak ngudut alias No smoking. Bukan NuSmoking hahaha.
Wassalam,
DR.dr.Hisnindarsyah S.E. M.Kes.M.C.H.FEM