Oleh: dr. Friedrich Max Rumintjap, Sp.OG(K), MARS, FISQua, FIHFAA, FRSPH
Dalam perjalanan membangun bangsa, kesehatan reproduksi remaja sering kali menjadi isu yang luput dari perhatian. Padahal, isu ini memiliki peran kunci dalam menentukan masa depan generasi mendatang. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 lahir sebagai wujud keseriusan pemerintah untuk menjawab tantangan ini, dengan upaya melindungi remaja, terutama yang sudah menikah, melalui edukasi dan layanan kesehatan yang lebih komprehensif. Namun, meskipun kebijakan ini diwarnai niat baik, ia harus menghadapi kenyataan sosial yang kompleks, di mana stigma dan kesalahpahaman masih menjadi penghalang yang kuat.
Di era digital yang tanpa batas ini, arus informasi semakin mudah diakses, termasuk oleh para remaja. Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan kemajuan teknologi lainnya semakin mempercepat penyebaran informasi. Namun, di balik kemudahan ini, tersimpan tantangan besar: bagaimana memastikan bahwa informasi yang dikonsumsi remaja adalah informasi yang benar dan bermanfaat, terutama terkait kesehatan reproduksi mereka. Di sisi lain, perkembangan ini juga memperlihatkan fenomena penggerusan budaya lokal, termasuk nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Budaya digital yang serba cepat dan instan sering kali menabrak norma-norma yang telah lama dianut oleh masyarakat.
Kesehatan reproduksi remaja bukan sekadar soal menghindari penyakit atau kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga tentang memberikan pemahaman yang mendalam kepada remaja mengenai tubuh mereka, serta kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat. Pendekatan bio-psiko-sosial yang mencakup kesejahteraan fisik, mental, dan sosial menjadi sangat relevan dalam menangani isu ini. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan pendekatan ini dalam kurikulum sekolah dan sistem pendidikan kita, sehingga remaja tidak hanya mendapatkan informasi secara teoritis, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di tengah pesatnya arus informasi, sekolah harus menjadi benteng terakhir yang memastikan bahwa nilai-nilai luhur, seperti budi pekerti dan etika, tetap tertanam kuat dalam diri remaja. Oleh karena itu, pengembalian kurikulum budi pekerti, program dokter kecil, dan inisiatif serupa sangat penting untuk diperkuat kembali. Program-program ini tidak hanya memberikan pengetahuan medis dasar kepada remaja, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral yang dapat menjadi panduan dalam menjalani kehidupan mereka, termasuk dalam menjaga kesehatan reproduksi.
Dalam implementasinya, PP 28/2024 harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, memperhatikan sensitivitas sosial dan budaya yang ada. Edukasi kesehatan reproduksi harus disampaikan secara inklusif dan empatik, menghormati nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, sambil tetap memastikan bahwa informasi yang diberikan akurat dan mudah diakses oleh semua remaja. Stigma yang mengakar kuat dalam masyarakat merupakan salah satu tantangan terbesar, dan ini membutuhkan pendekatan strategis dan kampanye yang dirancang dengan cermat untuk meruntuhkan tembok stigma tersebut.
Pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk tokoh agama, pemimpin komunitas, dan media massa, untuk menyampaikan pesan kesehatan reproduksi yang benar dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Edukasi ini harus dibingkai sebagai upaya melindungi dan memberdayakan remaja, bukan sebagai ancaman terhadap nilai-nilai moral yang sudah ada. Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan yang ramah remaja juga perlu diperluas, agar informasi dan dukungan yang diberikan benar-benar menjangkau seluruh pelosok negeri.
Dengan adanya PP 28/2024, pemerintah telah mengambil langkah penting dalam melindungi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana implementasinya di lapangan. Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, kita dapat menciptakan generasi muda yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi tantangan masa depan.
Melalui upaya ini, kita tidak hanya merajut masa depan yang lebih baik, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh bagi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Mari kita jadikan era digital ini sebagai kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai budaya kita, sekaligus mempersiapkan remaja kita untuk menghadapi dunia yang terus berubah dengan penuh keyakinan dan tanggung jawab.