Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.000 lebih pulau, yang dikelilingi oleh dua samudera, Indonesia menghadapi tantangan dari berbagai sektor di dalam dan luar negeri. Negara yang juga sejak lama masuk ke dalam jalur perdagangan internasional, tak luput dalam penerapan peraturan yang berlaku di seluruh dunia dalam hal keselamatan dan kesehatan perairan. Bukan itu saja, struktur geografis Indonesia berupa pulau-pulau dengan pesisir dan pantai menyebabkan pentingnya pendistribusian pelayanan kesehatan spesifik, dan bukan hanya terpusat pada perkotaan atau di rumah sakit-rumah sakit tipe C.
Perkonsil 71 tahun 2020 tentang standar pendidikan Dokter Spesialis Kelautan (Sp.KL) tanggal 22 Januari 2020 menyatakan bahwa untuk menghasilkan dokter spesialis yang memiliki kemampuan akademik dan profesional dalam memberikan pelayanan kedokteran kelautan diperlukan standar pendidikan profesi bagi dokter spesialis kedokteran kelautan. Standar pendidikan Profesi Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan telah disusun oleh Kolegium Kedokteran Kelautan berkoordinasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan terkait serta telah diusulkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk disahkan.
Dengan adanya perkonsil tersebut maka pendidikan spesialis kedokteran kelautan merupakan acuan untuk melakukan pengadaan dokter- dokter Sp.KL yang nantinya akan didistribusikan di seluruh layanan kesehatan baik sekunder dan primer agar akses masyarakat untuk mendapatkan layanan terkait penyakit yang membutuhkan spesialisasi dapat terpenuhi dan perbaikan yang signifikan dalam mutu pelayanan kesehatan dapat terealisasi
Pendirian institusi pendidikan kedokteran yang membuka program studi spesialisasi khusus yang menitikberatkan kurikulumnya pada kemampuan dokter dibidang kemaritiman secara individu dan mandiri dengan fokus utama pada pelayanan dan pengabdian masyarakat oleh karenanya menjadi keniscayaan. Dalam sistem pembelajarannya, para calon dokter spesialis kedokteran kelautan tidak hanya menghafal teori namun menjadikan ilmu tersebut sebagai dasar pemahaman untuk menindaklanjuti permasalahan secara komprehensif. Para calon dokter spesialis tersebut juga harus memiliki inisiatif untuk mengambil keputusan yang tepat dalam waktu singkat, karena cukup banyaknya kasus kedaruratan dalam bidang maritim
Secara garis besar, desain kurikulum pendidikan spesialisasi kedokteran kelautan merupakan suatu kombinasi dari konstruksi, kolaborasi dan konsolidasi teoritis dengan fakta yang ada di lapangan. Kombinasi keilmuan tersebut kemudian diterapkan dalam pemahaman individu dan dikembangkan dalam praktek keseharian untuk melihat realitas dinamika permasalahan kesehatan di masyarakat terutama di pesisir pantai, kepulauan juga pada pelayaran interinsuler, termasuk kesehatan penyelaman dan hiperbarik. Hal ini dapat menjadi sumber penelitian dan pengembangan yang mumpuni, terintegrasi dan tersinkronisasi dalam ilmu kedokteran komprehensif kemaritiman sebagai evidence base medicine.
Sebagai contoh, calon dokter spesialis kelautan yang mendalami ilmu penyelaman dan hiperbarik akan memahami bahwa dalam kondisi hiperbarik (tekanan di atas normal), zat gas dapat melarut lebih cepat ke dalam cairan sesuai dengan hukum Henry. Hal ini tentu akan menguntungkan dunia kesehatan karena penyebab utama kondisi sakit pada tubuh manusia adalah kondisi hipoksia sel dan jaringan yang disebabkan oleh rusaknya pembuluh darah yang menghambat distribusi oksigen. Bila ilmu penyelaman dan hiperbarik ini didalami dan diaplikasikan secara kolaboratif dengan bidang kesehatan lain (interdisciplinary) maka akan tercipta inovasi baru dunia kesehatan dalam penanganan kondisi sakit dan penyakit yang selama ini belum terselesaikan secara utuh
Memang, akan selalu ada rasa egosentris dan heroisme demi mendapatkan pengakuan secara individu maupun kelompok. Namun demikian, hal tersebut tidak harus menjadi hambatan bagi para dokter bilamana tujuan utamanya adalah menyelamatkan manusia dan kemanusiaan, sebagaimana yang disebutkan di dalam sumpah Hippocrates yang menjadi janji para dokter.
Selanjutnya, seorang dokter senior yang menjadi pendidik dapat menerapkan sistem scaffolding kepada sejawat pembelajar, yaitu memberikan tumpuan langkah demi langkah sampai tercipta pemahaman yang mendalam atas sebuah teori dan permasalahan serta solusi yang mumpuni dari para pembelajar itu sendiri. Sistem ini secara filosofis diterapkan oleh Socrates, bapak filsuf Yunani yang senantiasa menanamkan pernyataan pada diri dan kelompok belajarnya: “I know that I know nothing”. Semakin pembelajar mempelajari sesuatu, semakin mereka memahami bahwa apa yang sebelumnya diketahui tidak seberapa sehingga mereka akan selalu belajar dari segala hal.
Autonomous Learner
Calon dokter spesialis Kelautan diarahkan untuk menjadi autonomous learner dalam proses pembelajarannya. Autonomous Learner adalah pembelajar mandiri yang dapat meminimalisasi ketergantungan pada pengajar. Ia merefleksikan dan memproyeksikan ilmu yan dipelajari pada keseharian sebagai pelayan kesehatan. Pengajar tidak lagi mendiktekan ilmu, tetapi akan berperan sebagai fasilitator yang mewadahi diskusi dalam kelas terkait dengan permasalahan yang ditemukan (case studies). Dengan menggunakan tipe pembelajaran ini, calon dokter spesialis bukan lagi hanya menjadi praktisi dan teknisi dalam kesehatan, namun mereka juga harus dapat menjadi ilmuwan yang terus mengkinikan keilmuannya dan memperkaya khasanah ilmu kedokteran di Indonesia dan di dunia.
Sebagai penutup, pentingnya pendidikan kesehatan maritim berbasis kompetensi dan kemanusiaan adalah untuk mencetak para lulusan dokter spesialisasi, khususnya kedokteran kelautan, yang memiliki prinsip dan moralitas untuk melayani masyarakat tanpa membeda-bedakan strata dalam aspek apapun. Mereka adalah para praktisi sekaligus peneliti yang tidak menghambat diri, selalu mengembangkan keilmuan dan dapat berdikari dalam pelayanan kesehatan. Kesehatan adalah aspek vital dalam kehidupan manusia, bangsa dan negara, dan oleh karenanya pendidikan yang mumpuni bagi praktisi dan ilmuwan kesehatan adalah hal yang tak dapat ditawar lagi.
Oleh: Hisnindarsyah
*) Dokter Spesialis Kelautan, Pengurus PERDOKLA/ Perhimpunan Kedokteran Kelautan, Anggota Ex-officio PB IDI