Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Alumni Universitas Indonesia dan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Pendahuluan
Integritas akademik adalah fondasi yang kokoh dan tidak tergantikan dalam dunia pendidikan tinggi. Ia menjadi pilar utama yang menopang kualitas dan kredibilitas institusi akademik, serta menjadi penentu utama kemajuan ilmu pengetahuan. Melalui integritas akademik, kita memastikan bahwa hasil penelitian yang dihasilkan oleh akademisi adalah autentik, dapat dipercaya, dan memiliki dampak nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Namun, perjalanan menuju pemenuhan standar integritas akademik sering kali diwarnai berbagai tantangan dan hambatan. Di Indonesia, proses kenaikan jabatan profesor sering kali dihadapkan pada birokrasi yang ketat dan praktik-praktik yang tidak etis. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang permasalahan tersebut serta menawarkan solusi-solusi alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan integritas akademik di perguruan tinggi Indonesia.
Birokrasi dan Ketidakrelevanan Proses Kenaikan Jabatan
Isu utama yang dihadapi dosen di Indonesia adalah ketidakcocokan proses kenaikan jabatan profesor dengan tuntutan global. Arif Perdana dalam artikelnya di The Conversation menyoroti bagaimana persyaratan administrasi yang ketat dan keharusan kesejaluran pendidikan S3 dengan riset dan pengajaran justru menciptakan ruang untuk jalan pintas yang kurang etis (Perdana, 2024). Di banyak universitas internasional, penunjukan profesor lebih didasarkan pada karya dan dampak penelitian, bukan hanya kesejaluran administratif. Misalnya, Michael Myers dari University of Auckland, yang berlatar belakang S3 antropologi sosial tetapi menjadi profesor sistem informasi, menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam penilaian akademis dapat mendorong inovasi dan kreativitas dalam penelitian.
Teori kepemimpinan transformasional relevan untuk diadopsi dalam hal ini. Burns (1978) menyatakan bahwa pemimpin transformasional mampu menginspirasi dan memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Institusi akademik di Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dan mendorong dosen untuk terus berinovasi dan menghasilkan karya yang bermakna tanpa terhambat oleh birokrasi yang kaku.
Birokrasi yang ketat sering kali menghambat kreativitas dan inovasi. Max Weber dalam teori birokrasi Weberian menyatakan bahwa birokrasi adalah bentuk organisasi yang paling efisien dan rasional, namun dapat menjadi penghalang jika diterapkan secara berlebihan dan tanpa fleksibilitas (Weber, 1947). Di Indonesia, penerapan birokrasi yang terlalu ketat dalam proses kenaikan jabatan profesor dapat menghambat perkembangan akademik dan inovasi.
Sebagai contoh, banyak dosen merasa terhambat oleh persyaratan administrasi yang ketat dan kesejaluran pendidikan S3 dengan riset dan pengajaran. Hal ini tidak hanya menghambat kreativitas dan inovasi, tetapi juga menciptakan ruang untuk praktik-praktik yang tidak etis seperti program percepatan guru besar yang kurang transparan dan cenderung mengabaikan kualitas penelitian. Oleh karena itu, diperlukan reformasi birokrasi yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kualitas dan dampak penelitian.
Praktik Pelanggaran Akademis dan Dampaknya
Artikel oleh Hayu Rahmitasari dan Ika Krismantari mengungkap berbagai pelanggaran akademis dalam proses kenaikan jabatan profesor di Indonesia, termasuk praktik perjokian, ghostwriting, dan pencatutan nama tanpa izin (Rahmitasari & Krismantari, 2024). Praktik-praktik ini merusak reputasi individu dan mencederai integritas institusi akademik secara keseluruhan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan sistem pengawasan dan penegakan yang lebih ketat.
Anthony Giddens dalam teorinya tentang modernitas dan kepercayaan sosial menekankan pentingnya kepercayaan dalam institusi untuk keberlangsungan masyarakat modern. Kepercayaan ini dibangun melalui transparansi, akuntabilitas, dan integritas (Giddens, 1990). Institusi akademik perlu menerapkan sistem evaluasi yang transparan dan adil, serta memberlakukan sanksi yang tegas bagi pelanggar integritas akademik.
Pelanggaran akademis seperti perjokian dan ghostwriting sering kali disebabkan oleh tekanan yang berlebihan untuk memenuhi target publikasi dan sitasi. Ini menunjukkan kelemahan dalam sistem evaluasi kinerja akademik yang terlalu berfokus pada kuantitas daripada kualitas. Menurut teori motivasi Herzberg, tekanan yang berlebihan dapat mengurangi motivasi intrinsik dan mendorong individu untuk mencari jalan pintas (Herzberg, Mausner, & Snyderman, 1959). Dalam dunia akademik, tekanan untuk memenuhi target publikasi dapat mendorong dosen melakukan praktik-praktik yang tidak etis.
Sebagai solusi, institusi akademik perlu mengadopsi pendekatan evaluasi kinerja yang lebih holistik dan berfokus pada kualitas dan dampak penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi tekanan pada jumlah publikasi dan sitasi, serta memberikan penghargaan yang lebih besar pada kontribusi nyata dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Tirani Matriks dan Solusi Alternatif
Taufiqurrahman dalam artikelnya membahas tentang tirani matriks dalam publikasi ilmiah dan mengusulkan model alternatif untuk mengatasi masalah ini (Taufiqurrahman, 2024). Ketergantungan pada jumlah publikasi dan sitasi sebagai ukuran kinerja akademis dapat menjadi kontraproduktif dan menggeser tujuan kerja akademisi ke arah yang dapat dihitung atau diukur, bukan pada kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan.
Model publikasi ilmiah dengan tinjauan sejawat setelah publikasi (post-publication peer review) yang diusulkan oleh Taufiqurrahman menawarkan solusi yang lebih demokratis, murah, dan efisien. Dalam model ini, karya akademik dapat langsung diakses oleh publik dan dinilai oleh komunitas ilmiah secara terbuka. Teori Habermas tentang ruang publik dan komunikasi rasional sangat relevan dalam hal ini, di mana ruang publik ilmiah yang terbuka dan inklusif dapat mendorong dialog yang konstruktif dan inovatif (Habermas, 1989).
Selain itu, model alternatif ini juga dapat mengurangi ketimpangan gender dalam produktivitas akademik. Studi menunjukkan bahwa perempuan cenderung menetapkan standar yang lebih tinggi dalam publikasi mereka karena khawatir akan pengujian yang lebih ketat oleh sejawat mereka yang mayoritas laki-laki (West et al., 2013). Dengan menerapkan tinjauan sejawat setelah publikasi, proses publikasi menjadi lebih inklusif dan adil, memungkinkan lebih banyak akademisi perempuan untuk berkontribusi dalam penelitian.
Dalam administrasi publik, pendekatan ini sejalan dengan teori new public management (NPM) yang menekankan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan layanan publik (Hood, 1991). Dengan mengadopsi model publikasi ilmiah yang lebih terbuka dan inklusif, institusi akademik dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses evaluasi kinerja akademik, serta mendorong inovasi dan kreativitas dalam penelitian.
Refleksi dan Implikasi
Refleksi dari pembahasan ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan global untuk tetap relevan dan kompetitif. Integritas akademik harus menjadi prioritas utama dalam setiap aspek kegiatan akademik. Dalam proses kenaikan jabatan profesor, fleksibilitas dalam penilaian akademis sangat penting untuk mendorong inovasi dan kreativitas. Selain itu, sistem pengawasan dan penegakan integritas akademik perlu diperkuat untuk memastikan bahwa setiap hasil penelitian yang dihasilkan adalah autentik dan dapat dipercaya.
Mengadopsi model alternatif publikasi ilmiah seperti post-publication peer review dapat menjadi langkah maju dalam menciptakan ekosistem akademik yang lebih adil dan produktif. Dengan cara ini, kontribusi nyata dari setiap karya ilmiah dapat dinilai berdasarkan dampaknya terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat, bukan hanya berdasarkan jumlah publikasi atau sitasi.
Integritas akademik bukan hanya tentang mengikuti aturan dan regulasi, tetapi juga tentang komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab. Dalam pendidikan tinggi, integritas akademik adalah refleksi dari cinta akan ilmu pengetahuan dan komitmen untuk berkontribusi bagi kemajuan masyarakat.
Masa depan pendidikan tinggi di Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menjaga dan meningkatkan integritas akademik. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan menghargai karya dan kontribusi setiap akademisi, kita dapat menciptakan lingkungan akademis yang lebih inovatif dan responsif terhadap perubahan zaman. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan generasi intelektual yang mampu menghadapi tantangan global dan berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Penutup
Dalam upaya menciptakan pendidikan tinggi yang berkualitas dan berintegritas, kita semua memiliki peran penting. Para pembuat kebijakan harus memastikan bahwa regulasi mendukung inovasi dan kreativitas, bukan menghambatnya. Pemimpin universitas harus menjadi teladan dalam integritas akademik dan menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara itu, akademisi harus berkomitmen pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran dalam setiap aspek kegiatan akademik mereka.
Dengan kerjasama yang erat antara semua pihak, kita dapat membangun sistem pendidikan tinggi yang tidak hanya unggul secara akademis tetapi juga berkontribusi nyata bagi kemajuan masyarakat. Integritas akademik adalah kunci untuk mencapai visi ini, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaganya.
Sebagaimana filosofi Heraclitus yang menyatakan bahwa “tidak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri,” kita harus memahami bahwa integritas akademik adalah refleksi dari keteguhan hati untuk beradaptasi dan terus mencari kebenaran dalam dunia yang terus berubah. Seperti aliran sungai yang selalu menemukan jalannya meskipun terhalang batu, integritas akademik akan selalu menjadi pemandu dalam pencarian pengetahuan dan kebenaran, membawa kita menuju masa depan yang lebih cerah dan bermakna.
Referensi
1. Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper & Row.
2. Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Polity Press.
3. Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. MIT Press.
4. Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman, B. B. (1959). The Motivation to Work. John Wiley.
5. Hood, C. (1991). A Public Management for All Seasons?. Public Administration, 69(1), 3-19.
6. Perdana, A. (2024). Proses kenaikan jabatan profesor di Indonesia tak lagi relevan dengan tuntutan global. The Conversation. Diakses dari The Conversation
7. Rahmitasari, H., & Krismantari, I. (2024). Pelanggaran akademis warnai perjalanan menuju guru besar di Indonesia. The Conversation. Diakses dari The Conversation
8. Taufiqurrahman. (2024). Keluar dari tirani matriks: solusi alternatif untuk masalah publikasi ilmiah. The Conversation. Diakses dari The Conversation
9. Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Oxford University Press.
10. West, J. D., Jacquet, J., King, M. M., Correll, S. J., & Bergstrom, C. T. (2013). The Role of Gender in Scholarly Authorship. PLOS ONE, 8(7), e66212.